Kisah Silicon Valley #14 – Makhluk Asing yang Menjadikan Dell Keren

Dell tidak tertahankan lagi setelah memelopori komputer rakitan murah dan andal. Dengan memotong biaya distribusi, perusahaan milik Michael Dell ini terus menerus mencatatkan jumlah penjualan yang fantastis setiap tahunnya. PC menjadi tren, dan impian Bill Gates untuk ‘meletakkan’ satu PC di setiap rumah nampak menjadi kenyataan, apalagi pesaing terdekatnya, Apple, sedang terlihat menuju arah kolaps di rentang akhir 80-an. Perusahaan komputer lain dengan latah susah payah mengikuti pencapaian Dell Computers. Namun apakah semua sependapat dengan konsep milik Michael Dell?

“PC murah itu seperti pizza,” ujar Nelson Gonzales kepada temannya sejak SD, Alex Aguila. Mereka membahas fenomena ini sembari menonton serial yang beken di era 90-an, The X-Files. “Enak, mudah dibeli, tapi berakhir sebagai makanan kelas menengah. Tidak keren.”

“Berarti, jawabannya Apple?” ujar Alex sambil mengunyah keripik. Nelson menggeleng.

“Apple tanpa Steve Jobs tidak punya harapan. Pasar PC keren sedang kosong.”

“Kenapa bukan kau saja yang bikin?” Tangan Alex terulur mengambil keripik selanjutnya. Sunyi sesaat. Mereka berdua saling berpandangan dalam sebuah momen Eureka yang tiba-tiba menggelegar, sementara Mulder di layar televisi tengah terperanjat menyaksikan benda asing memancarkan sinar biru terang mengambang di udara.

 

Impian yang Tak Pernah Mudah

via CNet

Nelson dan Alex tertunduk lesu sambil menatap nanar ke arah pesawat telepon. Menanti sebuah dering penyambung harapan.

Beberapa bulan yang lalu, Nelson Gonzales tersengat oleh ide dari Alex untuk membuat perusahaan perakit PC sendiri – seperti halnya Michael Dell. Pangsa PC keren sedang kosong. Rata-rata orang sudah puas dengan PC spek menengah yang mampu menjalankan berbagai software pendukung pekerjaan kantoran dan rumah tangga, tapi tidak dengan Nelson dan Alex. Mereka berdua adalah gamer yang sudah terpesona oleh kekuatan game di PC sejak era Prince of Persia.

via PCGamesHardware

Semakin lama software game PC makin berkembang, namun menuntut spek PC yang tinggi. Orang-orang harus memesan PC yang khusus agar dapat menjalankan game yang mereka suka. Akan tetapi tentu saja ide ‘memesan PC spek tinggi untuk bermain game’ dianggap kontraproduktif bagi banyak orang. Siapa yang mau membuang uang untuk sekedar ‘bermain’? Apalagi konsol saat itu harganya terjangkau. Di tahun 1996, pasar konsol dikuasai oleh Nintendo dan Sega (dengan pemain baru yang sedang naik daun: Sony dengan Playstation miliknya). PC spek tinggi untuk game adalah keniscayaan. Tapi Nelson dan Alex berpendapat lain. Sebagai gamer, mereka bersedia ‘membakar’ uang lebih banyak untuk PC rakitan yang lebih powerful – Dan mereka berdua yakin bahwa mereka tidak sendirian. Pasti ada di suatu tempat di luar sana, seorang (atau mungkin banyak) gamer yang sependapat dengan mereka!

Nekad oleh keyakinan ini, Alex Aguila berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja dan menarik setiap sen dari tabungannya. Mengejar impian menjadi target baru yang realistis bagi pemuda ini, apalagi pada saat itu dia masih membujang sehingga belum memikirkan beban hidup keluarga. Bersama dengan Nelson Gonzales, mereka berdua mengumpulkan total USD 13.000 – Ini sudah termasuk utang kartu kredit yang ditarik maksimal. Uang tersebut digunakan untuk mempublikasikan usaha rakitan PC yang sebelumnya sudah dimiliki Alex Gonzales dengan nama Saikai. Jika sebelumnya Saikai sudah populer di kalangan lokal sebagai perakit PC, kini mereka hadir dengan visi baru, yaitu sebuah PC rakitan khusus game!

Gonzales yang lebih ahli dalam hal teknis dan memahami komponen komputer membelanjakan uang itu untuk  merakit unit komputer sebagai ‘prototype‘. Mereka mengajukan pendirian perusahaan ke otoritas lokal Miami dan mulai menggagas  pemasaran. Dari serial favorit mereka berdua, The X-Files, Nelson dan Alex merumuskan sebuah nama yang menurut mereka keren sebagai sebuah brand untuk menggantikan nama Saikai: Alienware (Alien adalah tema favorit Nelson dan Alex, terutama karena mereka adalah penggila X-Files yang banyak membahas kasus-kasus tak terselesaikan, termasuk UFO, sedangkan ‘ware’ merupakan kependekan kata hardware. Secara filosofis, mereka juga merasa bahwa hardware produksi mereka saat itu adalah ‘barang asing’ di tengah PC umum).

Tapi realita segera menempeleng mereka keras-keras. Hasil rakitan mereka tidak laku sama sekali. Harga USD 3000 yang disematkan segera dianggap terlalu tinggi untuk sebuah merek antah berantah, apalagi visi mereka – sebuah PC untuk bermain game – terlihat absurd pada tahun 1996.

Sudah hampir empat bulan Nelson dan Alex berkeliling memasarkan produknya dengan segala cara. Memamerkan prototype milik mereka yang diberi nama Alienware Blade, memasang iklan di Yellow Pages, koran lokal, dan berupaya meraih simpati kelompok gamer. Tak ada satu pun yang berhasil. Kedua sahabat itu pun harus berhemat dan nyaris tiap hari hanya makan pizza demi bisa terus melakukan kampanye iklan dan mempromosikan produknya. Jumlah pesanan dalam kurun waktu tersebut: NOL. Anggota keluarga mereka bahkan menyebut mereka berdua sudah gila karena mengejar impian yang tidak realistis.

“Alex,” Nelson berkata lirih. “Sepertinya kita minggu depan harus mengumumkan kebangkrutan.”

Alex tersenyum. “Kita pasti masuk rekor untuk perusahaan terkonyol. Bayangkan: sebuah perusahaan bangkrut sebelum sempat menjual satu pun produknya!”

Kedua sahabat itu tertawa lepas. Dering telepon tiba-tiba memutus suara tawa mereka berdua. Nelson dan Alex reflek menutup mulutnya. Saling berpandangan untuk memastikan apakah mereka sedang bermimpi atau tidak. Pada dering selanjutnya, mereka berdua berbut menyambar gagang pesawat telepon!

 

Pelopor PC Khusus Game

via CNet

Nelson Gonzales berteriak-teriak layaknya orang kesurupan sambil mengacung-acungkan Gaming Magazine episode terbaru. Alex langsung merebut majalah itu dan ikut larut dalam sukacita. Saat itu tahun 1997 – Sudah setahun setelah mereka berada di tahapan hidup segan, mati pun enggan dengan perusahaan Alienware mereka. Akhirnya majalah terkemuka yang biasa mengulas game konsol, tertarik mengulas mesin mereka: Area 51, sebagai tajuk utama. Gaming Magazine menyebut PC high end tersebut sempurna dan andal.

via Sets

Segera setelah itu, pesanan mengalir bak air bah. Sekedar info: Memang perangkat yang berhasil diulas dalam majalah tersebut, apalagi mendapatkan rating bagus, pasti akan menjadi buruan gamer. Nelson dan Alex mendapatkan telepon dari seluruh penjuru Amerika yang menginginkan mesin buatan mereka. Brand mereka segera diasosiasikan dengan PC high end khusus game yang keren dan berjiwa muda. Para pembuat komponen PC pun bersemangat, karena ceruk baru yang tercipta berkat perjuangan kedua sahabat ini memungkinkan mereka memproduksi komponen kelas atas secara optimal dan lalu menjualnya. Sebelumnya, prosesor high end, kartu grafis 3D, dan soundcard berkualitas tidak begitu laku karena pasar menginginkan ‘yang biasa-biasa saja’. Vendor raksasa seperti Intel dan Compaq pun segera menghubungi Alienware untuk kerjasama yang lebih serius. Standar keren untuk maniak PC pada tahun 1998 pun segera beralih ke Alienware 51 dengan spek prosesor Intel didukung tiga kartu grafis (satu kartu grafik 2D dan dua kartu grafik 3D tambahan dengan chip 3Dfx’s Voodoo). Selain itu, Area 51 memiliki dual soundcards, yang keduanya mendukung Sound Blaster 16 dan DirectX 3D audio.

via Sets

Harganya? Tahan napas dulu: USD 3799! Konversikan ke rupiah dan kamu akan mendapatkan harga 50 jutaan! Pada masa itu bahkan Apple Computers tidak dapat menjual mesin semahal itu. Namun terbukti bahwa untuk sebuah kualitas terjamin, uang bukan masalah. Alienware mendapatkan pasar tersendiri.

