Kisah Silicon Valley #71 – Sony Merajut Kesuksesan

Salah satu anekdot tentang Sony pada era Ibuka dan Morita yang terkenal adalah bagaimana kedua chairman Sony tersebut sangat memperhatikan anak buahnya. Mereka tidak pernah membedakan antara ‘karyawan kerah putih’ (yang bekerja di kantor) dengan ‘karyawan kerah biru’ (yang bekerja di pabrik). Ibuka dan Morita selalu memandang “semua orang yang bekerja untuk Sony memiliki peran dan jasa yang sama”. Lebih menakjubkan lagi, dengan jumlah karyawan yang pada saat itu mencapai ribuan, Ibuka dan Morita hafal nama-nama mereka, dan bahkan mengingat banyak detail dengan orang tersebut. Ibuka suka berkeliling sambil menanyakan kabar putri seorang karyawan, atau bagaimana sakit punggung yang dikeluhkan karyawan lain. Ini menciptakan kebanggaan di kalangan para pekerja Sony, dan para engineer selalu ingin memberikan ciptaan terbaik untuk perusahaan ini.

 

Perdebatan nama tiada akhir

Januari 1958 adalah era baru untuk Totsuko seiring dengan mulai diadopsinya Sony sebagai nama korporasi. Itu adalah masa-masa paling galau untuk direksi Sony. Mereka tidak ingin mengubah nama yang sudah membawa hoki sekian tahun untuk mereka serta seperti umumnya perusahaan Jepang, mereka tidak merasa nyaman menyandang ‘nama asing’ dan memiliki kebanggaan yang tinggi akan nama khas Jepang mereka. Perdebatan masalah nama ini terus menerus berlangsung hampir selama tiga tahun (dan selalu diveto oleh Morita dan Ibuka), hingga akhirnya setelah tiga tahun yang tak produktif itu barulah perusahaan berani mengeluarkan produk dengan merek “Sony” untuk dijual di pasar Jepang.

“Nama ini memungkinkan kita melakukan ekspansi ke seluruh dunia,” ujar Morita di depan rapat umum direksi. “Itulah kenapa kita menempuh semua kesulitan ini dan menjadikan nama perusahaan kita Sony Corporation, karena kita akan menguasai dunia!”

Keputusan Sony untuk mengalihkan fokus dari pasar domestik ke internasional diambil saat kunjungan Morita ke Philips pada tahun 1953. “Belanda adalah negara yang mirip dengan Jepang dalam banyak hal. Jika perusahaan seperti Philips bisa sukes di pasar internasional, maka tidak ada alasan Totsuko tidak akan sukses,” Terdorong oleh kesimpulan itu, Morita ‘mendorong’ Sony sekuat tenaga untuk mulai mengonsentrasikan energinya guna menghasilkan ekspor ke pasar internasional.

Bursa Saham Tokyo bahkan sampai perlu merasa mengajukan protes atas perubahan nama Totsuko menjadi Sony. Mereka khawatir kepercayaan orang terhadap perusahaan akan berpengaruh pada nilai saham, dan bagi perusahaan sekelas Totsuko/Sony, itu akan berdampak ke banyak sektor. Namun Morita dan Ibuka kukuh mempertahankan nama Sony sambil meminta Bursa Saham Tokyo agar ‘memandang ke masa depan, bukan hanya hari ini’. Akhirnya pihak otoritas Jepang dan bursa saham menyerah atas kengototan kedua chairman Sony ini. Dan memang kelak Morita dan Ibuka membuktikan bahwa keputusan mereka tidak keliru.

 

Meraih Sukses Karena… Dirampok

Sony TR-63, Korban Pencurian dari Gudang Delmonico

Ini hal yang tak wajar, tapi memang benar terjadi. Kesuksesan besar Sony di Amerika adalah karena mereka dirampok!

Pada September 1957, Agrod, produk Sony yang merupakan perangkat radio besar sudah ditandatangani untuk dijual di AS serta sudah mendapatkan jaringan pemasaran yang mapan. Agrod dijual melalui jaringan Delmonico International, berbasis di New York. Nama Sony waktu itu mulai dikenal sebagai radio transistor berkualitas tinggi.

Pada tanggal 13 Januari 1958, Hiroshi Tada, perwakilan Sony yang berada di New York untuk mempersiapkan pembukaan kantor cabang Sony New York, pulang dari kerja dan menyalakan radio untuk mendengarkan berita. Betapa terkejutnya dia ketika mendengar berita yang menyatakan bahwa ada pencurian besar-besaran dan korbannya adalah 4000 radio Sony dari Delmonico. Seakan tak percaya mendengar berita tersebut, Tada kemudian menelepon Shiro Yamada, salah seorang eksekutif Sony. “Ya,” kata Yamada. “Aku mendengarnya juga.”

Pagi berikutnya, koran New York Times menampilkan tajuk berita “4000 Radio Transistor Jepang Dicuri dari Gudang Delmonico“. Menurut artikel tersebut, kantor dan gudang Delmonico terletak di perempatan yang sibuk bernama “Shopping Yard”. Pada jam paling sibuk, yaitu 6 sore, pencuri membongkar jendela lantai atas. Sebuah tim yang terdiri dari lima orang dengan ‘gagah berani’ mengemudikan truk, berhenti tepat di depan pintu, dan memuatnya dengan barang-barang curian tersebut. Lebih dramatis lagi, gudang tersebut bersebelahan dengan gudang yang memuat merek-merek radio lainnya, dan SEMUANYA DIBIARKAN TIDAK DICURI! Pencuri tersebut hanya mengambil 400 karton yang semuanya berisi radio produk Sony, TR-63S. Jumlah kerugian dari pencurian tersebut adalah USD 100.000.

Karena hanya merek Sony yang dicuri, media dan orang-orang membicarakan hal tersebut secara masif. Tentu saja kemudian mereka saling bergosip: “kenapa hanya Sony yang dicuri?”, “Apakah merek lain tidak seberharga Sony?”, dan sebagainya. Efeknya bahkan orang-orang banyak bertanya: Seperti apakah kualitas Sony yang menjadikan para pencuri hanya mau mencuri radio Sony?

Setelah peristiwa itu, TR-63 langsung menarik perhatian. Orang-orang mulai penasaran dan membeli perangkat Sony. Testimoni mengenai kualitas produk radio transistor ini langsung menyebar seperti api dari mulut ke mulut. Bahkan ketika akhirnya TR-63 tidak diproduksi lagi dan digantikan TR-610 yang lebih kompak dan performa yang lebih baik, permintaan pesanan radio tidak kunjung berhenti. Justifikasi atas kualitas Sony tercermin dari obrolan di berbagai warung kopi dan pojok-pojok rumah, “Pantas hanya merek ini yang dicuri. Kualitasnya memang benar-benar sangat bagus!”

 

Mengembangkan Produk-Produk Lain

C-37A Mikrofon yang diluncurkan tahun 1958 via Sony

Radio transistor memang telah menjadi kekuatan Sony. Tidak ada lagi yang meragukan itu. Penjualan yang selalu terjamin menjadikan Sony mulai berani berekspansi. Pada awalnya karena memang audio adalah spesialisasi perusahaan tersebut, maka mereka mulai memproduksi perlengkapan audio lainnya. Salah satu di antara produk baru tersebut adalah condenser microphone yang berkode C-37. Sampai sekarang produk ini disebut-sebut sebagai contoh dari teknologi Jepang yang berkelas dunia.

Apa keistimewaan condenser microphone? Ini adalah teknologi baru menggantikan mikrofon dinamis, dengan tambahan sebuah kapasitor yang membantu mikrofon lebih sensitif. Karena cenderung lebih sensitif dan responsif dibanding mikrofon dinamis, maka mikrofon kondensor lebih cocok untuk menangkap detail-detail kecil pada suara. Pada masa itu, para ahli audio di Jepang (seperti pembuat film dan teknisi suara radio dan televisi) lebih percaya pada mikrofon buatan asing (terutama Jerman) untuk aktivitas produksi konten mereka. Nakatsuru, salah seorang teknisi Sony mengamati fenomena ini dan merasa tertantang untuk membuat sebuah produk yang dapat menjadikan para kreator ini menggunakan produk dalam negeri (yaitu Sony tentunya).

Nakatsuru mengajak temannya, Heitaro Nakajima, seorang staf Science and Technical Research Laboratories di NHK (Stasiun Televisi terkenal Jepang) untuk mengerjakan sebuah prototype mikrofon yang bakal diterima oleh para kreator media di Jepang. Nakatsuru belajar banyak dari Nakajima tentang ‘persyaratan’ mikrofon yang unggul, dan dia juga banyak mempelajari mikrofon-mikrofon buatan Jerman yang digandrungi oleh kreator media di Jepang.

Ketika berhasil menyelesaikan prototype yang mendapatkan pengakuan dari Nakajima, Nakatsuru mengundang Ibuka untuk memeriksa temuannya dan kemungkinan untuk menjual produk berbasis prototype tersebut. Komentar Ibuka setelah mencoba mikrofon tersebut: “Kita harus mengiklankan ini. Ayo kita cetak merek Sony di tengah-tengahnya!”

Seperti visi Nakatsuru, mikrofon ini kemudian menjadi favorit para produsen media di Jepang, dan bahkan selanjutnya juga laris saat dijual ke luar negeri!

Ampex, pesaing Sony VTR pada tahun 1957 via Quad Videotape

Setelah kesuksesan mikrofon, Sony juga bereksperimen dengan beberapa produk lain seperti VTR, yaitu video tape recorder, sebuah perangkat yang memungkinkan kita merekam materi video dan memperbanyaknya. Produk VTR ini hampir saja gagal dijual karena pada saat Sony akan mengumumkan produknya, produsen VTR terkenal di masa itu, Ampex, baru saja mengumumkan sebuah produk baru yang menelan euforia Sony. Namun Ibuka pantang menyerah. Dia meminta para insinyur di Sony untuk meningkatkan produk tersebut dan bersaing dengan produk Ampex. “Jika Ampex bisa, tidak ada alasan Sony tidak bisa melakukannya!”

Pada akhirnya, Sony berhasil mengeluarkan produk baru yang lebih kecil, lebih ringan, namun memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan Ampex. Selain itu Sony mampu menjualnya dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan Ampex yang sebesar 30 juta yen hingga separuhnya saja!

VTR Produksi Sony via Sony

Media mulai memanas-manasi naiknya popularitas Sony dengan banyak produk ini dan membandingkannya dengan perusahaan-perusahaan Jepang lain. “Toshiba kini sebenarnya menyalip Sony dalam bidang transistor, karena produk Toshiba memiliki 2,5 kali output lebih baik dibandingkan Sony. Tapi Sony mengorbankan produksi transistornya untuk produk-produk lain.”

Ini dilatarbelakangi tindakan Toshiba yang menaikkan kapasitas produksinya di bidang transistor. Mereka menginvestasikan 1,3 miliar yen untuk produksi massal transistor. Sebagai perusahaan ‘tua’, tentu saja mereka terpacu untuk menyalip Sony. Apalagi sebelum Sony membuat radio transistor, Toshiba sudah memiliki produk radio sendiri. Sony masih belum mampu bersaing secara finansial dengan Toshiba yang sudah ‘mengakar dalam’ di Jepang. Sony memilih untuk mendiversifikasi modalnya untuk produk-produk inovatif lain dan membiarkan Toshiba menekannya di pasar transistor.

Ibuka menanggapi hal ini dengan mengucapkan, “Hari ini, masih banyak sekali manfaat transistor di produk konsumen. Jika kami dianggap mengorbankan pengembangan produk terkait transistor, maka tidak ada salahnya memang kami melakukan itu.” Ibuka dan manajemen Sony mengakui bahwa mereka tidak merasa bersalah ‘menghindari persaingan’ di bidang transistor. “Kami hanya melakukan hal yang kami mampu secara efektif dan tentu saja kami melakukan yang terbaik untuk konsumen.”

Artikel terkait ‘pengorbanan’ ini menunjukkan bagaimana para perusahaan di Jepang memandang ‘persaingan’ sebagai ‘pertaruhan harga diri’, dan tindakan Sony yang tidak menanggapi upaya persaingan di bidang transistor tersebut seperti ‘menghindari perang’. Hal yang tidak wajar untuk budaya Jepang. Namun Ibuka dan Morita jalan terus. Mereka berfokus pada hal-hal baru yang dapat mengembangkan kehidupan konsumen.


Perjalanan masih panjang untuk pabrik inovatif ini. Minggu depan kita akan membahas bagaimana Sony mengokupasi Amerika Serikat di Kisah Silicon Valley #72 – Dominasi Baru di Amerika.

 

 

 

Referensi

Hayashi, Nobuyuki. 2014. The tales of Steve Jobs & Japan: Casual friendship with SonyNobi.

Kahney, Leander. 2010. Steve Jobs’ Sony Envy [Sculley Interview]CultofMac.

Sony Corporate Info. Sony.

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation