Kisah Silicon Valley #73 – Sony di Era Pertumbuhan Teknologi Amerika

via Eric Wrobbel

Saat Sony pertama kali membuat radio transistor, seperti yang dikisahkan di episode sebelumnya, mereka melalui sebuah proses yang sangat panjang dan melelahkan, karena tidak semudah itu membuat sebuah radio transistor yang dapat digunakan oleh konsumen secara langsung. Proses penelitian dan percobaan yang panjang nyaris menghabiskan seluruh uang kas Sony. Tidak banyak yang tahu bahwa ketika Sony berhasil memproduksi sejumlah batch kecil radio transistor, Bulova, sebuah perusahaan jam terkenal, adalah perusahaan pertama yang melihat potensi radio transistor tersebut.

Bulova mengajukan penawaran kepada Sony untuk membuatkan 100.000 radio transistor, namun semuanya harus dijual dengan nama Bulova. Sekilas pesanan tersebut kelihatan masuk akal. Sony masih ‘anak baru’ di dunia radio transistor. Pasar tidak begitu mengenal mereka, dan Bulova memiliki brand yang kuat serta citra yang akan mendongkrak Sony jika mereka memenuhi pesanan Bulova. Lagipula keuntungan dari pemesanan tersebut akan dapat digunakan untuk menutup kerugian Sony selama proses pembuatan radio transistor selama ini.

Tidak diduga, Morita justru menolak dengan sopan tawaran yang sangat menguntungkan tersebut. “Kami telah membuat radio terbaik, tentu saja kami ingin menjualnya dengan menggunakan nama kami sendiri,” demikian alasan Morita mengenai penolakan tersebut.

Setelah booming radio transistor Sony, Morita mengakui bahwa penolakan tersebut ternyata memang adalah salah satu keputusan bisnis terbaik yang diambilnya!

 

Cara Memanfaatkan Transistor Bekas

MD-5 via Sony

‘Meletakkan dasar’ sebagai perusahaan transistor mungkin salah satu keputusan terbaik Masaru Ibuka dan Akio Morita. Hanya dengan berbekal teknologi transistor, Sony terus menerus menghadirkan inovasi yang mungkin sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh pendirinya. Mulai dari radio, televisi, hingga mesin VTR, semua itu berkat pengembangan teknologi transistor. Karena besarnya volume produksi transistor Sony, tentu saja ada beberapa transistor yang tidak dapat digunakan karena tidak lulus Quality Assessment. Saburo Uemura, Kepala Departemen Penelitian Sony, mulai bermain-main dengan ide untuk memanfaatkan transistor bekas tersebut, “Kenapa kita tidak membuat kalkulator saja?”

Kalkulator digital sebenarnya bukan hal yang baru saat itu. Casio, salah satu perusahaan elektronik raksasa Jepang lainnya, sudah menguasai pasar kalkulator di Jepang dengan Model 14-A di tahun 1957. Ini merupakan model kalkulator elektronik pertama di dunia. Akan tetapi Uemura punya ide lain, yaitu memaksimalkan transistor yang tidak digunakan di Sony karena tidak memenuhi syarat untuk televisi dan radio. Ibuka menentang mati-matian ide itu. “Produk kita adalah untuk konsumen. Kalkulator elektronik tidak akan terjual di kalangan konsumen!”

Pada saat itu memang kalkulator sebagian besar digunakan oleh lembaga pendidikan atau instansi yang memerlukan komputasi. Namun Uemura teguh pada pendiriannya. Kalkulator ini menggunakan transistor yang ditolak untuk produk televisi dan radio, jadi biaya produksi akan sangat kecil dibandingkan jika kita mendaur ulang transistor tersebut.

Ibuka sebenarnya sangat kesal karena kengototan karyawannya tersebut. Namun dia berusaha mengalah karena Uemura terlihat terobsesi oleh ide itu. Akhirnya Ibuka memberi izin Uemura untuk merancang sebuah kalkulator dengan catatan bahwa Uemura benar-benar merancang kalkulator saja (pada saat itu beredar gosip bahwa Uemura sebenarnya terobsesi oleh komputer mainframe yang mulai populer).

Uemura dan stafnya kemudian berupaya sekuat tenaga untuk membuat prototype kalkulator dengan ukuran kompak dan ringan, namun dengan komputasi yang sangat cepat! Akhir musim panas 1962, Uemura memamerkan kepada Ibuka dan Morita sebuah kalkulator yang diberinya kode: MD-3. Kalkulator ini terhubung dengan sebuah mesin ketik listrik, dirancang sedemikian rupa sehingga hasil perhitungan dapat langsung dicetak di sebuah kertas. Ide ini cukup membuat kagum pemilik dan dewan direksi Sony sehingga pada Maret 1964, sebuah kalkulator elektronik merek Sony mulai diproduksi!

Kalkulator Sony MD-5 merupakan item elektronik yang paling laku terjual di World’s Fair yang berlangsung di New York. Ini sekaligus pembuktian Uemura terhadap Ibuka yang sempat ngotot bahwa sebuah kalkulator tidak akan laku di pasaran. Jika kamu heran kenapa Uemura menggunakan nama “MD” untuk produk kalkulatornya, “M” dari kode tersebut merujuk pada Minerva, Dewi Kebijaksanaan Romawi, sementara “D” adalah kode untuk ‘barang percobaan’ di Sony. Meskipun sudah bukan ‘barang percobaan’ lagi, Uemura tetap menggunakan nama tersebut untuk menjual kalkulatornya.

Satu hal yang tidak disadari Uemura serta dua petinggi Sony, Ibuka dan Morita, kalkulator yang pada awalnya merupakan upaya ‘memanfaatkan’ transistor yang tidak dipakai di Sony, membawa perusahaan ini ke sebuah babak baru!

 

Membantu IBM

Cram 330TB via HotHardware

Jika ada sebuah perusahaan teknologi yang mendapatkan respek dari seluruh dunia, itu adalah IBM! Perusahaan ini adalah yang meletakkan dasar-dasar komputasi serta konsisten dalam penelitian dan produksi komputer mainframe. IBM telah lama mengamati Sony, sejak upaya perusahaan terkemuka Jepang tersebut dalam memanfaatkan transistor untuk membuat kalkulator. Para penggemar teknologi sering memperdebatkan mana yang lebih cepat digunakan untuk melakukan perhitungan, kalkulator Sony atau komputer mainframe milik IBM. Produk VTR Sony juga menjadi hal yang menarik perhatian IBM. Pada saat itu, IBM juga memproduksi VTR, dan meskipun produk IBM tentu saja mendapatkan perhatian yang lebih luas dari seluruh dunia, IBM tidak meremehkan VTR buatan Sony, bahkan secara khusus mempelajarinya.

Pada tahun 1965, IBM yang memiliki pangsa pasar komputer hingga 70% di seluruh dunia tersebut, mengajukan kontrak kepada Sony untuk memberikan bantuan teknis dalam memproduksi pita magnetik yang diperlukan untuk penggunaan komputer. Dunia teknologi heboh! Tidak diduga bahwa IBM yang berada di posisi ‘dewa’, meminta bantuan kepada sebuah perusahaan teknologi asal Jepang yang tengah berupaya mengembangkan diri di tingkat dunia.

“Kami sudah melihat produk pita magnetik kalian yang digunakan untuk tape recorder,” ujar Watson, CEO IBM pada saat itu kepada Morita. “Jika kami memiliki teknologi semacam itu, kami yakin bisa membuat tape untuk komputerSaya ingin mengajukan kerja sama dengan pembagian keuntungan 50-50 untuk pita magnetik tersebut. Saya tidak peduli apakah pabrik yang memproduksinya nantinya akan berdiri di Jepang atau AS. IBM akan membeli pita magnetik yang dibuat pabrik tersebut.”

Meskipun itu bukan penawaran yang buruk, seorang staf Sony mengungkapkan kekhawatirannya, “Sangat berbahaya jika kita hanya bertransaksi dengan satu orang pelanggan. Apa yang akan kita lakukan jika mereka memaksa menurunkan harga?”

IBM tidak hilang akal menghadapi keraguan Sony, “Jika Anda tidak dapat menerima joint venture, maka pertimbangkan untuk membuatkan kami pabrik pita magnetik di AS”

Sony setuju akan tawaran ini dan akhirnya menjalin kontrak dengan IBM untuk memproduksi pita magnetik. Selain itu, Sony juga memberikan teknis bagi IBM untuk dapat memproduksi pita magnetik sendiri. Kerjasama ini tidak diduga menjadikan Sony kaya raya. IBM membayar royalti untuk setiap pita magnetik yang diproduksi sebesar sepuluh sen per pita magnetik. Ini sudah lebih dari cukup untuk menjadikan Sony kaya raya dari kerja sama tersebut!

Kerja sama dengan IBM ini sekaligus menjadi penyelamat finansial bagi Sony, karena pada tahun 1963, Jepang dihantam oleh krisis keuangan. Mengikat kerja sama dengan perusahaan Amerika secara langsung menyelamatkan Sony. Karena meskipun nilai tukar yen ke dolar tinggi, tidak berpengaruh bagi Sony yang mendapatkan dolar langsung dari IBM.

 

Produsen Video yang Komplit

Sony CV-2000 via Retro Thing

Berawal dari VCR yang merupakan perangkat perekam video, Sony mengembangkan teknologinya menjadi pemutar video. Pada tahun 1976, Perang Vietnam baru saja berakhir. Di saat yang bersamaan, Sony merayakan ulang tahun ke-30 sekaligus menandai era baru: Era televisi berwarna. Tentu saja Sony ikut ambil bagian dalam kemajuan teknologi tersebut.

September 1976, JVC mengumumkan VCR berformat VHS untuk bersaing terhadap Betamax, format pemutar video yang populer saat itu. JVC mampu merekam dalam volume dua kali lipat dari Betamax. Sony sendiri memiliki produk VCR dengan format Betamax. Menghadapi pesaing serius seperti JVC, Sony banting setir ke format VHS dengan pendekatan lain. Ini menjadikan pasar sedikit bingung karena format VHS Sony ternyata tidak kompatibel dengan VHS JVC. Meskipun demikian, Sony jalan terus dengan penuh percaya diri. Sony dan JVC setiap tahun bersaing dalam hal kualitas gambar dan panjang waktu rekaman dalam produk VCR-nya. Pada tahun 1979, produksi VCR Jepang mencapai 2,2 juta unit, delapan kali volume produksi 1976. Industri ini sangat maju dan populer!

via Sony

Produk VCR juga semakin tahun semakin kecil dan ringan, namun dengan kualitas yang semakin sempurna. Sony memang bukan pemimpin pasar di bidang ini, akan tetapi mereka tetap bersaing ketat dengan pemimpin pasar. Inovasi puncak Sony adalah saat perusahaan ini merilis video camcorder CCD-V8, perekam video 8mm pertama di dunia yang kemudian segera menjadi acuan para produsen video lainnya.

CCD-V8 via Sony

Pada November 1981, Sony menyelesaikan prototype 8mm VCR dan melanjutkan dengan pengembangan teknologi terbaru untuk Camcorder. Produk Sony ini mampu menghadirkan 250.000 piksel. Sebuah hal yang baru di masa tersebut. JVC yang berjuang untuk mempertahankan sistem VHS-nya dengan cepat mengembangkan kaset baru berstandar VHS, namun memiliki kualitas yang bersaing dengan produk Sony. Persaingan mereka berlanjut pada sistem camcorder yang semakin kecil dan ringkas. Perkembangan teknologi perekam video ini juga kemudian memungkinkan perkembangan teknologi siaran televisi di seluruh dunia. Jarang disebutkan dalam sejarah, namun persaingan Sony dan JVC saja sudah mengubah wajah pertelevisian dunia!

Di era tersebut bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat sampai harus ‘menonton’ bagaimana raksasa elektronik Jepang saling kejar-kejaran menghadirkan teknologi baru yang belum pernah ada sebelumnya!


Sony, JVC, Philips, dan perusahaan-perusahaan elektronik Jepang lainnya memang seakan saling bersaing untuk menjadi ‘perusahaan terbaik’ yang memberikan layanan teknologi elektronik multimedia kepada masyarakat dunia. Namun Sony kemudian seakan melompat jauh dengan teknologinya yang kemudian menjadi demam baru di seluruh dunia. Kamu bisa membacanya di episode minggu depan: Kisah Silicon Valley #74 – Walkman!

 

 

Referensi

Hayashi, Nobuyuki. 2014. The tales of Steve Jobs & Japan: Casual friendship with SonyNobi.

Kahney, Leander. 2010. Steve Jobs’ Sony Envy [Sculley Interview]CultofMac.

Sony Corporate Info. Sony.

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation