Michael Spence, profesor ekonomi Harvard bereputasi dunia tersebut geleng-geleng kepala menatap daftar hasil ujian mata kuliah Economics 250 di tangannya. Awal semester 1975 yang lalu, dia membebaskan mahasiswanya untuk menghadiri kuliah – atau tidak menghadiri kuliah – dan nilai mereka akan didasarkan pada ujian akhir penguasaan mata kuliah tersebut. Ini dilakukan untuk memotivasi mahasiswanya, karena mata kuliah Spence terkenal paling sulit dan rumit. Tidak mengherankan, karena ahli ekonomi ini merupakan rujukan para ekonom AS (dan terbukti pada tahun 2001, Michael Spence menerima penghargaan Nobel untuk ilmu ekonomi – pengakuan atas kebrilianannya dalam bidang ekonomi). Dalam ujian akhir mata kuliah Economics 250, justru yang menjadi peringkat pertama dan kedua adalah mahasiswanya yang terkenal malas dan hampir tidak pernah hadir dalam kuliahnya. Spence kagum sekaligus sebal atas fakta ini.
Ketika daftar itu dipajang di Fakultas Ekonomi Harvard, Steve Ballmer yang saat itu berusia 20 tahun menggeram kesal. “Cih, kali ini aku kalah Bill!” Dia memukul punggung William Henry Gates III, rival sekaligus teman karibnya di asrama. Bill tertawa, “Ekonomi bukan matematika Steve! Kau harus banyak belajar,” Dia merujuk pada Tes Putnam – sebuah kompetisi matematika dua tahun lalu – yang mana Steve Ballmer berhasil menjadi peringkat pertama, sedangkan William – Yang nanti lebih populer dengan sebutan Bill Gates – menjadi runner up. Kali ini posisi tersebut terbalik. Dalam ujian akhir mata kuliah Microeconomics 250, Bill Gates menjadi peringkat pertama, sedangkan Steve Ballmer adalah peringkat kedua!
Lima tahun setelah peristiwa itu, Gates berhasil membujuk Ballmer untuk drop out dari Stanford Business School (Ballmer lulus dari Harvard dan melanjutkan pendidikan di Stanford sementara Bill Gates drop out untuk mendirikan Microsoft). Ballmer menjadi Commercial Manager pertama Microsoft – Karyawan ke-28 sekaligus salesman pertama startup software tersebut. Bill saat itu belum bisa membayarnya secara penuh, namun mengompensasinya dengan 8% saham Microsoft.
Karyawan ke-28 Pelanjut Perjuangan
Ballmer menjabat tangan Bill dengan penuh haru saat pendiri Microsoft tersebut mengumumkan penggantinya sebagai CEO Microsoft. Hari itu, 13 Januari 2000, Bill Gates menyatakan bahwa dia ingin berkonsentrasi lebih pada aktivitas filantropi yang ditekuninya, juga beristirahat setelah dihajar serangkaian persidangan anti monopoli, yang sukses dimenangkan Microsoft dengan berdarah-darah. Pada saat mendirikan Microsoft, Steve Ballmer adalah karyawan ke-28 Microsoft. Sebagai angkatan awal karyawan Microsoft (sekaligus teman kuliah Bill), sepanjang rentang 1980 hingga akhir 1990-an, Ballmer pernah menduduki hampir setiap posisi eksekutif top di Microsoft. Berdua dengan Bill, mereka dikenal sebagai dynamic duo. Bill banyak berfokus pada pengembangan teknologi (sekaligus pengambil keputusan akhir untuk bisnis Microsoft) – Sementara Ballmer adalah orang yang memasarkan produk Microsoft hingga mendominasi dunia sekaligus mewujudkan visi Bill Gates pada awal mendirikannya – Satu komputer di setiap rumah tangga (Visi itu terdengar gila pada awal 1980, karena saat itu harga komputer selangit, sebagai bayangan – Macintosh di rentang tahun tersebut berharga USD 2000-3000).
https://www.youtube.com/watch?v=pxHpvrz7Gm8
Sikap eksentrik Ballmer sudah dikenal sejak lama, dan itu sama sekali tak berkurang saat ditunjuk sebagai CEO. Ketika menghadiri acara Microsoft untuk pertama kalinya sebagai CEO, dia melompat-lompat ke atas panggung (yang kemudian melegenda dengan sebutan tarian ‘monkey boy‘) – Lalu membuat histeris massa saat dia mengucapkan, “I have four words for you! I.. Love.. This.. Company..”
Kemudian beberapa minggu setelah diserahi tampuk kekuasaan oleh Gates, Wall Street Journal mewawancarai Ballmer tentang bagaimana perbedaan gaya memimpinnya dengan Gates. Dengan lugas, Ballmer menjawab, “… Saya tidak akan memerlukannya (Bill Gates) untuk apa pun. Itu prinsipnya! Saya mungkin akan menggunakannya, tapi tidak memerlukannya.”
Bill Gates disebut sempat tersinggung saat membaca wawancara tersebut di koran. Namun Ballmer nyata-nyata membuktikan arogansinya.
Kesuksesan Ballmer
Pada saat Gates ‘menyerahkan’ Microsoft kepada Ballmer, raksasa software ini memiliki nilai USD 619.9 miliar. Ballmer mungkin gagal mempertahankan posisi Microsoft sebagai perusahaan paling berharga di dunia (disalip Petrochina pada tahun 2007, lalu Apple pada tahun 2012) – Tapi sebenarnya kinerja Ballmer sangat baik. Di bawah pimpinan Ballmer, Microsoft terus menerus mengalami peningkatan tren pendapatan. Ini merupakan hal yang menjamin kesehatan sebuah perusahaan.
Hal ini sesuai dengan nature Ballmer sebagai seorang salesman. Yang ada di kepalanya hanya bagaimana meningkatkan keuntungan Microsoft, bagaimana cara menjual produk Microsoft. Perlu diakui bahwa di bawah kepemimpinan Ballmer, Microsoft sangat ganas terhadap kompetitor. Karakter Ballmer yang ekspresif dan meledak-ledak terlihat dari lenggak-lenggok perusahaan dalam menghadapi pesaing. Ballmer tidak memainkan cara halus seperti Bill Gates dalam mengatasi tekanan para pesaing. Mantan defender tim basket Harvard ini mem-bully pesaing terang-terangan dan Ballmer juga tidak ragu mencaci maki perusahaan pesaing yang dinilainya ‘kurang ajar’ terhadap Microsoft.
Namun justru mungkin hal ini yang dicintai oleh para karyawan Microsoft. Mereka merasa terlindungi oleh cara Ballmer ‘mencintai’ Microsoft. Michael Lorton, mantan karyawan magang yang lulus dan bekerja di Microsoft sebagai Software Engineer, menceritakan bahwa saat dia masih magang di Microsoft tahun 1996, Steve Ballmer melintasi ruang kantornya untuk menyampaikan pidato. Seisi kantor menggila. Para karyawan banyak yang bersuit, bertepuk tangan, berdiri di atas kursi dengan sangat antusias. Lorton sendiri karena baru saja ‘mengenal’ Ballmer, hanya bertepuk tangan dengan sopan. Keesokan harinya, supervisor divisi Lorton menghampirinya dengan pandangan mata tajam dan menegur halus, “Michael, aku hanya ingin menyampaikan.. Kemarin kau satu-satunya orang yang tidak berdiri saat Steve (Ballmer) datang. Perlu kau tahu.. semua karyawan tidak menyukai itu.” Sang supervisor menepuk pundak Lorton pelan, lalu berlalu meninggalkan sang karyawan magang melongo.
Reaktifnya Ballmer dalam menghadapi kompetitor menyisakan banyak cerita legendaris. Belum lama menjabat sebagai CEO, pada tanggal 1 Juni 2001, Chicago Sun – Times meminta komentarnya tentang Linux – OS besutan Linus Torvald yang dimaksudkan memprotes kapitalisasi Windows – Ballmer blak-blakan menyatakan, “Linux adalah kanker bagi hak kekayaan intelektual menempelkan diri untuk merusak semua hal yang disentuhnya!”
Saat itu memang sentimen masyarakat terhadap Microsoft sangat tinggi. Raksasa teknologi ini memang seolah tak tersentuh dan mendominasi dunia teknologi. Ini bahkan menimbulkan ketidaknyamanan dalam lingkup karyawan Microsoft sendiri. Meskipun saat itu Microsoft adalah perusahaan terbesar di dunia dan Bill Gates adalah orang terkaya di dunia, namun karyawan Microsoft menanggung citra sebagai ‘bekerja di perusahaan yang tak tahu malu’ atau ‘bekerja pada lintah darat’. Pada tanggal 11 November 2004, seorang Software Engineer Microsoft, Mark Lucovsky, mengadakan menemui Ballmer dan setelah memantapkan hati meminta izin untuk mengundurkan diri dari Microsoft. Dengan jujur Lucovsky mengatakan bahwa dia ingin bergabung dengan Google yang tahun itu sedang naik daun. Ballmer spontan mengangkat kursi dan melemparkannya hingga melintasi ruangan, “Keparat si pengecut Eric Schmidt! Aku akan mengubur orang itu! Aku pernah melakukannya, dan aku akan melakukannya lagi! Aku akan membunuh Google!”
Meskipun sudah berupaya, bahkan ‘memanfaatkan tenaga’ Bill Gates (istilah Ballmer untuk meminta bantuan Bill) untuk mengepalai sebuah tim pembangun mesin pencari yang ditujukan bersaing dengan Google, Ballmer gagal membendung kesuksesan Google melakukan kapitalisasi terhadap mesin pencari. Gates sendiri tak menyerah dan terus mengepalai para teknisi Microsoft untuk terus menerus meningkatkan kemampuan MSN Search milik Microsoft yang kemudian berganti nama menjadi Bing pada tahun 2009.
Peter Moore, mantan karyawan Microsoft yang kini menjadi eksekutif di Electronic Arts, mengenang kisah saat masih bekerja di divisi Xbox. Pada saat itu, Xbox yang sedang tumbuh menghadapi krisis yang disebut ‘Red ring of the death’. Intinya, biaya penelitian Xbox yang besar menimbulkan pengeluaran berlebihan dan memerlukan dana tambalan. “Saya melakukan perhitungan dengan tim keuangan saya, Dennis Durkin (kini menjabat Chief Financial Officer of Activision), Doug Ralphs (yang saat itu adalah Senior Director of Finance di Interactive Entertainment Division milik Microsoft)… kami memerlukan $1,15 miliar.” Moore dengan takut-takut mengajukan permintaan kepada Ballmer. Saat itu Xbox hanya ‘divisi antah berantah’ yang tidak menguntungkan bagi Microsoft. Wajar jika seandainya Microsoft memilih ‘menghapus’ mereka.
Saat Moore mengajukan permintaan dana untuk mempertahankan Xbox, kening Ballmer mengernyit, “Berapa dana yang kalian butuhkan?”
Moore menjawab lirih, “Menurut perhitungan kami, 1,15 miliar dolar, Steve..”
“Lakukan saja!” ujar Ballmer tanpa keraguan sama sekali. Moore terpana.
Kecintaan, dedikasi, dan antusiasme Ballmer tersebut menuai hasil positif. Pendapatan Microsoft melonjak berkali-kali lipat, bahkan dibandingkan dengan era Gates sekalipun!
Forbes dan Fortune 500 pun memuji kinerja Ballmer. Hal yang positif dalam era Ballmer adalah: Microsoft tidak lagi menggantungkan diri dari bisnis software. Ballmer membuat Microsoft melakukan diversifikasi usaha, meskipun inti utamanya tetap pada Windows dan Office. Microsoft berupaya membuat beberapa hardware yang agak radikal jika mengacu pada inti bisnis mereka. Misalnya Xbox, konsol ini mendapat perhatian penuh dari Ballmer, dan usaha tersebut terbayar dengan menjadikan Xbox sebagai penantang utama Sony Playstation yang merajai dunia konsol sepanjang akhir sembilanpuluhan dan awal milenium. Uniknya, selama beberapa tahun, banyak konsumen yang belum ngeh bahwa XBox sebenarnya adalah buatan Microsoft. Ini ikut memicu larisnya XBox, karena pada saat itu citra Microsoft sebagai raksasa teknologi agak negatif. Lalu bagaimana setelah sebagian besar konsumen sadar bahwa Xbox adalah produk Microsoft? Ternyata ini malah memberikan citra positif bagi Microsoft. Bahkan muncul sentimen nasionalisme, gamer dari AS merasa ‘tidak Amerika’ jika tidak menggunakan XBox yang merupakan produk dalam negeri mereka sendiri. Windows Mobile yang dikembangkan dalam era kepemimpinan Ballmer juga mendapatkan tempat tersendiri di kalangan korporat. Banyak OEM seperti Sony Ericsson, HTC, LG, dan Samsung menggunakan OS ini. Windows Mobile bersaing dengan BlackBerry dan Symbian yang menguasai pangsa pasar ponsel di era tersebut.
Namun semua upaya Ballmer tersebut tidak menghentikan badai kritik yang menerpa Microsoft serta menurunnya kepercayaan pemegang saham kepada pria penuh ledakan energi tersebut. Nantikan selanjutnya pada Kisah Silicon Valley #11 Ballmer, Menjabat Karena Cinta, Mundur Juga Karena Cinta.
Referensi
Maxwell, Fredric. (2002). Bad Boy Ballmer – The Man Who Rules Microsoft. Harper Collins
Eichenwald, Kurt. (2012). Microsoft’s Lost Decades. The Vanity Fair.
Parr, Ben. (2011). Microsoft’s Steve Ballmer Conundrum. Mashable.