“Sebuah telepon seluler, bukan hanya perangkat, namun juga artefak yang mencerminkan masyarakat yang membuatnya,” ujar Gordon Bruce saat mengajar di kelas para desainer Samsung. Untuk beberapa orang, ucapannya itu mengilhami mereka hingga ke dasar hati dan memicu terciptanya produk yang akan dikenal dunia. Dalam kelas yang diajar Bruce saat itu terdapat juga Lee Min-Hyouk dan Ted Shin, dua orang yang nantinya akan terkenal karena produk yang mereka desain.
Upaya Perbaikan Samsung dari Akar
Gordon Bruce sedang di rumah ketika, David Brown, Kepala Departemen di kampus ArtCenter College of Design Pasadena menelepon. “Pernah dengar tentang Samsung?” pertanyaan pembuka sang kepala Departemen cukup unik untuk Gordon. “Iya,” kata Bruce sambil tertawa. “Tapi mereka terkenal memproduksi barang-barang jelek” Di seberang sana terdengar Brown ikut tertawa. “Mereka bilang akan datang ke sini minggu depan, dan aku tidak tahu sama sekali apa yang mereka inginkan.”
Gordon Bruce memiliki gelar master designer. Kemampuan ini seolah ada dalam darahnya karena dia adalah keturunan pendiri School of Bauhaus Designers, pelopor gerakan Jerman untuk penyatuan seni, kerajinan, dan teknologi, yang ikut memengaruhi Steve Jobs dan Jony Ive. Bruce memiliki karir yang panjang di IBM serta juga ikut mengembangkan produk untuk Siemens dan Mobil Oil. Kalaupun ada sesuatu yang diinginkan Samsung dengan menghubungi kampusnya, ini jelas berkaitan dengan kemampuannya dalam desain.
Perwakilan Samsung yang berkunjung ternyata adalah Miky Lee dan Peter Arnell. David Brown mengajak mereka berkeliling ArtCenter dengan bantuan mahasiswa mereka yang berasal dari Asia. Sambil berjalan keliling, Miky menceritakan misi Samsung untuk ‘meningkatkan diri’. Chairman Lee II ingin membangun sebuah sekolah desain yang nantinya akan menjadi tempat para ‘perajin’ terbaik Samsung mengembangkan kemampuannya dengan tetap pada koridor identitas korporat mereka.
“Desainer Samsung harus tampil beda,” demikian ditekankan oleh Miky. “Kami ingin agar mereka mampu berpikir berbeda.”
“Berpikir beda itu tidak cukup,” ujar Gordon Bruce yang mulai nampak tertarik oleh proyek Samsung ini. “Anda harus bagus, bukan hanya berbeda.”
Miky Lee setuju. Atas nama Samsung, dia kemudian mengundang Gordon Bruce dan David Brown ke Korea untuk mengunjungi markas besar Samsung.
Rombongan limousine menjemput Gordon Bruce, James Miho dan David brown di Seoul Gimpo International Airport. Peter Arnell, Miky Lee, dan beberapa eksekutif Samsung ikut dalam rombongan itu untuk menyambut mereka. Pada awalnya mereka berpikir bahwa rombongan mobil mewah menarik perhatian ini akan mengantar mereka seperti karnaval ke kantor Samsung. Ternyata mereka keliru, dan ini lebih dari itu. Barisan limousine ini mengantar mereka ke helicopter pad, yang mana kemudian mereka diterbangkan dengan sebuah helikopter mewah ke Samsung setelah berkeliling untuk menyaksikan sekilas negara Korea Selatan dari udara.
Ketika ketiga pendidik dari ArtCenter College ini bertemu dengan staff desain internal Samsung, mereka dengan cepat mempelajari mindset raksasa Korea ini.
“Manajemen mengatakan bahwa Sony adalah contoh perusahaan sukses,” ujar seorang desainer Samsung asal Amerika. “Jadi, jika ingin berhasil, kita harus melakukan hal-hal seperti Sony.”
Karena tidak mempercayai desainernya sendiri, Samsung mempekerjakan studio asing seperti Porsche Design untuk memberikan ‘gaya’ mereka kepada Samsung. Namun akibatnya, sistem ini menjadikan desain Samsung krisis identitas. Mereka membuat ponsel yang mirip Motorola, remote televisi seperti Sony, dan prototype mobil seperti Nissan. Tidak adanya ciri khas pada desain Samsung di berbagai lini produknya serta berbeda-beda ragam desain lintas produk menjadikan konsumen kebingungan. “Saya melihat efek yang sama terjadi pada Seoul, sebuah kota yang dibangun dengan kerja keras,” ujar Bruce. “Namun akibatnya Seoul mengorbankan warisan dan identitasnya kepada modernitas.” Kesimpulan Gordon Bruce, Samsung memang kekurangan identitas, tapi ini merupakan sebuah gejala nasional. Miky Lee dan para eksekutif setuju oleh perkataan Bruce. Mereka mulai menemukan kecocokan dengan para tamu dari ArtCenter College ini dan tentu saja mengawali proyek ‘perbaikan’ terhadap kualitas produk Samsung dari desain sepertinya merupakan langkah yang tepat!
Memulai Proyek Kurikulum Desain Samsung
Meskipun eksekutif atas, termasuk Chairman Lee II menyukai kelompok ArtCenter College, namun ketiganya langsung mendapatkan resistensi yang kuat dari Corporate Design Center Samsung (yang rencananya akan mereka ‘perbaiki’). “Apa yang Anda tahu tentang Korea?!” seorang eksekutif Corporate Design Center menunjuk-nunjuk James Miho dengan emosi. Mereka sedikit tenang ketika Gordon Bruce yang orang barat menyampaikan pendapatnya tentang desain Samsung, namun ketika Miho yang keturunan Jepang ikut serta mengutarakan saran, orang-orang Korea ini spontan emosi. Miky meminta Miho untuk maklum karena orang-orang lama Samsung pernah merasakan perang Korea-Jepang, dan masih sering menganggap orang Jepang sebagai musuh. “Saya terkejut sekali melihat cara mereka memperlakukan Miho,” ungkap Bruce sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Miky Lee dalam kasus ini benar-benar berperan sebagai penghubung yang baik. Dia benar-benar yakin pada pilihannya dan pamannya, Lee Kun-Hee juga sama yakinnya dengan dirinya. Miky menggunakan kekuasaannya untuk memveto pendapat para eksekutif Samsung yang tidak ingin James Miho terlibat dalam proyek ini. Dia bersikeras agar Bruce dan Miho diberi kesempatan untuk mengimplementasikan visi Lee Kun-Hee akan perubahan mendasar pada Samsung. “Miky bersikeras dan memaksa para eksekutif Samsung agar menerima saya dan Miho sebagai pimpinan sekolah desain internal Samsung,” ujar Bruce. “luar biasanya, sekolah ini langsung disiapkan dan nantinya akan disebut sebagai Innovative Design Laboratory of Samsung (IDS).”
Bruce langsung menyukai kantor baru yang disiapkan untuknya oleh Samsung. Kantor ini didominasi oleh warna kuning kelabu yang terilhami oleh debu yang terbawa dari Mongolia setiap musim semi. Orang Korea menyebutnya ‘debu kuning’. Sementara itu, Bruce bekerja keras mempersiapkan kurikulum dari apartemennya di Seoul. Dia menjanjikan kepada Samsung untuk memberikan upaya terbaiknya dalam hal ini. Namun semakin dia merenung, semakin dia menyadari bahwa proses mereformasi Samsung ini pasti akan lebih sulit dan menantang dibanding yang dibayangkannya sebelumnya.
Pada tanggal 1 September 1995, kelas dimulai seiring gedung IDS diselesaikan. Bruce masuk ke ruang kelas, memperkenalkan diri dan kurikulumnya. Di hari pertama, dia hanya berusaha untuk saling mengenal dengan ‘murid-murid’-nya, para desainer yang bekerja di Samsung. Pada hari kedua, dia membawa pisang ke kelas.
“Alam adalah desainer terbaik,” jelasnya. “Pisang ini bisa masuk ke kantong dengan mudah, tidak berbahaya untuk lingkungan, dan warnanya dapat menunjukkan kapan dia matang.” Murid-muridnya tersenyum-senyum. “Oya, pisang ini juga intuitif. Kita langsung tahu bahwa kita perlu mengupas kulitnya untuk memakannya.” Spontan tawa meledak di kelas itu.
“Kini bayangkan jika Anda semua bisa mendesain produk yang menggunakan prinsip-prinsip yang sama.” Seisi kelas langsung sunyi. Semuanya berpikir. “Jadi Anda ingin agar kami merancang ponsel dengan bentuk seperti pisang?”
Salah satu kesulitan dalam mengajarkan ‘kebebasan berpikir’ yang merupakan landasan ilmu desain adalah, para desainer Samsung ini terlalu lama mengikuti sistem hierarki di Samsung. Mereka terbiasa dengan para pemimpin yang mengatakan apa yang mereka inginkan, dan mereka akan melaksanakannya. Karena itu mereka mengeluhkan bahwa ‘Orang-orang Amerika yang mengajar ini tidak memberi tahu apa yang harus dilakukan’. Bruce menyampaikan kepada Miky Lee bahwa dia ingin menanamkan konsepnya kepada para desainer tersebut dengan cara mengajak mereka tur keliling dunia untuk memberikan inspirasi. Chairman Lee II menyukai ide tersebut. Dia mengizinkan Bruce untuk menerapkan ide Global Design Workshop tersebut dalam bentuk perjalanan keliling dunia selama sembilan minggu setiap akhir Semester. Dalam perjalanan ini Bruce dan Miho akan mengajarkan kepada mereka mengenai budaya, orang, dan peralatan yang berbeda di seluruh dunia.
Revolusi Desain Samsung
Pada pertengahan dekade 90-an, ‘konvergensi digital’ merupakan konsep yang sedang populer, terutama di Silicon Valley. Konvergensi yang dimaksud di sini adalah kesatuan antara berbagai unsur yang menyusun sebuah peralatan elektronik. Sebuah peralatan elektronik tidak hanya dituntut untuk memenuhi fungsinya, namun memiliki sebuah kesatuan antara desain, software, isi, dan user experience.
Samsung dengan seksama mempelajari Apple dan hasrat perusahaan Silicon Valley ini akan kesederhanaan yang intuitif. PowerBook di masa itu mengorbankan banyak sekali fitur demi memenuhi tujuannya sebagai sebuah ‘komputer portabel’. Keputusan Apple untuk ‘membuang’ floppy drive pada masa itu sangat kontroversial dan banyak dikritik. Meskipun demikian, PowerBook seharga USD 2.500 ini laris di pasaran. “Apple Computer menyadari bahwa tujuan utamanya bukanlah mendesain ‘komputer kecil’, melainkan mendukung portabilitas dan ini sangat memengaruhi proses desain PowerBook.” Demikian jelas Apple melalui buklet yang disertakan pada penjualan PowerBook. Contoh kasus ini sangat populer di kalangan desainer Samsung yang sedang getol mempelajari hal-hal baru melalui mentornya, Gordon Bruce dan James Miho.
Bruce mengusulkan agar perubahan identitas desain Samsung dimulai dari intinya: logo dan slogan Samsung. Sebelumnya, slogan Samsung adalah “Smart and Soft“, Gordon Bruce merasa bahwa ini sama sekali tidak mewakili Samsung. “Saya memutuskan untuk menggunakan taegeuk,” ujar Bruce setelah mendapat masukan dari koleganya, Tom Hardy, seorang desainer IBM. “ini berarti ‘kekuatan absolut’ – simbol yang muncul di bendera nasional Korea, dikelilingi oleh empat trigram yang menyimbolkan empat musim di Korea yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Menurut saya, Samsung memerlukan sesuatu yang dapat mewakili mereka. Setiap produk Samsung harus harmoni dengan filosofi ini, termasuk rasional dan emosinya.”
Berdasarkan logo dan unsur taegeuk ini, Bruce kemudian menyimpulkan slogan desain baru untuk Samsung adalah: “Keseimbangan nalar dan rasa”.
Tanpa diduga, slogan ini dengan cepat meresap bagi para karyawan Samsung. Perusahaan ini, terutama divisi Samsung Electronics, selalu berupaya mengejar produk yang semakin canggih dan kompleks, namun bisa dinikmati oleh konsumennya. Tentu saja slogan ini punya kesesuaian dengan impian dan citarasa para desainer Samsung.
Samsung desainer di California Utara, bahkan menindaklanjuti praktik ini dengan membuat semacam bagan diilhami dari desain taegeuk ini. Mereka membuat diagram garis dengan ‘kesederhanaan’ di satu ujung dan ‘kompleksitas’ di ujung lain, kemudian garis lain yang memotong garis pertama dengan ‘perasaan’ di satu ujung dan ‘nalar’ di ujung yang lain. Para desainer ini memosisikan Apple berada di ujung ‘kesederhanaan/perasaan’ dan Sony berada di ujung ‘kompleksitas/nalar’. Sistem Samsung Electronics sendiri sifatnya kompleks dan rasional, menjadikan mereka lebih dekat dengan konsep Sony dibandingkan Apple. Namun tentu saja ini bukan arah yang diinginkan Samsung. Para desainer beranggapan bahwa Samsung harus berhasil menjadi yang di tengah, antara Sony dan Apple. Samsung harus mewakili produk yang canggih dan kompleks, tapi memberikan ‘kepuasan’ dalam hal ‘perasaan’.
Semua orang bersemangat dalam menerjemahkan filosofi baru ini. bahkan Chairman Lee II mengadakan semacam lomba desain untuk mengimplementasikan visi logo dan slogan Samsung yang baru. Salah seorang siswa Gordon Bruce memenangkan lomba ini. Konsep yang diajukannya adalah “smart home“, yaitu menyatukan semua peralatan rumah tangga Samsung, ponsel, dan komputer dalam sebuah ekosistem konseptual. Dia memenangkan penghargaan desain yang diberikan langsung oleh Chairman Lee II. Sang pemenang ini bernama Lee Min-Hyouk, kelak di kemudian hari karyanya akan menjadi sesuatu yang menarik perhatian dunia: smartphone dengan kode Galaxy!
I-Phone?
Pada akhir era 90-an, Ted Shin, salah seorang desainer senior Samsung dinyatakan lulus dari pendidikan Gordon Bruce. Dia kemudian bekerja sebagai desainer untuk telepon seluler, diberi tugas untuk memikirkan sebuah konsep ponsel yang futuristik. Suatu hari dia dengan bangga mempresentasikan karya desainnya.
“Saya menyebut ini I-Phone!” ujarnya bangga. “Information Phone.” Ted Shin kemudian menguraikan konsepnya dengan antusias. “Ponsel ini akan menjadi hub untuk segalanya, sebuah komputer,” ujarnya. “Dalam proposal saya dicantumkan bahwa ponsel ini akan menggunakan layar berwarna, yang mana Anda bisa membuka web dari ponsel ini, Anda bisa berkirim pesan, menulis dengan pen, dan terhubung dengan siapa saja.”
Sebuah konsep baru yang unik pada saat itu, I-Phone yang digagas Ted Shin memiliki keyboard kecil dan memiliki hardware canggih yang memungkinkannya melakukan pekerjaan sebuah komputer dan memudahkannya terhubung dengan web. Namun bossnya menolak mentah-mentah, “Kita bisa bicara dengan orang lain lewat ponsel, kenapa kita harus mengirim pesan teks?”
Proyek itu pun ditutup dan dinyatakan gagal. Ted Shin yang kecewa mengundurkan diri dari Samsung. 10 tahun kemudian, dunia mendengar perangkat yang bernama iPhone, tapi tentu saja bukan dari Samsung.
Episode Kisah Silicon Valley selanjutnya akan membahas tentang lini Galaxy Samsung yang menjadi identitas baru Samsung yang dikenal di seluruh dunia!
Referensi
Cain, Geofrey. (2020). Samsung Rising. The Inside Story of the South Korean Giant That Set Out to Beat Apple and Conquer Tech. Currency, New York.