Kenapa Linux Jarang Digunakan?

Pernah tidak teman2 penasaran, kenapa meskipun gratis tapi kok Linux OS sepi pengguna? Disini saya membicarakan Linux Desktop ya, bukan yang lain — karena untuk keperluan lain mungkin teman2 akan heran saat tahu bahwa 63% server dari web atau aplikasi yang kita gunakan itu berjalan di platform Linux. Mayoritas cloud infrastruktur juga menggunakan Linux, bahkan super computer — semuanya pake Linux. Termasuk smartphone Android yang sekarang mendominasi, kernelnya juga dari kernel Linux yang dimodifikasi.

Tapi untuk Linux desktop yang kita pake di PC atau di laptop, kenapa masih aja sepi pengguna?

Nah kita mulai dari data di Indonesia dulu ya, untuk marketshare Desktop OS berdasarkan data terbaru dari StatCounter, Windows masih mendominasi dengan sekitar 84% pengguna, disusul macOS di dengan sekitar 6% pengguna, lalu ada Linux dengan 3.7% pengguna — dan terakhir ada Chrome OS ya yang lebih tidak laku lagi sebenarnya dengan 0.2% pengguna — tapi untuk Chrome OS, kita akan bahas nanti terpisah. Sekarang kita akan bahas dulu beberapa alasan kenapa Linux desktop jarang digunakan.

1. Bukan Pre-Installed OS

Alasan pertama yang punya pengaruh sangat besar adalah karena jarang ada brand yang membundling Linux sebagai pre-installed OS nya. Hampir semua laptop dan PC di pasaran, pre-install dengan OS Windows. Lalu sebagian yang Apple branded seperti Mac ataupun MacBook tentu langsung pre-install dengan macOS. Bahkan dulu kalo teman2 inget, ketika laptop dengan pre-installed Windows selisih harganya masih cukup tinggi dibanding dengan yang tanpa Windows, untuk versi non-Windows yang dijual lebih murah, banyak brand lebih memilih menjual PC atau laptopnya secara kosongan daripada mengisinya dengan Linux.

Sebenarnya ada beberapa brand PC atau laptop sih yang mengkhususkan diri untuk merilis PC dan laptop Linux seperti System76 — yang sekaligus jadi developer Pop!_OS, ada Tuxedo Computer, Framework, Slimbook, dsb. Tapi..keberadaan merek-merek ini sangat langka, terlebih di Indonesia.

Padahal mayoritas orang dan pengguna awam, itu akan pake OS apapun yang udah jadi bawaan dari device yang dia beli. Meskipun terlihat gampang buat kita yang paham, tapi bagi sebagian besar orang, install ulang ataupun mengganti OS bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Beberapa orang bahkan juga gak berani melakukannya. Jadi dengan jarangnya Linux menjadi sistem operasi bawaan dari laptop atau PC yang dijual, bikin OS ini juga lebih jarang digunakan dibanding OS desktop lainnya.

2. Delay Hardware Terbaru

Nah tapi kenapa kok banyak brand tidak menjadikan Linux sebagai OS pre-installed di perangkat yang mereka jual? Ini membawa kita ke alasan kedua, dimana saat merilis PC atau laptop terbaru, seringkali brand mengusung berbagai hardware terbaru dan fitur-fitur spesifik sebagai keunggulan — yang driver dan software pendukungnya, hanya mereka kembangkan untuk platform Windows aja. Berbagai brand hardware juga rata-rata hanya merilis driver official untuk platform Windows — sedangkan di Linux, karena berbasis komunitas, dan tidak semua vendor hardware mau merilis source code driver nya sebagai open source, maka perlu waktu lebih bagi maintener untuk melakukan reverse engineering dan menanamkan driver hardware-hardware terbaru ini kedalam kernel Linux.

Jadi ya meskipun distro Linux itu gratis, di versi non-bundling OS, kebanyakan brand memilih membiarkan device nya kosongan gitu saja dan berharap pembeli akan menginstall Windows OS nya sendiri dan berbagai driver resminya — dengan timbal balik harga yang lebih murah.

3. Tidak Familiar

Dan alasan ketiga, karena memang mayoritas orang tidak familiar dengan Linux. Bayangkan, sejak jaman sekolah kita sudah dibuat familiar dengan Windows. Mayoritas di sekolah dan kampus misalnya, lab komputernya rata-rata pake Windows. Fasilitas-fasilitas komputer lain, entah di perpustakaan dsb juga pake Windows. Pelajaran-pelajaran yang diberikan, juga banyak yang berbasis Windows, dan berbagai tugas pun seringkali harus dikerjakan pake Microsoft Office, seperti Word, PowerPoint, dsb — yang lagi-lagi juga dilakukan di Windows. Begitu familiarnya kita dengan Windows dan berbagai software yang ada di dalamnya. Sedangkan untuk Linux, itu beda cerita. Kalau tidak benar-benar suka dan kulik sendiri — atau memang sekolah / kuliah di jurusan IT, sulit untuk bisa familiar dengan OS ini.

4. Bukan Standar Utama

Dan alasan keempat, karena Linux bukan standar utama di dunia kerja. Memang ada beberapa pekerjaan yang memposisikan Linux sebagai OS utama, atau menjadi OS yang sangat penting di pekerjaan, seperti developer atau programmer, sys admin, data science, cyber security, dsb. Tetapi di luar itu, kebanyakan..Linux bukanlah standar OS utama yang digunakan.

Komputer-komputer kerja di perkantoran rata-rata pake Windows, software-software custom untuk enterprise juga banyak yang dibuat untuk Windows.

Berbagai pekerjaan juga melibatkan standar software yang hanya tersedia untuk Windows ataupun Mac. Software-software ini kebanyakan sudah dijadikan sebagai standar kerja, seperti olah dokumen misalnya, yang banyak menjadikan Microsoft Office sebagai software standar nya — seperti presentasi dengan PowerPoint atau olah data dengan menggunakan Excel. Lalu berbagai software creative yang menjadikan Adobe Suite sebagai standar, seperti Photoshop untuk edit foto, atau Premiere Pro untuk edit video — serta berbagai software spesifik lain seperti Autodesk, berbagai software accounting, billing, dll.

Tidak semua software yang dijadikan standar di dunia kerja ini tersedia di Linux desktop, sehingga perkantoran rata2 ya memborong PC Windows, begitu juga banyak pelaku kerjanya pada akhirnya rata-rata juga membeli PC Windows ataupun Mac.

5. Install Windows Sendiri

Dan ini membawa kita ke alasan kelima, yang meskipun Linux itu gratis — tapi karena familiarnya dengan Windows, software2 yang dibutuhkan juga ada di Windows, maka saat beli laptop atau PC kosongan alias yang non-OS pun — sebagian besar, pada akhirnya, akan memilih untuk diinstall juga dengan OS Windows — baik install sendiri atau request minta diinstalkan oleh penjualnya.

Ini juga didukung dengan mudahnya akses ke Windows bajakan, banyaknya lisensi Windows yang diperjual belikan dengan sangat murah juga di e-commerce, atau bahkan ketersediaan opsi free install Windows dari toko tempat laptop / PC dijual — yang membuat barrier untuk install Windows jadi sangat kecil, meskipun berbagai distro Linux sendiri benar-benar sepenuhnya free.

6. Takut Pake Linux

Dan alasan yang keenam, ini karena masih banyak orang yang masih takut pake Linux. Mereka merasa terintimidasi dengan terminal dan berbagai command yang harus mereka pelajari, terintimidasi dengan berbagai troubleshoot yang mungkin harus dilakukan saat mengalami permasalahan, takut dengan banyaknya waktu yang diperlukan untuk mempelajari workflow Linux yang belum familiar, lalu khawatir software atau aplikasi yang dibutuhkan tidak tersedia di Linux — dan tidak punya cukup waktu untuk mempelajari workflow baru di software alternatifnya. Bahkan tidak sedikit juga yang mau install pun takut! Takut Windows OS nya bermasalah, takut laptop atau PC nya bermasalah, garansinya hangus, atau ada fitur-fitur yang gak jalan setelah diinstall Linux.

Lalu masih ada juga salah persepsi bahwa Linux hanyalah OS untuk programmer, sys admin, ataupun hacker, bahwa di Linux semua harus dilakukan lewat terminal, dsb.

7. Terlalu Banyak Pilihan

Dan alasan ketujuh, karena banyak orang yang tertarik pake Linux, akhirnya bingung mau pilih yang mana. Freedom of choice di ekosistem Linux memang menarik dan jadi salah satu keunggulan utama, tapi terkadang bikin beberapa orang jadi bingung karena ada banyaknya pilihan yang harus ditentukan.

Pertama harus pilih distro apa, karena distro Linux itu ada banyak banget. Setelah menentukan distro, harus memilih mau pake Desktop Environment ataukah Tiling Window Manager. Kalo pake DE apakah Gnome, Kde, XFCE, atau yang lain. Kalo pake Tiling WM apakah Hyprland, Qtile, i3 atau yang lain. Setelah itu display protocol, mau pake X.org atau Wayland. Dan seterusnya. Terkadang hal-hal seperti ini yang bikin banyak orang merasa bingung, yang akhirnya malah batal mencoba Linux.

8. Kurang Marketing

Terus kurangnya marketing jadi alasan kedelapan kenapa Linux ini lebih jarang digunakan dibanding desktop OS lainnya. Disini kita berbicara tentang raksasa teknologi sebesar Apple dan Microsoft, yang budget marketingnya itu super besar. Reach market keduanya juga sangat besar. Termasuk brand partner nya yang juga begitu besar — yang ikut memarketingkan sistem operasi mereka di setiap produknya. Tentu kemampuan marketing ini jauh diatas Linux yang mayoritas distro nya dikembangkan oleh komunitas — dengan pendanaan yang mayoritas dari donasi, sponsor, dan foundation. Ada beberapa perusahaan juga yang mengembangkan Linux distro seperti Canonical dengan Ubuntu nya atau Red Hat dengan RHEL nya, tetapi jika dibandingkan dengan Apple dan Microsoft tentu jauh berbeda.

9. Situasi Gaming

Dan alasan kesembilan, situasi gaming di Linux sebenarnya udah sangat meningkat dibanding sebelumnya, bahkan jauh lebih baik daripada Mac berkat kemunculan steam deck dan proton compatibility layer yang dikembangkan oleh valve. Banyak banget koleksi game termasuk game-game triple A di steam yang bisa dimainkan di Linux dengan performa yang juga sangat-sangat baik. Tapi mayoritas gamer memang masih lebih memilih Windows kalo untuk gaming, pertama karena ada beberapa game populer yang memang tidak support Linux atau sebelumnya support, tapi sekarang tidak lagi terkait dengan kompatibilitas Anti Cheat di Linux. Beberapa game populer yang gak support Linux karena permasalahan Anti-Cheat ini antara lain Valorant, Fortnite, PUBG, dll. Terus alasan kedua banyak gamer lebih memilih Windows juga karena support berbagai aksesoris gaming entah itu steering wheel, dll — yang lebih luas daripada di Linux, karena memang banyak brand aksesoris gaming ini yang menyediakan drivernya hanya untuk windows saja.

Dan ini bisa kita lihat dari data di steam, dimana 96.1% gamer memilih menggunakan Windows sebagai OS nya, disusul Linux dengan 2.33%, dan terakhir menggunakan macOS dengan 1.58%.

10. Support Komunitas

Dan alasan kesepuluh karena support dari Linux, untuk konsumer ya, memang hampir semuanya berbasiskan support dari komunitas dan troubleshoot mandiri. Bisa dari forum, bisa dari dokumentasi, dan kalo ada masalah memang harus cari info sendiri. Kalo dulu googling ya, kalo sekarang bisa sedikit lebih mudah karena ada AI seperti ChatGPT dll yang bisa ditanyai solusi kalo kita mendapati masalah di Linux desktop kita. Meskipun semakin kesini semakin terasa mudah, Tapi bagi awam, terlebih bagi yang kurang begitu paham IT, ini bisa menjadi hal yang cukup rumit.

Jadi itu sih beberapa hal yang, menurut gue ya, bikin Linux Desktop lebih jarang digunakan daripada Windows ataupun macOS.

Tapi meskipun begitu, saya sangat puas menggunakan Linux Desktop — khususnya Ubuntu Studio yang saat ini menjadi daily driver utama untuk bekerja. Banyak hal yang menjadi ketakutan orang untuk menggunakan Linux, sebenarnya juga sudah kurang relevan — karena Linux desktop yang sekarang sudah banyak berubah dibanding Linux desktop yang dulu, yang mungkin nanti akan saya bahas di kesempatan berikutnya.

Jika ada pertanyaan atau pendapat silakan sampaikan di kolom komentar. Semoga artikel ini bermanfaat.

Febian

Productivity addict. Geek by nature. Platform Agnostic.

Post navigation