Bob Borchers, salah seorang eksekutif penting yang terlibat dalam peluncuran iPhone pertama mengenang bagaimana Apple berfokus untuk menjual iPhone pada saat itu. “Saya ingat waktu itu menanyakan kepada Steve, apa yang ingin dia capai dengan iPhone,” ujar Borchers, “Steve menjawab bahwa dia ingin membangun sebuah ponsel yang menjadikan orang jatuh cinta. Ini bukan sekadar ‘ayo kita lakukan revolusi XYZ’, tapi ‘Ayo kita pikirkan untuk membuat sesuatu yang keren. Jika mereka jatuh cinta dengannya, maka kita bisa tahu apa yang mereka ingin lakukan padanya’. Karena itulah ketika kita meluncurkan iPhone, kita menyebutnya sebagai ‘ponsel yang revolusioner, iPod terbaik yang pernah dibuat, dan sebuah perangkat komunikasi Internet. Tapi sebenarnya kita tidak punya gambaran, apa itu perangkat komunikasi Internet.” Borchers tertawa. Namun dia tidak tahu, bahwa sebenarnya, sebelum Jobs mengumumkan iPhone sebagai sebuah ‘perangkat komunikasi Internet’, Andy Rubin sudah membuat sebuah perangkat yang benar-benar ditujukannya sebagai ‘perangkat komunikasi Internet’ dan ujungnya dia tidak mendapat pengakuan yang semestinya sebagai seorang pencipta!
Culture Shock di Google
Karena Google, Rubin tidak lagi khawatir kehabisan uang atau ditolak vendor tertentu untuk mencari komponen proyeknya. Tapi setelah ‘bulan madu’ akuisisi memudar, Rubin semakin sadar bahwa mungkin keputusan menerima pembelian Google ini adalah jalan paling terjal yang akan dia lewati. Bahkan sekedar masuk ke wilayah ‘kampus’ Google saja sudah memberikan ‘gegar budaya’ yang cukup besar untuk Rubin dan timnya. Setiap karyawan Google tampil seakan-akan mereka baru lulus kuliah, prinsip Google “Don’t be evil”, seakan menjadi mantra di sana yang mana cara kerja di situ harus cocok dengan prinsip itu. Belum lagi untuk mempertahankan merek Google sebagai perusahaan revolusioner dengan produk revolusioner – citra mereka sebagai ‘anti-Microsoft’, ada kebijakan yang unik: mobil yang lebih bagus dari BMW series 3 dilarang digunakan di sana. Rubin yang sudah biasa mengendarai Ferrari ke mana-mana harus garuk-garuk kepala ketika mobilnya ditolak masuk ke kompleks Google.
Rubin juga kebingungan menyesuaikan diri dengan strata kepemimpinan di Google. Larry Page memang pendiri Google dan dengan kuasanya membeli Android. Namun Rubin dengan cepat belajar bahwa Eric Schmidt, CEO Google, merupakan ‘penguasa sebenarnya’ di Google. Dia bersikap seperti ‘Bapak’ atau bahkan ‘Pengasuh’ bagi Larry Page dan Sergey Brin. Page memang menyukai presentasi Rubin mengenai Android, tapi Schmidt tidak menganggap Android penting untuk masa depan Google. Tantangan untuk Rubin jauh lebih besar lagi karena Page dan Brin jarang berada di perusahaan. Schmidt lah yang sehari-hari ‘benar-benar bekerja’ di Google. Ini menjadikan Rubin kesulitan untuk menerapkan semua rencana yang disusunnya untuk Android di Google.
Secara spesifik, Schmidt menginginkan agar Android menjadi software tingkat rendah dengan grafik atau animasi yang bling-bling menarik perhatian. Tadinya Rubin juga berpikiran begitu, pada presentasinya dia menyarankan untuk membagikan source code Android kepada para pembuat ponsel yang bersedia membayar, kemudian mereka bisa melakukan tweaking dan perubahan terhadap software tersebut untuk disesuaikan dengan karakteristik perusahaan masing-masing. Namun Page malah berpikir lebih ambisius. Dia ingin agar Google memproduksi sebuah ponsel. Tantangan lainnya, Android merupakan software open-surce, yang berarti bahwa tidak ada seorang pun yang memilikinya, dan kode tersebut bisa diubah oleh siapa saja dengan cara apa saja. Namun tidak semuanya bersifat open source, dan Google menegosiasikan lisensi semacam ini untuk bagian senilai jutaan dolar.
Pada akhirnya, Rubin memutuskan untuk mengembangkan sebuah sistem operasi ponsel yang nantinya bisa dibeli operator dan produsen ponsel serta didukung oleh developer software dari seluruh dunia. Rubin membayangkan bahwa skema ini nantinya mirip dengan bagaimana Bill Gates mengembangkan Microsoft, menawarkan sebuah OS kepada para pembuat PC di seluruh dunia, dan akhirnya menjadi orang terkaya di dunia. Kesulitan utama Rubin adalah, pada era tersebut, belum ada kemampuan ponsel masih sangat terbatas. Tidak ada chip yang mampu membuat sebuah sistem operasi kelas desktop untuk berjalan di ponsel. Rubin harus bekerja sama dengan pembuat chip secara khusus untuk bisa mewujudkan ini. Sebenarnya masalah yang sama juga dihadapi oleh Apple. Namun bedanya, Apple dengan gagah mampu membuat produsen chip patuh dan bersedia membuat chip sesuai dengan spesifikasi mereka. Apple memiliki reputasi yang kuat dalam penciptaan dan inovasi, khususnya untuk konsumen. Apa yang mereka buat pasti akan laku. Google tidak memiliki pengalaman seperti itu, sehingga dengan kemampuan finansial Google sekalipun, sulit untuk menemukan pembuat chip yang mendukung mereka sepenuhnya.
Untuk sementara, Rubin mendapat dukungan dari HTC dan T-Mobile. Mereka menyetujui bahwa Google akan menulis software, sementara HTC sebagai produsen akan membuat ponsel dan T-Mobile akan menjualnya dengan jaringan telekomunikasi mereka. Meskipun demikian, T-Mobile bukan operator yang cukup besar di AS. Ini berpengaruh dalam hal luas cakupan distribusi jualan Google. “Visi Google mengenai Android adalah visi Microsoft yang menginginkan untuk menginstal sistem operasi di setiap PC, sebuah monopoli platform,” demikian ujar mantan CEO Verizon, Ivan Seidenberg dalam wawancaranya dengan Ken Auletta.
Serangan mental dari iPhone
Munculnya iPhone (dan betapa bagusnya perangkat itu) menimbulkan syok besar bagi Rubin dan tim Android. Meskipun demikian, Rubin meyakini bahwa yang dilakukannya berbeda dengan iPhone Apple, bahkan lebih baik. Rubin meyakini bahwa semua produsen ponsel nantinya akan mengantre untuk mendapatkan OS yang sedang mereka rancang. Untuk sementara, peluang itu terlihat cukup terbuka, karena iPhone hanya dijual di AT&T, operator terbesar di AS. Ini berarti bahwa operator di luar AT&T akan kebingungan mencari alternatif lain. Namun Google harus bergegas, karena di luar mereka, Microsoft juga terus mematangkan Windows Mobile besutannya.
“Sejujurnya, iPhone menciptakan masalah untuk semangat kerja para engineer,” ujar salah seorang engineer senior, “Beberapa engineer benar-benar berkata ‘Ya Tuhan, kita sudah hancur. Ini Apple. Ini seperti Kebangkitan Yesus. Apa yang harus kita lakukan sekarang?'” Sangat sulit memulihkan diri dari tekanan semacam itu. Padahal Rubin sendiri memiliki kesadaran bahwa sebenarnya mereka tetap punya peluang. Steve Jobs, tak terbantahkan lagi adalah seorang jenius. Dia memiliki indera yang tak tertandingi dalam merilis produk, menentukan desain hardware dan software, serta bagaimana menjadikan konsumen ‘lapar’ akan produknya. Tidak ada seorang pun di dunia ini mampu mengulangi rilis produk brilian seperti yang dilakukan Jobs berkali-kali. Namun sebenarnya semua engineer di Google sadar: di luar semua klaim Steve Jobs bahwa Apple adalah ‘yang pertama’ dan ‘menghadirkan inovasi ajaib’, sebenarnya produk-produk Apple bukanlah sebuah temuan pertama. iPhone bukanlah sebuah ponsel dengan browser internet pertama yang bekerja dengan baik, bahkan iPod pun bukan sebuah pemutar musik pertama. Meskipun demikian, kemampuan Jobs dalam melempar klaim dan membungkus semua produk itu dengan narasi yang megah, memang tak tertandingi. Jika ingin menyebut ‘ponsel dengan browser internet pertama’, sebenarnya malah Rubin yang membuat itu di perangkat Danger Hiptop! DeSalvo mengungkapkan ini dengan sedikit sedih: “Mungkin saat ini hanya satu dari sepuluh engineer yang tahu tentang Danger, namun sebenarnya perangkat ini adalah standar smartphone yang sesungguhnya. Mungkin kami seharusnya merilisnya besar-besaran pada tahun 2005, agar setidaknya kami mendapatkan cukup penghormatan atas apa yang sudah kami ciptakan.”
Mendekati Peluncuran Android Pertama
Sebenarnya gerak-gerik tim Android ini tidak serahasia Apple saat membuat iPhone. Nyaris semua orang di dunia teknologi mengetahui bahwa Google sedang berusaha untuk masuk ke industri ponsel (dan keduluan oleh Apple). Namun iPhone saat itu di puncak popularitas, sehingga orang merasa apa pun yang dilakukan Google tidak akan signifikan. Meskipun demikian, sejumlah engineer di Apple, yang juga mengikuti perkembangan tetangganya tersebut, khawatir menyaksikan upaya tim Android selama bulan-bulan terakhir. Mereka tahu betapa irinya Google pada iPhone karena sebelumnya rencana untuk masuk ke dunia ponsel adalah ide Google yang sudah banyak diberitakan di berbagai media. Tapi Steve Jobs menanggapi itu dengan santai karena dia meyakini hubungan baik Apple-Google, serta hubungannya dengan Schmidt dan para pendiri Google, Brin dan Page (bahkan Schmidt saat itu duduk di dewan direksi Apple). Lagipula, Apple punya masalah yang lebih besar. iPhone yang dipresentasikan dengan brilian tersebut, sebenarnya belum bekerja dengan baik. Masih terlalu banyak bug yang mengganggu yang bahkan belum bisa diatasi seluruhnya oleh engineer Apple sampai-sampai tidak mungkin mengharapkan performa iPhone sebagaimana yang ditampilkan Jobs pada saat presentasi!
Untuk masalah yang paling sederhana, seperti mengetik pada keyboard virtual saja, menimbulkan kekacauan besar pada iPhone. Menyentuh satu huruf di layar, seringkali membuat huruf lain ikut diketik, dan Apple belum punya solusi untuk ini. CEO Microsoft, Steve Ballmer bahkan dengan jumawa menyatakan bahwa iPhone adalah mainan kemahalan yang bahkan tidak bisa bekerja dengan baik. Sedikit yang orang tahu: Ucapan yang terdengar seperti penuh kecemburuan kalau kita dengar sekarang, sebenarnya pada saat itu adalah suatu kebenaran yang hakiki.
Bob Borchers (yang kini menjabat sebagai Vice President Product & Marketing) adalah pahlawan yang tidak mendapatkan pujian yang seharusnya dia terima saat rilis iPhone generasi pertama. Dia adalah orang yang bertanggung jawab mengoordinasikan dan mengelola sebagian besar masalah iPhone pada saat itu (yang melimpah ruah) dan mengatur agar permasalahan tersebut diselesaikan satu per satu. Meskipun statusnya mengurus produk dan pemasaran, namun kualifikasi Borcher sebagai lulusan mechanical engineering dari Stanford dan gelar master dari MIT menjadikannya familiar dengan produk teknologi. Borcher adalah sosok yang berhasil memfokuskan Apple pada proyek perbaikan iPhone tersebut. “Kami membantu memutuskan DNA produk, memelihara DNA tersebut dalam proses pengembangan, dan menerjemahkannya ke dalam pesan saat kami memasarkan produk,” jelasnya. “Jadi kami sangat terlibat dengan berbagai fitur produk tersebut beserta permasalahannya, serta bagaimana produk tersebut seharusnya berfungsi saat digunakan konsumen.”
Banyak konsumen iPhone generasi pertama yang mengenang Borchers sebagai sosok yang hadir di berbagai video instruksi penggunaan iPhone. Tadinya Borchers meminta Steve Jobs tampil di video semacam ini untuk meningkatkan efek pemasaran, tapi Jobs menolak. Dia malah meminta Borchers untuk menjadi orang yang tampil dalam berbagai video ‘pendidikan’ tersebut karena Jobs tahu bahwa Borchers memiliki semangat yang sama sepertinya dalam menyukseskan iPhone!
Semua permasalahan yang dialami iPhone generasi pertama ini seakan membantu ‘menyamarkan’ langkah tim Android, yang sebenarnya tidak terlalu samar juga, untuk selanjutnya malah menghadirkan sesuatu yang mengejutkan Apple, terutama Steve Jobs!
Edisi Kisah Silicon Valley selanjutnya akan membahas bagaimana Steve Jobs terkejut dan merasa dikhianati oleh langkah Google yang dianggap sebagai ‘rekan seperjuangan’ baginya dalam melawan dominasi IBM dan Microsoft.
Referensi
Vogelstein, Fred. (2013). Dogfight: How Apple and Google Went to War and Started a Revolution. Sarah Crichton Books