Abby Zuis, seorang gadis berusia 13 tahun tengah bermain dengan Galaxy Note 7 miliknya seraya menunggu saudaranya yang bersekolah di North Trail Elementary School di Farmington, Minnesota keluar. Tiba-tiba saja dia merasakan panas yang aneh menjalar dari ujung tangannya yang memegang ponsel trendi tersebut. Seperti kesemutan, tapi lebih menggigit. Refleks gadis kecil itu adalah melempar ponsel baru itu ke lantai. Benar-benar saat yang tepat, karena begitu menyentuh lantai, perangkat itu mengeluarkan suara mendesis dan meletup kecil. Kepala sekolah yang menyaksikan insiden itu langsung berlari dan menendang perangkat yang terbakar itu keluar gedung. “Syukurlah terbakarnya tidak di kantungku,” ujar Zuis. “Kami kira kami aman karena itu ponsel pengganti setelah banyak Note 7 yang diisukan meledak,” ujar ayah Zuis.
Orang lain tidak seberuntung Zuis. Seorang wanita di Taiwan sedang mengajak anjingnya berjalan-jalan, dan Galaxy Note 7 yang dikantonginya di saku belakang celananya mendadak terbakar. Di Virginia, sebuah Note 7 yang sedianya dikirimkan sebagai pengganti membara di stand yang terletak di atas meja Shawn Minter, pukul lima lebih empat puluh lima dini hari. “Kamarku sampai penuh asap,” ujar Shawn. “Aku bangun dan langsung panik.” Toko Sprint (operator lokal AS) setempat buru-buru datang dan menawarkan kepadanya… sebuah Galaxy Note 7 pengganti. Duh.
Kekacauan Akibat Note 7
Ketika insiden ‘meledak’ dan ‘terbakar’ pada Galaxy Note 7, salah satu lini smartphone Samsung yang sebelumnya sempat dipuja sebagai smartphone paling inovatif dekade ini, semakin banyak terjadi dan ramai diberitakan media, Samsung mengumumkan bahwa mereka ‘sementara menunda’ pengiriman Galaxy Note 7. Akan tetapi pesan dari raksasa Korea Selatan ini masih ambigu. Mereka menolak mengakui bahwa bencana yang terjadi pada Note 7 diakibatkan oleh kesalahan engineering. Samsung juga menyatakan bahwa mereka sedang dalam tahap ‘menyelidiki’ insiden tersebut dan meminta agar orang-orang tidak dengan segera mengambil kesimpulan bahwa perangkat ini tidak aman.
Samuel Burke dari CNN Money menanggapi sikap Samsung ini dengan keras, “Ponsel ini mereka anggap tidak cukup bagus untuk diproduksi saat ini, tapi tidak apa-apa untuk digunakan oleh konsumen. Apa-apaan ini?!”
Reputasi merek Samsung pun terjun bebas karena Samsung dinilai gagal bertindak tepat menanggapi insiden ini. Bahkan Sprint yang sudah bermitra dengan Samsung sejak lama pun terlihat pelan-pelan mendorong rekannya ini menjauh. Ketika sebuah akun Twitter men-twit:
“Hei @sprint, bagaimana kalau aku nggak percaya perangkat @SamsungMobile lagi?”
Sprint menjawab:
“Jangan kuatir. Kamu masih bisa mempercayai Apple, HTC, LG, atau Alcatel”
Setiap kali Samsung mengumumkan televisi atau mesin cuci baru, tanggapan konsumen adalah: “Aku sedang duduk di depan LCD Monitor Samsung. Kuharap ini nggak bakal meledak.”
Tindakan paling ekstrim (tapi mungkin paling dibutuhkan) dilakukan oleh hampir semua maskapai penerbangan. Mereka melarang penumpang yang menggunakan Galaxy Note 7 untuk naik ke pesawat, bahkan dalam keadaan mati sekali pun!
Kejatuhan reputasi Samsung oleh insiden ini merupakan salah satu yang terbesar dalam dekade ini!
Akar Masalah Samsung dan Galaxy Note 7
Untuk melihat sikap Samsung terhadap insiden Galaxy Note 7 serta kemungkinan penyebabnya, kita perlu mundur sekitar 5 tahun sebelum hal itu terjadi, yaitu pada April 2011.
Pada saat itu Steve Jobs menuduh Samsung ‘tidak tahu malu’ mencontek iPhone dan iPad, lalu kemudian mengajukan tuntutan ganti rugi sebesar USD 2,5 miliar. Ini merupakan awal pertempuran paten di Pengadilan yang berlangsung berlarut-larut bertahun-tahun kemudian antara Apple dan Samsung.
D.J. Koh, Vice President for Mobile Research and Development pada saat itu sangat tersinggung oleh ucapan Steve Jobs. Momen itu menjadi titik awal bagaimana kebijakan divisi mobile Samsung seolah-olah kemudian menjadi antitesis dari Apple.
Jika Apple mendewa-dewakan motto Think Different, Samsung kemudian mendorong divisi pemasaran untuk mencitrakan produknya sebagai pilihan yang pintar dan bebas. Mereka sepakat dengan kelompok pengguna Android di berbagai forum yang memandang fans produk Apple yang memandang dirinya kreatif, sebenarnya cuma pengikut buta yang pasrah saja atas apa yang ditentukan Apple dalam produk-produknya. Jika Apple hanya memberikan sedikit opsi untuk setiap produknya, maka Samsung kemudian berlari ke arah yang berbeda. Ada setiap produk untuk seseorang yang menginginkan sesuatu yang benar-benar pas untuk dirinya.
“Kami meyakini bahwa kami memiliki daya saing tersendiri,” ujar D.J. Koh. Ini kemudian tampak pada sebuah produk baru Samsung di tahun 2011. Sudah populer di seluruh dunia bahwa konsep smartphone bagi Steve Jobs adalah ‘kotak berukuran 3,5 inci (karena dengan begitu kita bisa dengan mudah menyentuh seluruh permukaan layar), dan tanpa stylus, karena.. tidak ada seorang pun yang menginginkan stylus’ – Samsung kemudian mengkreasi sebuah perangkat yang berlawanan dengan konsep tersebut: sebuah perangkat dengan bentang layar 5,2 inci, baterai yang lebih tahan lama, serta sebuah stylus sebagai pelengkap. Perusahaan Korea ini membanggakan produk ini sebagai hasil prinsip Gaeseon yang jika diterjemahkan berarti ‘penyempurnaan bertahap’ – mirip konsep kaizen di Jepang.
Steve Jobs sendiri menertawakan produk rilisan Samsung tersebut. Dia menyebutnya sebagai ‘Hummers’ (jip Amerika yang tenar karena ukurannya yang lebar dan tidak praktis). “Tidak akan ada yang membeli smartphone seperti itu,” ujar Jobs dalam sebuah konferensi Pers.
Namun Samsung memiliki keyakinan besar terhadap produk yang awalnya dibuat sebagai antitesis iPhone tersebut. Samsung Galaxy Note, dirilis pada Oktober 2011 – Merupakan ‘jalan tengah’ antara smartphone dan tablet. Di kemudian hari, bakal terbukti bahwa Apple tidak punya pilihan lain, kecuali mengikuti tren layar besar pada smartphone yang dihadirkan Samsung ini. Lebih parah lagi, tren smartphone berlayar besar ini perlahan-lahan kemudian ‘membunuh’ penjualan iPad yang sebelumnya eksis sebagai alternatif jika seseorang membutuhkan ‘iPhone berlayar besar’ untuk konsumsi multimedia.
Namun rilis Galaxy Note yang dinilai banyak pihak di seluruh dunia sukses sebagai sebuah antitesis iPhone, baik secara komersial maupun teknologi, membawa dampak yang buruk terhadap Samsung. Raksasa Korea ini menjadi ketagihan ‘bertarung’ dengan Apple, apalagi diposisikan head to head dengan perusahaan yang disebut-sebut paling inovatif di dunia ini. Seakan apa pun yang terjadi, mereka harus berhasil mengalahkan Apple melalui setiap rilis produknya.
Pada tahun 2016, D.J Koh, yang mana mengantongi reputasi sebagai ‘pembunuh raksasa’ dan orang yang sukses menaikkan reputasi Samsung di tingkat dunia, dipromosikan sebagai CEO Samsung. Selama lima tahun sejak kesuksesan Galaxy Note, tim mobile research and development yang dipimpinnya telah mendorong batas teknologi smartphone hingga ke batas yang sebelumnya dianggap mustahil. Samsung berhasil merilis smartphone dengan layar yang lebih besar dan hardware yang lebih kuat, menjual lebih banyak smartphone dibandingkan Apple, dan mengangkangi market share milik Apple di seluruh dunia.
Samsung Galaxy Note 7, sejatinya dirilis sebagai milestone kesuksesan Samsung dan D.J Koh selama ini. Sebuah perangkat yang dikemas dengan casing dari kaca dan logam yang indah, memberikan sebuah kesan perangkat mewah dengan balutan layar melengkung yang teknologinya sampai saat ini menjadi teknologi paling unggul dari Samsung, tahan air dan tahan terhadap benturan keras, dengan pemindai retina yang masih langka digunakan smartphone pada tahun tersebut. Namun karena keinginan untuk merilis smartphone ini pada waktu yang benar-benar tepat, untuk bertarung dengan iPhone 7 dan iPhone 7 Plus milik Apple, Samsung mendorong deadline teknologi dan manufakturnya ke batas di atas maksimal.
Untuk pasokan baterai Note 7, Samsung bergantung pada dua pemasok besar. Untuk smartphone di AS, Samsung bergantung pada SDI, perusahaan afiliasi Samsung yang juga merupakan salah satu produsen baterai paling sukses di dunia. Sebentarnya status SDI ini cukup unik. Di atas kertas, SDI adalah perusahaan yang berdiri sendiri. Namun faktanya, Samsung Electronics memiliki seperlima bagian SDI, bahkan eksekutif SDI harus melapor secara resmi kepada keluarga yang memiliki hampir seluruh saham Samsung. Ya, Samsung Group yang disebut-sebut memiliki nyaris seluruh saham Samsung ini tidak mengacu pada kelompok konglomerat tertentu, tapi ini benar-benar satu keluarga dengan ikatan darah, yang mana tentu saja menjadikan mereka sebagai keluarga paling berkuasa di Korea Selatan!
Sementara itu, untuk smartphone yang dirilis di Tiongkok dan seluruh dunia, Samsung mengandalkan produsen baterai asal Hong Kong, Amperex. Kedua perusahaan baterai ini menjadi tulang punggung Samsung Mobile dalam mendayai semua lini smartphone produksinya.
Seperti yang disinggung sebelumnya, mengalahkan iPhone merupakan hal yang sangat penting dan seakan menjadi candu bagi Samsung. Begitu mengetahui tanggal rilis iPhone, seluruh eksekutif ingin agar deadline perilisan Galaxy Note 7 dipercepat. “Kami sangat sensitif terhadap tanggal rilis iPhone,” ujar salah seorang manajer Samsung Mobile. “Kami ingin mengalahkan mereka dan terus menggerus jumlah para pengguna iPhone.”
Dengan nafsu dan motivasi seperti ini, jelas ketika mengetahui Apple merencanakan merilis iPhone 7 pada 16 September 2016, Samsung bergegas memajukan jadwal rilis Galaxy Note 7 pada tanggal 3 Agustus 2016, ini lebih awal dari rilis Galaxy Note 5 setahun sebelumnya. Dari 5 ke 7? Samsung memang sengaja ‘melewatkan’ angka 6 di Galaxy Note, dan langsung merilis Galaxy Note 7. Selain dengan 7 sebagai angka keberuntungan, Samsung beranggapan bahwa angka 7 yang sama dengan iPhone 7 nantinya akan menimbulkan perbandingan langsung bagi konsumen.
Bloomberg Technology waktu itu bahkan mengeluarkan headline yang provokatif: Hinaan Apple Bahwa Samsung adalah Peniru, Kini Hilang untuk Selamanya.
“Tekanannya sangat luar biasa,” ungkap salah seorang manajer Samsung Mobile. “Kami masih dalam situasi kekurangan pasokan layar untuk Galaxy S6, dan kini kami dikejar untuk segera menyelesaikan pasokan untuk Galaxy Note 7. Layar lengkung, baterai, sebut saja komponennya, dan kami benar-benar kekurangan untuk semua itu.”
“Ini benar-benar situasi chaos!” ungkap salah seorang manajer lainnya.
Kesemua kekacauan di balik layar itu memang tidak tampak, karena tepat pada tanggal perilisan yang sudah ditetapkan oleh Samsung, D.J Koh tampil di panggung dengan raut wajah bangga mengangkat Samsung Galaxy Note 7. “Kami telah berhasil membungkam orang-orang skeptis yang meragukan kami,” ungkapnya. “Kami mendengar kritik yang menjelek-jelekkan layar besar dan S-Pen, namun kami tetap pada visi kami, dan akhirnya kami mendapatkan buah dari hasil ketahanan kami.”
Apakah semua senang dan bangga dengan kesuksesan itu? Tentu tidak. Bisik-bisik di bawah tanah mengungkap kesedihan karyawan Samsung secara umum. “Pria itu hidup dalam realitanya sendiri,” ujar seorang marketer Samsung, seorang pria berkewarganegaraan AS. Seperti umumnya perusahaan-perusahaan Korea Selatan, para pucuk pimpinan industri adalah ‘jenderal’ yang tidak tersentuh, tidak pernah salah. Mereka bebas menggerakkan ‘pasukan’ ke mana saja. Sudah umum bahwa jika mereka tidak menyukai suatu produk, maka mereka akan meminta perbaikan dalam rentang waktu yang mustahil, yang mana tentu saja memporak-porandakan tenaga kerja di lini terbawah. Sementara itu, mereka menikmati sanjungan dan pujian, bukan saja dari bawahan-bawahannya, tapi juga dari seluruh dunia. Karyawan Samsung yang bukan orang Korsel, mungkin bakal lebih mudah hidupnya, karena jika mereka jenuh, lelah, atau bahkan jika dipecat karena melakukan kesalahan, mereka dapat dengan mudah menemukan pekerjaan lain di negara asalnya. Namun untuk karyawan yang merupakan orang Korea asli, dipecat dari Samsung, berarti sudah tertutup peluang baginya untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan lain. Sebagai perusahaan terbesar di Korea Selatan, tidak ada perusahaan lain yang ingin menyinggung Samsung dengan mempekerjakan mantan karyawan Samsung.
Galaxy Note 7 mulai resmi dijual 19 Agustus 2016, dengan permintaan yang luar biasa tinggi. Bahkan permintaan akan perangkat ini sampai memberikan tekanan luar biasa terhadap rantai pasokan Samsung untuk bisa memenuhinya.
“Galaxy Note 7 adalah ponsel Android yang indah, berkemampuan tinggi, yang memamerkan kemampuan terbaik Samsung dalam desain, masa pakai baterai, kecepatan, dan fitur,” tulis Editor CNET, Jessica Dolcuirt. Namun ternyata kemenangan ini terasa singkat karena dalam hitungan hari, video-video di YouTube mulai ramai oleh insiden ‘meledak’-nya Samsung Galaxy Note 7!
Kasus ini terus menanjak sehingga menjadikan para eksekutif Samsung merasa bahwa lantai yang dipijaknya membara. Ini jelas kasus yang rentan menjadikan seluruh eksekutif diganti. Apalagi ketika Vice Chairman Choi Gee Sung, salah seorang senior Samsung, mulai kelihatan aktif di kantor utama Samsung. Choi Gee Sung adalah ‘karyawan seumur hidup’ Samsung yang memulai dari bawah sebagai salesman semikonduktor dan penjual televisi. Dia memiliki metode penjualan yang terukur dan tanpa ampun, sampai-sampai salah seorang anggota keluarga Samsung menjulukinya sebagai ‘teroris’ karena cara penjualannya yang agresif. Tapi dengan demikianlah dia dicintai dan dihormati oleh seluruh anggota keluarga pemilik Samsung.
Aktifnya Choi Gee Sung ini jelas memicu banyak spekulasi. EBN, sebuah stasiun berita Korea Selatan melaporkan, “Kini spekulasi bahwa D.J Koh akan digantikan semakin memanas”
Tidak berapa lama, Samsung memberikan pernyataan resmi bahwa dari laporan laboratorium terhadap Samsung Galaxy Note 7, penyebab peristiwa ini adalah karena baterai dari SDI mengembang menekan casing karena panas, dan karena Note 7 dirancang untuk anti-air, tingkat kedap udara pada perangkat ini tidak membantu pendinginan sehingga memanaskan struktur internal perangkat. Sementara itu, baterai yang diproduksi Amperex aman untuk digunakan.
Tentu saja jawaban Samsung ini tidak bisa diterima publik. Menyalahkan produsen baterai jelas bukan yang diinginkan orang-orang dalam insiden besar seperti ini. Namun Samsung kemudian melakukan tindak lanjut yang mengejutkan, mereka melakukan recall terhadap seluruh Galaxy Note 7 di pasaran.
Tanggal 2 September 2016, dua minggu setelah rilis Galaxy Note 7, D.J Koh masuk ruang konferensi, menghadap kamera media, kemudian membungkuk sangat dalam untuk menyatakan permohonan maafnya. “Dengan mengutamakan keselamatan para konsumen kami, akhirnya kami memutuskan untuk menghentikan penjualan Galaxy Note 7 dan menawarkan perangkat pengganti kepada pelanggan, tanpa memandang kapan pun mereka membelinya.”
Sehari setelah itu, D.J Koh menerbitkan sebuah memo untuk seluruh karyawan Samsung bahwa ini merupakan momen yang menjadi “salah satu tantangan paling keras yang pernah dihadapi Samsung”
Dan demikianlah Galaxy Note 7 yang sebelumnya diharapkan menjadi penanda kesuksesan D.J Koh, dan Samsung secara umum, pada akhirnya menjadi sumber bencana mereka di pasar.
Bagaimana raksasa elektronik Korea yang disebut-sebut memiliki kekuasaan layaknya satu negara ini bisa jatuh pada perangkap ketergesaan yang ujungnya menjadikan mereka seolah tidak kompeten? Kita perlu mundur lebih jauh dan mengulas bagaimana Samsung menjadi sebuah kekuatan tanpa tertandingi di Korea Selatan!
Referensi
Cain, Geofrey. (2020). Samsung Rising. The Inside Story of the South Korean Giant That Set Out to Beat Apple and Conquer Tech. Currency, New York.