Kisah Silicon Valley #18 – Perang Musik Digital: Zune

via Engadget

Seorang wanita nampak duduk di bangku taman, mengeluarkan Sony Walkman dan asyik mendengarkan lagu. Sekitar dua puluh meter di depannya, kru New York Post mewawancarai seorang gadis yang jogging mengelilingi Central Park. Sebuah iPod nampak mudah dikenali dari kejauhan karena bentuk headsetnya yang khas berakhir di saku gadis tersebut. “Kalian ingin tahu pendapat saya tentang iPod?” Gadis itu tertawa. “Ini benar-benar temuan revolusioner yang luar biasa! Di tempat kuliah dan tempat kerja saya, ini jadi tren! Maksudku, coba lihat wanita itu,” Si gadis menunjuk ke arah wanita yang duduk di bangku taman dengan Sony Walkman. “Saya sangat bersimpati kepadanya karena dia tidak punya iPod. Malang sekali nasibnya. Teknologi modern belum menyentuhnya sehingga harus memakai alat kuno itu…”

Wabah iPod tidak terbendung. Nyaris semua orang ingin menggunakannya, menentengnya. Bagi mereka yang tumbuh dewasa di awal 2000-an, iPod adalah sebuah gaya hidup baru! Setelah popularitas yang diperoleh dari tampil di Acara Oprah, Apple menunggangi arus dengan sangat baik. Meskipun klasik dan mendasar, Apple menggunakan trik ‘membagi-bagikan iPod secara gratis kepada para selebriti’ (Apple menyangkal hal ini), tujuannya adalah untuk mendapatkan eksposur dan pemberitaan setiap kali perangkat tersebut terlihat di tangan selebriti tersebut. Taktik ini sukses dengan brilian!

The Sun, koran Inggris yang hobi membahas remeh temeh selebriti, rutin menurunkan berita bahwa Becks & Posh (David Beckam dan Victoria – yang saat itu adalah selebriti paling hot di Inggris) berlibur dengan membawa iPod. Pada Agustus 2003, The Sun menurunkan berita utama yang mungkin terdengar konyol bagi kita: “Sulit Dipercaya, Geri Halliwell Belum Memiliki iPod” – Ini langsung disambar tabloid-tabloid gosip lain dengan tajuk semodel: “Apakah Geri Halliewell SATU-SATUNYA selebriti yang BELUM keranjingan iPod?”

Ketika Oprah sekali lagi menampilkan iPod di antara barang-barang Favorite Things miliknya pada 2005, popularitas iPod mungkin sudah di atas Oprah, karena koran-koran di AS sibuk mengomentari ‘Oprah kelihatan tidak familiar dengan iPod-nya’, ‘Oprah sepertinya tidak tahu cara menggunakannya’, diikuti komentar serupa dari para pembaca ‘mengutuk’ ketidakbisaan Oprah mengoperasikan iPod.

Apple jelas mengantongi ratusan juta dolar keuntungan dari bisnis baru ini, diiringi tatapan iri dari Redmond!

 

Wawancara Konyol Ballmer tentang DRM

Sayangnya, Microsoft yang saat itu dipimpin oleh CEO-nya yang ekspresif, Ballmer, kesulitan untuk menyembunyikan rasa irinya terhadap Apple. Pada 3 Oktober 2004, Ballmer menuju Eropa untuk menghadiri beberapa pertemuan, saat itu wartawan mengambil peluang untuk berdiskusi dengan Ballmer. Jack Schoffield dari The Guardian mencatat beberapa jawaban konyol Ballmer.

“Saya akan mengulas tentang DRM. Kita memiliki DRM di Windows selama beberapa tahun, tidak ada yang baru mengenainya..”

Jurnalis memotong, “Tapi DRM tidak berhasil menghentikan pembajak yang merajalela kan?”

“Tentu saja tidak. Kita ambil saja contoh format musik paling umum yang didengarkan di iPod..”

Para jurnalis mulai kebingungan, “iPod?”

“Iya… Itu dicuri”

“di iPod?”

“Iya. Sebagian besar orang masih mencuri musik,” Ballmer tertawa. “Anda memang dapat membeli musik yang diproteksi, tapi itu tidak serta merta memengaruhi kenyataan bahwa mayoritas khalayak masih mencuri..”

Sebenarnya konteks pembicaraan Ballmer saat itu adalah, tidak masuk akal jika remaja (pangsa pasar terbesar iPod saat itu) memiliki 8.000-an lagu di dalam iPod 40GB (Coba kalikan dengan harga lagu yang dijual di iTunes), jadi hampir dapat dipastikan banyak orang yang masih membajak lagu untuk mengisi iPod-nya. Ini menjadi alasan Microsoft mengembangkan sistem DRM baru yang memungkinkan lagu tidak bisa dibajak. Akan tetapi tentu saja ucapan ini menyinggung konsumen. Secara tidak langsung, Ballmer mengatai konsumennya adalah pencuri! Belum lagi sebagian besar pengguna iPod menikmati iTunes di Windows yang memang pada era itu memiliki pangsa pasar terbesar. Belum lagi DRM khusus untuk Windows (pintu untuk Microsoft berjualan musik) dirilis, banyak orang sudah eneg oleh ucapan Ballmer.

“Saya bersumpah tidak akan membeli produk dari perusahaan yang menyebut saya pencuri!” ujar seorang pengguna iPod dengan geram dalam sebuah wawancara.

 

Kontroversi Mengiringi Zune

via onMSFT

Microsoft secara alamiah selalu menempatkan diri sebagai pesaing Apple. Kesuksesan iPod tentu saja membuat Redmond panas dingin. Apalagi BestBuy, peritel elektronik terbesar AS, dan Walmart, jaringan toserba yang pemiliknya juga salah satu orang terkaya dunia, memanas-manasi Microsoft untuk membuat produk pesaing. Perlu diketahui, bahwa Steve Jobs begitu yakin akan iPod, sehingga menolak untuk memasarkan iPod melalui BestBuy dan Walmart. Steve Jobs menganggap itu akan menjadikan produknya ‘turun gengsi’ jika harus dipasarkan lewat toserba atau toko online. Jobs memilih membuka Apple Store yang menjadikan para pelanggannya bisa merasakan pengalaman mencoba produk-produk Apple dan akhirnya memilih yang paling pas untuk mereka.

Ballmer yang menjabat CEO jelas dalam tekanan. Namun direksi Microsoft sudah punya bayangan untuk bersaing. Mereka tidak hanya berencana menawarkan sebuah pemutar musik, tapi Portable Media Center (PMC) – Ini memungkinkan pengguna tidak saja memutar musik, tapi juga video di perangkat tersebut. Sebenarnya produk semacam ini sudah ada, diproduksi oleh Creative, Samsung, dan River, yang merupakan perusahaan-perusahaan besar Asia, namun produk semacam ini asing di AS. Microsoft melihat celah di sini, apalagi mereka berniat untuk menyatukan PMC dengan sistem Windows XP – Pelanggan bisa mengoper data video dan musiknya dengan komputer Windows ke perangkat PMC tersebut dan nantinya menikmatinya di perjalanan.

Dalam sebuah rapat di tahun 2006, para eksekutif Microsoft menyoroti hal ini. Pada rapat tersebut disimpulkan dua hal, Microsoft harus menciptakan pesaing iPod dengan merek yang kuat, dan yang kedua, dalam jangka panjang harus dapat membuat ponsel yang dapat memutar musik – Microsoft mampu melakukan keduanya!

Namun sayangnya, tahun itu konsentrasi Microsoft sedang terpecah. Microsoft sedang berjuang untuk mengalahkan Google dalam mesin pencari, juga didorong untuk mengalahkan Apple dalam pemutar musik. Ini diperburuk dengan orang-orang kuno di Microsoft sangat ingin ‘pamer kekuatan’ dengan cara menantang kedua perusahaan itu secara terbuka, dalam artian ‘merebut pasar dengan menciptakan produk yang lebih baik’. Dewan Direksi Microsoft dengan pongah menyatakan, “Kita berhasil mengalahkan Lotus (aplikasi spreadsheet semacam Excel yang populer di era 90-an) dengan cara terbuka! Kita sudah mengalahkan WordPerfect (aplikasi semacam Word yang populer tahun 90-an) dengan cara terbuka! Kenapa kita tidak dapat mengalahkan iPod secara terbuka?”

Pieter Knook, karyawan senior Microsoft menggelengkan kepala, “Kita tidak akan bisa mengalahkan iPod dengan cara itu.” – Sayang, tidak ada satu pun dari anggota direksi yang mendengarkannya.

Allard dari tim Xbox memberikan bantuan. Idenya cukup brilian, menyatukan software milik Zune ke Xbox, sehingga selain menggunakan PC, pengguna juga dapat menyinkronkan lagu menggunakan Xbox. Ini dimungkinkan dengan konektivitas WiFi – Fitur yang tidak dimiliki oleh iPod. Namun metode ini mengharuskan Microsoft mengubah sistem software, sehingga memiliki kelemahan: DRM (software terkait hak cipta yang mengunci file musik agar tidak bisa disalin ke perangkat lain) akan terhapus dengan sendirinya setelah lagu diputar. Ini menjadikan label rekaman marah dan meminta Microsoft untuk memperbaiki hal tersebut.

Ide perangkat ini mulai bocor ke publik. Slashdot, website teknologi populer di era itu mulai mencari informasi dengan mewawancarai koneksinya di Microsoft. Mereka bahkan mendapatkan foto prototip awal Zune yang berwarna coklat, beserta informasi speknya. Beberapa media menunjukkan foto Zune kepada Steve Jobs dan meminta komentarnya. Jobs dengan sinis mengatakan, “Satu-satunya masalah Microsoft adalah: mereka tidak memiliki selera… Mereka sama sekali tidak memiliki selera, dan maksud saya itu bukan dalam taraf yang kecil, tapi dalam hal besar…” Jobs menggelengkan kepala. “Mereka tidak memiliki ide orisinal. Saya sedih, bukan karena kesuksesan Microsoft. Mereka layak sukses, tapi saya sedih karena mereka meraih sukses hanya karena produk kelas tiga.”

Komentar Jobs ini langsung disambar media dan menjadi headline di mana-mana. Jobs bahkan sampai perlu menelepon Bill Gates secara pribadi untuk meminta maaf. Bahkan dia kemudian mengumumkan permintaan maafnya tersebut lewat sebuah jumpa pers resmi, “Saya minta maaf. Seharusnya saya tidak mengatakan hal itu ke publik. Saya merasa tak enak.”

Sebulan setelah kehebohan itu, Zune mulai dijual di toko. Masa persiapan produksinya cukup singkat: hanya delapan bulan. Satu-satunya ulasan negatif terhadap produk ini hanya pernyataan bahwa “Microsoft nampak terlalu keras berusaha agar produk ini memiliki banyak fungsi – Ini berbeda dengan pendekatan Apple yang hanya menginginkan bahwa produknya cukup memutar musik saja.” – Namun deretan review positif yang diterima Zune tidak membantu angka penjualannya. Liburan Natal tahun 2006 dilalui Zune dengan hanya mendapatkan 2% penjualan dari seluruh pangsa produk pemutar musik (dengan iPod memegang 96%-nya tentu saja).

Eksekutif Microsoft, Pieter Knook, menyatakan bahwa Apple dapat menggilas Zune kapan saja cukup dengan menurunkan harga. Nyatanya lebih parah dari itu: Steve Jobs bahkan tidak bersedia mengurangi harga iPod sedikit pun, dan Zune tetap tidak mendapatkan pangsa pasar yang signifikan! Zune pun melalui musim dingin yang benar-benar dingin untuk tim produksi dan pemasarannya.


Smartphone mulai membanjiri pasar! Inilah turunnya era pemutar musik. Baca episode selanjutnya di Kisah Silicon Valley #19: Perang Musik Digital – Senjakala Pemutar Musik

 

 

Referensi

Arthur, Charles. (2013). Digital Wars – Apple, Google, Microsoft, dan Pertempuran Meraih Kekuasaan atas Internet. PT. Elex Media Komputindo

Isaacson, Walter. (2011). Steve Jobs. Simon & Schuster.

O’Brien, Terrence. (2015). Gone too Zoon: We Reflect on Microsoft’s Failed Music Project. Engadget

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation