Kisah Silicon Valley #81 – Pembuat Kartu yang Jadi Legenda

via Much

Di atas semuanya, video game hanya berarti satu hal: kesenangan. Kesenangan untuk semua orang

Ucapan Satoru Iwata, President Nintendo itu menyemangati acara Game Developers Conference tahun 2006. Iwata saat itu meminta agar developer terus menambahkan game-game menyenangkan di produk konsol Nintendo. Inti dari Nintendo adalah kesenangan. Dalam kesempatan lain bahkan Iwata juga mengatakan bahwa dia tidak malu akan fakta bahwa anak-anak mendukung Nintendo sementara orang dewasa menganggap Nintendo merusak anak-anak mereka karena menjadikan anak-anak malas belajar. “Ini karena anak-anak menilai sebuah produk berdasarkan insting. Karena mereka menganggap produk itu menyenangkan. Itu adalah inti bisnis ini.”

Bertahun-tahun kemudian, setelah anak-anak itu dewasa, mereka berterima kasih karena Nintendo adalah salah satu hal yang menjadikan masa kecil anak-anak indah.

 

Berawal dari Permainan Kartu

via Culture Trip

Sebelum menjadi perusahaan game dengan aset miliaran dolar, perusahaan ini dikenal dengan nama “Nintendo Koppai” yang jika diterjemahkan, kurang lebih bermakna “Pada akhirnya, berada di tangan surga”. Nintendo Koppai didirikan oleh Fusajiro Yamauchi dan produk utamanya pada saat itu adalah kartu hanafuda, ini adalah kartu bergambar yang dapat digunakan untuk berbagai macam bentuk permainan. Permainan kartu tersebut sangat populer di masa itu dan dimainkan oleh semua kalangan baik orang tua, anak-anak, bahkan yakuza!

via Culture Trip

Pada awal 1950-an, perusahaan ini adalah salah satu perusahaan paling sukses di Jepang (bersama Sony dan Fujitsu) dan mengubah namanya menjadi Nintendo Playing Cards Co. Ltd. Pada saat itu, tampuk kepemimpinan Nintendo dipegang oleh Hiroshi Yamauchi, seorang visioner yang bagi Nintendo sama pentingnya seperti Steve Jobs di Apple.

Gaya kepemimpinan Yamauchi sangat fokus dan tanpa kompromi. Dia menginginkan Nintendo hanya berfokus pada sedikit produk yang penting saja alih-alih melebarkan sayap ke banyak produk. Dalam masa kepemimpinan Yamauchi ini, Nintendo melebarkan sayap dan bahkan membangun sebuah kompleks perkantoran yang megah, hal yang jarang dilakukan oleh perusahaan Jepang pada era tersebut karena tingkat resesi yang sangat tinggi. Yamauchi melakukan langkah cerdas dengan membeli bidang tanah paling murah di Kyoto untuk memusatkan produksi Nintendo di sana.

Menjelang tahun 1960, Nintendo masih berfokus pada produksi kartu permainan, namun Yamauchi membuat beberapa inovasi yang menarik. Misalnya, melakukan kerjasama dengan Disney untuk menampilkan beberapa karakter populer Disney di kartunya. Ini memastikan kartu-kartu produksi Nintendo tetap laris pada zamannya. Perusahaan ini juga Go Public dengan menjual sahamnya di Osaka Stock Exchange dan Kyoto Stock Exchange.

 

Diversifikasi selalu gagal

via The Culture Trip

Meskipun permainan kartunya masih laris, Yamauchi berupaya untuk melirik bisnis-bisnis lain untuk menjaga agar Nintendo memiliki ‘usaha cadangan’ jika kartu-kartu yang dijualnya tidak lagi laku. Upaya pertama adalah membuat rice cooker, sesuatu yang dicoba banyak perusahaan Jepang pada masa tersebut, termasuk Sony, namun dalam hal ini, Nintendo gagal. Kesuksesan membeli tanah murah juga menjadikan Yamauchi tergoda bisnis properti. Dia membeli banyak tanah di Kyoto dan mendirikan jaringan Love Hotel pertama di Jepang. Ini adalah hotel dengan sewa per jam yang dapat digunakan oleh pasangan yang ‘dimabuk asmara’ dan bahkan prostitusi. Kenapa Yamauchi mendorong Nintendo untuk terjun ke bisnis yang sebenarnya tidak berkaitan dengan jalur bisnis perusahaan ini? Sudah merupakan rahasia umum bahwa Yamauchi adalah ‘konsumen’ untuk hotel per jam, meskipun dia sudah menikah pada saat itu. Meskipun cukup ‘inovatif’, keuntungan dari bisnis ini tidak setinggi yang diharapkan dewan direksi dan bahkan Yamauchi sendiri pada saat itu.

Upaya-upaya diversifikasi tersebut tidak kunjung sukses sehingga lama-kelamaan anggaran Nintendo menjadi semakin ketat. Mereka tidak bisa lagi sembarangan buang-buang uang. Akhirnya Yamauchi menyimpulkan bahwa ‘hoki’ Nintendo memang hanya pada permainan saja. Dia kemudian mengungkapkan kepada jajaran staf bahwa Nintendo akan berfokus untuk menciptakan hiburan baru khusus untuk anak-anak.

 

Penguji Cinta?

via Beforemario

Pada akhir dekade 60-an, seorang engineer Nintendo yang bernama Gunpei Yukoi ‘ketahuan’ oleh perusahaan membuat aneka macam mainan aneh. Hobi sang engineer adalah membuat mainan dari barang bekas. Di antara mainan miliknya, ada sebuah alat mirip trafometer yang bereaksi terhadap listrik statis pada manusia, yang artinya akan menggerakkan jarum jika dipegang. Yukoi suka menggoda karyawan wanita Nintendo dengan mengatakan bahwa alat ini adalah ‘penguji cinta’ – Jarum yang bergerak semakin tinggi menunjukkan semakin cocok pasangan yang memegang alat itu. Meskipun absurd, Yukoi sering mendapat pacar dengan triknya tersebut. Yamauchi ‘mencium’ aroma uang dari alat yang dibuat Yukoi tersebut. Love Tester kemudian diproduksi secara massal oleh Nintendo.

https://www.youtube.com/watch?time_continue=29&v=-0R4F_LlTWY

Seperti yang diduga Yamauchi, alat ini langsung laris di kalangan anak muda. Ramalan zodiak dan keberuntungan cinta memang secara umum adalah tema favorit gadis-gadis di Jepang. Adanya alat yang dikatakan ‘dapat menguji kecocokan cinta’, tentu saja langsung laris di kalangan remaja. Kesuksesan Love Tester ini mengilhami Yamauchi bahwa Nintendo harus mencoba membuat mainan elektronik alih-alih sekedar kartu.

Pada tahun 1974, Nintendo membuat video game pertamanya berdasarkan hak cipta dari Magnavox Odyssey, sebuah perusahaan game lain. Berdasarkan pengetahuan dari proyek ini, Nintendo kemudian mengembangkan konsol game yang memanfaatkan televisi berwarna yang mulai tren di tahun itu. Gunpei Yukoi memimpin divisi video game milik Nintendo ini! Seakan diberkahi keberuntungan, tahun itu juga bergabung seorang seniman muda yang bekerja karena mengagumi Yukoi dan Love Tester miliknya. Sang seniman muda ini, Shigeru Miyamoto, nantinya akan dikenal dunia sebagai kreator Donkey Kong, Mario, dan Legend of Zelda!

 

Jam dan Permainan

Momentum perusahaan sedang bagus-bagusnya dan pasar mulai penasaran dengan game apa yang akan dibuat Nintendo selanjutnya. Yukoi memang kreatif dalam hal ini. Suatu hari, saat sedang naik kereta, dia melihat seorang karyawan kantoran yang kelihatan bosan memainkan kalkulator miliknya selama perjalanan. Saat itu Yukoi langsung terpikir, seandainya ada sebuah mainan seukuran kalkulator yang bisa dimainkan untuk menghabiskan waktu, alangkah menyenangkannya. Bukan hanya terpikir, Yukoi langsung berusaha membuatnya!

Berbulan-bulan Yukoi kemudian mengerjakan sebuah alat dengan grafis sederhana yang intinya pengguna mengumpulkan poin dalam permainan tersebut. Yukoi kemudian menamakan alat ini: Game+Watch (selanjutnya bahkan istilah Game Watch – atau populer dengan kata gimbot di Indonesia – akan menjadi sebutan standar untuk alat permainan saku, meskipun bukan diproduksi oleh Nintendo). Kenapa disebut Game Watch? Itu karena perangkat tersebut memiliki layar LCD yang menampilkan jam dan permainan yang dikendalikan dengan beberapa tombol.

Meskipun penjualan Nintendo sangat bagus di Jepang, saat menjual gamenya di Amerika, Nintendo kurang berhasil. Di Jepang, Nintendo populer dengan gamenya yang berjudul Radar Scope, cara bermainnya mirip dengan Space Invader yang populer di Amerika. Hanya saja, pasar gaming Amerika sedang mengalami titik jenuh. Atari, perusahaan game terbesar di AS, membanjiri pasar dengan aneka konsol menjadikan orang-orang dilanda kebosanan karena memainkan video game yang itu-itu saja. Berlimpahnya konsol di AS ini bahkan mencapai titik jenuh hingga konsol tidak lagi laku.

Melihat pangsa pasar gaming di Amerika yang carut marut itu, Yamauchi malah mendapatkan ide. Nintendo harus menjadi ‘juru selamat’ dunia game! Harus ada sebuah game revolusioner yang tidak akan dapat disamai oleh produsen game mana pun di dunia ini!


Apa langkah boss Nintendo yang visioner ini? Benarkah Nintendo mampu ‘menyelamatkan’ dunia game? Ikuti kisahnya dalam Kisah Silicon Valley #82 – Game yang Menyelamatkan Dunia Game.

via The Culture Trip

 

Referensi

Gates, James. (2017). The Story of Nintendo, Kyoto’s Most Famous Company. The Culture Trip.

Gillete, Felix. (2018). The Legend of NintendoBloomberg.

Nintendo. Nintendo History.

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation