“Kebahagiaan hidup seseorang itu adalah saat dia tahu apa tujuan hidupnya,” ungkap Ketua sekaligus pendiri Samsung, Lee Byung-Chul (Beliau sudah meninggal dunia tahun 1987 lalu). “Saya memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa jalan hidup saya adalah memperkuat Bangsa dan Negara melalui bisnis yang saya lakukan.”
Awal Berdirinya Samsung
Lee Byung-Chul lahir di kota kecil bernama Uiryeong dari kalangan keluarga menengah ke atas. Keluarganya sangat peduli pada pendidikan hingga putranya tersebut dikirim ke Universitas Waseda Tokyo, salah satu perguruan tinggi paling elit di Jepang. Cuaca dan lingkungan di Jepang nampaknya kurang bersahabat bagi Byung-Chul hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya setelah setahun di Jepang, dia memutuskan untuk pulang kampung. Sebagai mata pencaharian, Byung-Chul memutuskan untuk membuka toko sayur dan ikan kering. Dia menghadirkan produk-produk segar dari pedesaan dan toko ini bahkan mampu memasok hingga ke Tiongkok dan Manchuria. Byung-Chul memberi nama toko sayurannya ini: Samsung Sanghoe, atau berarti “Toko Tiga Bintang”.
“Saya memilih nama itu sendiri. Bahkan mengingat nama tersebut saja sudah memberikan saya dorongan untuk terus berkembang,” tulisnya dalam memoir-nya. ‘Sam’ berarti ‘tiga’, menyimbolkan tiga hal positif, yaitu besar, banyak, dan kuat. Kemudian ‘Sung’, berarti ‘bintang’ dimaksudkan agar bersinar cerah, tinggi, dan cahayanya menyinari seluruh dunia. Jadi secara filosofis, Samsung berarti ‘besar, kuat, dan abadi’. Tidak banyak tahu, Byung-Chul terinspirasi oleh Mitsubishi (Tiga berlian), perusahaan pembuat mobil yang namanya memiliki filosofi ketahanan, kekuatan, dan ukuran – Ini juga merupakan filosofi kelompok konglomerasi Jepang, Zaibatsu (kelompok kaya) yang juga dikagumi oleh Byung-Chul. Zaibatsu ini adalah korporasi paling besar dan kuat di Jepang, bahkan memiliki pengaruh di tingkat dunia, namun kekuasaannya secara tunggal dipegang oleh dinasti keluarga yang paling berkuasa di Jepang.
Karena itu ketika Amerika mengambil alih kekuasaan Jepang setelah membom Nagasaki dan Hiroshima pada Agustus 1945, Jenderal MacArthur – seperti halnya gaya Amerika hingga sekarang – ingin mengubah tatanan Jepang menjadi kapitalisme dan demokrasi, Byung-Chul menulis surat kepada anggota Kongres di Amerika, “Jika konsentrasi kekuasaan ekonomi tidak didistribusikan dengan damai, akan terjadi banjir darah akibat revolusi dengan kekerasan.”
Enam hari setelah Jepang menyerah, tentara Amerika mendarat di Korea untuk ‘mengamankan’ pengambilalihan kekuasaan Korea dari Jepang (Waktu itu Korea termasuk salah satu jajahan Jepang). Byung-Chul sebagai salah satu orang kaya di provinsinya, menjalin hubungan baik dengan pemerintah militer Amerika.
Tahun 1947, Byung-Chul memindahkan bisnisnya ke Seoul, ibukota Korea. Dalam waktu singkat, bisnisnya memiliki cakupan tingkat nasional. Begitu suksesnya Samsung saat itu hingga pada Februari 1950, Byung-Chul melakukan wisata ke Jepang. Yang disaksikannya saat itu adalah kekuatan semangat hidup dan sikap pantang menyerah Jepang yang menakjubkan. Muncul banyak perusahaan baru di Jepang dengan teknologi baru yang nantinya akan banyak berbicara di tingkat dunia: Sony, Toyota, dan Honda. Perusahaan-perusahaan baru ini disebut masyarakat setempat sebagai keiretsu, dan kini mereka tidak lagi dijalankan oleh dinasti keluarga seperti Mitsubishi. Perusahaan ini dijalankan dengan sistem pemegang saham (shareholding) dan didukung oleh bank swasta sebagai penjamin keuangannya. Mereka memilih sistem ini karena pemerintah militer AS melarang perusahaan holding, ini untuk menghapus kekuasaan keluarga zaibatsu yang terlalu kuat di sana.
Setelah pulang dari wisata di Jepang itu (Byung-Chul menghabiskan waktu dua bulan di sana), Byung-Chul dihadapkan pada situasi yang mengejutkan. Tepat pada tanggal 25 Juni 1950, pasukan komunis Korea Utara melintasi garis batas dan berusaha menginvasi Korea Selatan. “Sore hingga malam, truk penuh berisi prajurit melintasi Seoul menuju ke utara untuk mengamankan situasi. Orang-orang bersorak dan bertepuk tangan berdoa mereka berhasil berjuang. Saya sendiri memikirkan, apa yang akan terjadi pada bisnis saya.. Juga kehidupan saya?”
Kejutan belum selesai. Besok paginya, Byung-Chul mendapati dengan suara gemuruh, tank-tank Korea Utara ternyata sudah masuk melewati jalanan di Seoul. Situasi semakin mengerikan karena empat hari kemudian, petugas partai komunis mengetuk pintu-pintu rumah untuk menanyakan ideologi pemilik rumah. Mereka yang mendukung kapitalis akan dituduh bekerja sama dengan Amerika dan Jepang. Orang-orang ini akan langsung dihukum tembak di alun-alun kota Seoul. Tentara Korut (dan warga setempat yang oportunis tentunya) mulai menjarah gudang-gudang milik Samsung. Byung-Chul bahkan kemudian sempat menyaksikan seorang petugas partai Komunis dengan kedudukan yang cukup tinggi berkeliling kota dengan naik Chevrolet miliknya. “Saya sangat marah menyaksikan ini,” ungkap Byung-Chul.
Setelah situasi mencekam selama kurang lebih tiga bulan, pada September 1950, pasukan PBB datang dan mengamankan Seoul. Tentara Korea Utara diusir kembali ke wilayahnya. Namun karena kerugian ekonomi yang sangat parah (dan kekhawatiran akan serangan Korea Utara kembali), Byung-Chul memutuskan untuk menjual seluruh aset yang tersisa, kemudian membeli lima truk untuk mengevakuasi karyawan Samsung dan keluarga mereka. Tujuan Byung-Chul adalah kota Daegu yang lokasinya jauh lebih ke Selatan sehingga aman dari invasi Korea Utara.
Perhitungan Byung-Chul tepat. Korea Utara dengan diperkuat oleh militer Tiongkok, berhasil mengambil alih Seoul kembali. Byung-Chul sendiri tidak jadi ke Daegu, melainkan menetap di kota pelabuhan paling selatan Korea, Busan – yang sekaligus juga merupakan benteng terakhir Korea Selatan. Di sini, dia berupaya membangun kembali kejayaan perusahaannya.
Merasa kondisi yang dialami hampir sama, Byung-Chul berupaya menerapkan apa yang dipelajarinya dari Jepang selama kunjungan singkatnya beberapa waktu lalu. “Orang Jepang lebih menghargai karyawan yang setia serta mendahulukan kepentingan orang banyak. Kesediaan untuk bekerja sama dan rajin dalam bekerja muncul dari semangat patriotisme yang mana bertujuan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas.”
Karena menghargai kesetiaan, Byung-Chul tidak ragu duduk bersama di barisan orang yang datang untuk wawancara. Dia ingin mengetahui secara langsung apa yang dipikirkan calon-calon karyawannya tentang perusahaan ini dan bagaimana sikap mereka sesungguhnya jika tidak sedang berhadapan dengan ‘atasan’. Lebih jauh lagi, Byung-Chul juga mempekerjakan physiognomist, istilah untuk ahli pembaca wajah, untuk membantunya menginterpretasikan struktur mata, hidung, bibir, telinga, dan wajah kandidat untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai calon karyawan tersebut.
“Berhati-hatilah saat akan mempekerjakan seseorang,” tulisnya dalam buku biografinya. “Tapi setelah mempekerjakannya, percayakanlah tugas-tugas penting padanya.”
Dalam manajemen, Samsung juga memiliki pendekatan yang sangat berbeda dengan perusahaan-perusahaan barat. Jika Amerika umumnya lebih suka menempatkan seorang spesialis dalam posisinya, maka Samsung lebih menyukai seorang generalis. Manajer di Samsung sering sekali berganti peran setiap beberapa tahun, dan irama pergantian ini diatur oleh departemen SDM yang sangat berkuasa. Kunci utama Samsung justru pada HRD-nya yang benar-benar dipilih secara ketat dan didoktrin dengan prinsip-prinsip Samsung, untuk kemudian menunjuk orang-orang ke posisi tertentu dengan kecenderungan untuk menciptakan ‘Orang-Orang Samsung’, yang bisa menjalankan banyak peran di perusahaan dengan baik.
“Samsung memperlakukan Anda sebagai yang terbaik. Karena itu, Anda memang yang terbaik,” demikian motto perusahaan itu, menunjukkan harga diri dan kebanggaan perusahaan. Karena sulitnya masuk perusahaan ini, namun sepadannya status sosial dan finansial yang didapatkan, maka karyawan Samsung selalu dipandang sebagai kalangan elit. “Departemen SDM kami sangat berbeda dengan departemen SDM perusahaan barat,” ungkap seorang eksekutif Samsung, “Kami lebih mirip… Penasihat yang memilih pejabat untuk Kaisar.”
Usai Perang Korea
Gencatan senjata antar kedua Korea ditandatangani pada tahun 1953. Meskipun pertempuran selesai, perang tidak pernah diakhiri secara formal. Lebih dari 36.000 tentara bantuan Amerika dan 5 juta orang Korea terbunuh di perang ini, menjadikan perang Korea sebagai perang sipil paling mematikan di abad ke-20!
Byung-Chul menunggangi gelombang pasca perang dengan sangat baik. Dia membangun hubungan politik dengan presiden pertama Korea, Syngman Rhee dan mendapatkan peran penting sebagai ‘penerima mata uang asing’ resmi. Peran ini memungkinkannya menentukan model pertumbuhan ekonomi Korea. Byung-Chul mengatur impor bahan baku seperti benang dan mengubahnya menjadi barang jadi seperti pakaian.
Sejak tahun 1950, di Korea muncul istilah chaebol, kelompok kaya dan berkuasa untuk menggambarkan keluarga seperti Samsung dan Hyundai. Karakter huruf untuk menuliskan kata chaebol ini mirip dengan zaibatsu di Jepang, yang menjadi sumber inspirasi Byung-Chul. Dan memang, Byung-Chul menjadi salah satu chaebol pertama di Korea Selatan.
Dengan koneksi politik dan kekuatan ekonomi perusahaannya, Byung-Chul mendirikan pabrik pengolahan gula dan pabrik pengolah benang dengan teknologi Jepang dan Jerman. Profit yang diperoleh dari dua pabriknya itu kemudian digunakannya untuk mendirikan bank, perusahaan asuransi, dan department store pada tahun 1957. Sebelum dekade 50-an berakhir, Byung-Chul sudah memegang status sebagai orang terkaya di Korea. Namun tak terhindarkan lagi, dia juga menjadi simbol korupsi besar-besaran di Korea Selatan.
Orang memanggilnya ‘sentuhan emas’, namun bersamaan dengan itu juga mengkritik pengaruhnya yang terlalu kuat di pemerintahan Korea Selatan. Proyek-proyek Samsung secara keseluruhan merupakan simbol pembangunan pasca perang. Ini meningkatkan semangat ekonomi nasional, namun tentu saja layak dipertanyakan karena di banyak proyek ekonomi negara, nama Samsung selalu terlibat.
Geoffrey Cain, penulis buku Samsung Rising, berhasil mewawancarai salah seorang cucu Lee Byung-Chul, Henry Cho. Henry adalah pemilik pabrik kimia Hansol, yang mana merupakan salah satu dari lima perusahaan terpisah yang sebenarnya merupakan bagian dari Samsung generasi pertama. Saat pertama kali bertemu Henry, dia menunjukkan lambang kehormatan keluarga yang disebut kahoon, yang mana merupakan salah satu kenangan berharga baginya.
“Anda tahu tiga nilai utama keluarga kami?” Geoffrey menggeleng. “Yang pertama, adalah melayani negara melalui bisnis. Kedua, orang dan bakat adalah yang utama. Ketiga, pengejaran atas kelayakan.”
Henry kemudian menjelaskan hal-hal yang menjadikan budaya di Samsung unik jika dibandingkan dengan perusahaan lain. “Salah satu kebiasaan baik yang saya pelajari dari kakek adalah mencatat,” ujar Henry. “Saya mencatat. Setiap detailnya.”
“Apakah Anda juga meminta anak buah Anda untuk mencatat seperti Anda?” tanya Geoffrey.
“Saya tidak pernah mengatakannya, tapi mereka seharusnya melihat bahwa saya melakukan kebiasaan itu dan menirunya,” Henry kemudian menjelaskan bahwa kebiasaan itu kemudian memang menyebar di antara seluruh karyawan Samsung. Dia juga menjelaskan bagaimana keluarganya membagikan visi untuk ‘Orang-orang Samsung’ dan mempercayakan pengelolaan bisnis sehari-hari pada mereka. Detail, presisi, dan catatan terperinci adalah ciri khas Byung-Chul. Rapat dan keputusan di Samsung akan didokumentasikan dan dicatat dengan penataan yang sangat rapi. Karyawan harus menulis laporan dengan parameter spesifik.
“Kakek adalah orang yang dingin,” ungkap Henry. “Saya sering melihatnya semasa masih kanak-kanak, dan dia bahkan seakan tidak berkedip.” Henry kemudian menceritakan kesukaan Byung-Chul pada golf dan kaligrafi.
“Bagaimana dengan koneksi politiknya?” tanya Geoffrey.
“Kebijakan kakek adalah: jaga agar rekan-rekan politik tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh.”
Henry kemudian menceritakan kebiasaan-kebiasaan kakeknya, seperti dengan rutin memimpin rapat dengan para eksekutif pada pukul 9 pagi. Dua kali seminggu dia bermain golf untuk bersantai. Ketua Lee Byung-Chul pulang pukul 5 sore, makan malam sendirian sambil memikirkan rencana-rencana bisnis ke depannya. Istrinya, Park Du-Eul, bersama delapan anak dan 20 cucunya tinggal terpisah dari chaebol pertama Korea ini.
Kesimpulan Henry di akhir wawancara, “baik atau buruk, Samsung adalah kekuasaan. Mereka memperlakukan saya seperti dewa di sana.”
Silicon Valley selanjutnya akan membahas bagaimana Samsung mulai masuk ke bisnis elektronik yang mulai menggaungkan nama mereka ke seluruh dunia!
Referensi
Cain, Geofrey. (2020). Samsung Rising. The Inside Story of the South Korean Giant That Set Out to Beat Apple and Conquer Tech. Currency, New York.