Kesuksesan Alienware bukan tanpa saingan. Melihat ceruk pasar menguntungkan tersebut, perusahaan-perusahaan besar seperti IBM (yang baru saja diakuisisi oleh Lenovo) ikut tergiur. Namun meskipun mampu membangun PC dengan spek serupa dan harga lebih miring, mereka belum mampu menciptakan citra seperti Alienware. Publik, dalam hal ini gamer, meletakkan kepercayaan yang sangat tinggi pada perusahaan milik Nelson dan Alex. Alienware melaju seolah tanpa saingan di ceruk PC game high end.

via Sets

Ketika era portabel mulai menjadi tren, Alienware menunggangi tren tersebut dengan merilis sebuah laptop high end keren khas mereka: spek tinggi dan tampilan yang unik. Nelson dan Alex menyatakan bahwa laptop ini sangat cocok untuk gamer yang hobi bermain game di mana saja mereka berada. Apalagi saat itu internet sedang naik daun. Gaya hidup mobile mulai menjadi primadona. Seperti juga lini desktop populer mereka, laptop ini diberi nama Alienware Area 51-M. Speknya mencakup prosesor Intel Pentium 4 2.4 GHz, layar 15 inci, kartu grafik Radion 7500, RAM 512MB dan 40GB yang merupakan spek paling tinggi untuk sebuah laptop pada zaman itu. Uniknya, laptop ini tidak hanya disukai oleh kalangan gamer, tapi juga pekerja profesional, terutama di bidang media (fotografer, videografer, programmer, dsb) karena kemampuannya yang mumpuni untuk menggantikan sebuah Workstation.

Di tahun yang sama, Dell mulai mengalami kemandegan. Produsen PC lain, terutama yang berbasis Taiwan seperti Asus dan Acer, mulai mengejar dengan skema milik Dell – PC murah dengan spek mumpuni dan jaminan garansi yang bagus. Dell sendiri memang menjadi yang terbesar di AS saat itu untuk sebuah produsen PC, tapi mereka kesulitan untuk ‘menjadi lebih besar lagi’ karena terhambat oleh skema miliknya sendiri: Menghapus perantara. Tanpa perantara yang mumpuni, tentu saja Dell kesulitan memasarkan produknya ke benua lain. Ini ditambah lagi kuatnya citra Dell sebagai ‘pemotong perantara’ menjadikan para makelar enggan berurusan dengan Dell. Jadilah pasar Dell di AS digerogoti sedikit demi sedikit oleh produsen asal Asia, terutama Taiwan, Tiongkok, dan Jepang. Dell membutuhkan inovasi!

Pada kisaran masa inilah, analis mulai memanas-manasi Dell untuk membeli Alienware. Memiliki Alienware akan menjadikan Dell memiliki stream of revenue yang beragam. Dengan tidak meletakkan telur hanya di satu keranjang – nasihat investasi yang paling dasar – Maka Dell berpeluang mempertahankan singgasananya sebagai produsen dan assembler PC terbesar di AS. Apalagi citra Alienware sebagai perusahaan yang ‘keren’ bakal mendongkrak citra Dell yang terkenal kaku dan rigid (pendek kata: membosankan) dalam desain.

Isu tersebut lama berhembus, namun tak kunjung jadi nyata. Michael Dell, di luar citranya yang terlihat lincah dan ambisius dalam berbisnis, ternyata cukup kaku dalam menghadapi masalah prinsip perusahaan yang mendasar. Michael kurang berani menangani atau mengubah cara berbisnisnya – tercermin dalam desain Dell yang terkenal kaku dan membosankan itu – hingga akhirnya pembicaraan bisnis dengan Alienware hanya berupa gosip yang mengawang-awang.

Namun di suatu pagi tahun 2006, Nelson dan Alex menerima telepon yang nyaris tidak mereka percayai: Dell Computers mengajukan penawaran fantastis terhadap Alienware!

 


 

Alienware akhirnya menjadi bagian dari Dell. Namun penurunan yang tengah terjadi pada raksasa komputer itu sulit dibendung. Michael melakukan upaya terakhir untuk menyelamatkan perusahaannya. Jangan lupa ikuti episode terakhir dari Arc tentang kekaisaran Dell: Kisah dari Silicon Valley #15: Kembali ke Singgasana.

 

Referensi

Dell, Michael. 1999. Direct from Dell: Strategies that Revolutionized an Industry. Collins Business Essentials

Pearlson, Keri & Yeh, Raymond, 1999. Dell Computer Corporation: A Zero-Time Organization. University of Texas at Austin – Graduate School of Business

Kreamer, Kenneth L., Dedrick, Jason, & Yamashiro, Sandra. 2000. Refining and Extending the Business Model with Information Technology: Dell Computer Corporation. The Information Society, 16:5-21.

Tsotsis, Alexia. (2011). Michael Dell on His Infamous ‘I’d Shut Down Apple’ Quote: “My Answer was Largely Miscontrued. Tech Crunch.

Kevin Lee on May 12, 2016 – http://www.techradar.com/news/computing/pc/from-miami-to-area-51-the-20-year-history-of-alienware-1321359

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation