Kisah Silicon Valley #90 – CEO dengan Empati

via Softpedia

“Kita tidak sedang mencoba menjadi ‘anak keren’ atau ‘perusahaan keren’,” ujar Satya Nadella dalam sebuah konferensi di tahun 2018 lalu. “Tujuan utama kami adalah mengembangkan teknologi, sehingga orang lain dapat mengembangkan lebih banyak teknologi. Dan kami pada akhirnya akan membiarkan pengguna untuk memilih.”

Kata-kata itu benar-benar diwujudkan oleh Nadella dalam tindak-tanduknya selama menjadi CEO Microsoft, meneruskan tongkat estafet yang diserahkan oleh Steve Ballmer.

 

Misi Baru

Pada tanggal 4 Februari 2014, Satya Nadella mengendarai mobil menuju Microsoft Campus dengan perasaan campur aduk. Ini adalah hari pertamanya diperkenalkan sebagai CEO baru Microsoft. Sebuah tantangan yang mengejutkan baginya, namun sebenarnya memang dia memiliki impian untuk meraih prestasi setinggi-tingginya di Microsoft.

Setelah Steve Ballmer mengumumkan untuk mengundurkan diri tahun lalu, dunia teknologi banyak berspekulasi. CEO Ford Motor Company Allan Mulally, CEO Skype Tony Bates, dan mantan CEO Nokia Stephen Elop sempat disebut-sebut oleh para pengamat, namun jika melirik kandidat dari dalam diri Microsoft sendiri, maka saat itu tidak ada ‘tokoh’ yang lebih kuat dari Satya Nadella! Kesuksesannya melejitkan bisnis cloud Microsoft menjadikan Nadella semacam ‘selebriti lokal’. Dengan latar belakangnya sebagai imigran sekaligus orang yang ‘merintis dari bawah’, Nadella menjadi semacam mitos yang sering diceritakan oleh karyawan di Microsoft. Dia adalah standar kesuksesan yang menjadi impian karyawan baru, terutama mereka yang merupakan dreamers (sebutan untuk imigran dan keturunan imigran yang mendapatkan green card untuk tinggal dan bekerja di Amerika). Karena itu ketika akhirnya Dewan Direksi Microsoft mengumumkan nama Nadella sebagai CEO selanjutnya, tidak ada yang terkejut – setidaknya di Microsoft.

“Kita sedang melakukan transformasi, dan tidak ada orang yang lebih baik untuk memimpin Microsoft di sini selain Satya Nadella,” ujar Bill Gates, Pendiri dan Anggota Kehormatan Dewan Direksi. “Satya adalah pemimpin yang telah terbukti dengan keahlian engineering kelas tinggi, visi bisnis, dan kemampuan untuk menyatukan orang-orang secara luar biasa. Visinya mengenai bagaimana teknologi akan digunakan dan dialami oleh dunia adalah hal yang dibutuhkan oleh Microsoft, karena perusahaan ini akan masuk babak selanjutnya dalam hal inovasi dan pertumbuhan teknologi yang semakin luas.”

“Saya sudah bekerja bersamanya lebih dari 20 tahun. Saya tahu bahwa Satya adalah ‘pemimpin yang tepat di waktu yang tepat’ bagi Microsoft.” Tambah Steve Ballmer. “Saya menghabiskan waktu yang terasa spesial bekerja bersama seorang karyawan yang berbakat dan juga pemimpin senior tim dalam industri, dan saya dapat melihat hasrat dan rasa laparnya akan keagungan bagi Microsoft. Ini hal yang mirip dengan saya, dan saya yakin Microsoft akan tumbuh berkembang semakin kuat di bawah kepemimpinan Satya!”

Beberapa bulan sebelum Nadella resmi diumumkan sebagai CEO, Ballmer sendiri telah menemui Nadella secara pribadi. Selain memberi selamat (Bill Gates dan dewan direksi telah mengirimkan surat resmi penunjukan Nadella sebelumnya), Ballmer juga memberikan tips-tips agar Nadella menjadi penerus yang sukses. “Jadilah pemberani! Jadilah orang yang tepat!” Ujar Ballmer sambil menepuk-nepuk pundak Nadella. “Jangan berusaha menyenangkan Bill atau lainnya. Yang paling utama adalah Microsoft. Pegang kata-kataku: Kau bebas melakukan apa saja, berperilaku seperti apa saja, asal semuanya adalah untuk kejayaan Microsoft.”

Nadella memarkir mobilnya di luar studio D, markas tim pengembangan Xbox. Semua kata-kata Ballmer yang memberi semangat terlintas di benaknya. Selama berbulan-bulan ini, dia telah merancang semacam ‘garis besar’ tindakan yang harus diambilnya untuk mencapai satu tujuan mutlak. Microsoft yang satu dan Microsoft yang jaya.

Beberapa menit kemudian, Nadella sudah berdiri di atas panggung untuk berfoto. Steve Ballmer dan Bill Gates mengumumkan secara resmi bahwa dia, Satya Nadella, adalah CEO baru Microsoft yang mengemban tugas untuk mengembalikan kejayaan Microsoft. Secara spesifik, Bill Gates menyebutkan dalam pidatonya: Bertahan dalam dunia yang mengutamakan mobile dan cloudMobile first, cloud first.

 

Mendefinisikan ulang ‘Jiwa’ perusahaan

via Business Insider

Nadella mendengar suara napas tertahan, suara tawa kecil, dan bisik-bisik ketika dia mengeluarkan sebuah iPhone dari saku bajunya. September 2015 itu, Microsoft sedang mengadakan konferensi di Dreamforce. Belum pernah ada dalam sejarah sebelumnya, seorang CEO Microsoft memamerkan produk Apple, apalagi di konferensi miliknya sendiri. Bill Gates terkenal melarang keluarganya untuk menggunakan produk Apple sementara Steve Ballmer secara konstan selalu menemukan celah untuk mendiskreditkan pesaingnya itu. Oleh karena itu banyak yang syok ketika Nadella mengeluarkan perangkat populer yang seharusnya ‘haram’ di Microsoft tersebut.

“iPhone ini sangat unik,” ujar Nadella setelah memberi kesempatan hadirin untuk tenang. “Saya menyebutnya ‘iPhone Pro’ karena di dalam nya ada seluruh perangkat lunak dan aplikasi Microsoft.” Bersamaan dengan itu Nadella menyambungkan iPhone ke perangkat proyeksi. Muncul UI yang penuh produk-produk Microsoft seperti Outlook, Skype, Word, Excel, Powerpoint, Dynamics, OneNote, OneDrive, Sway, dan PowerBI. Hadirin bertepuk tangan. Bagi orang-orang, mungkin ini merupakan hal yang menyegarkan setelah permusuhan yang panjang dan kebijakan Microsoft yang menjadikan mereka seolah ‘tertutup’ bagi produk kompetitor. Namun bagi Nadella, ini lebih dari itu. Ini adalah salah satu upayanya untuk memamerkan jiwa Microsoft yang baru. Bukan Microsoft yang berupaya keren, tapi Microsoft akan mendukung pengguna agar keren!

Nadella memandang bahwa mengenali jiwa perusahaan dan bergerak selaras dengan itu merupakan hal yang sangat penting. “Steve Jobs adalah orang yang memahami jiwa perusahaan,” dia memberikan contoh. “Suatu hari dia pernah berkata bahwa desain adalah jiwa fundamental dari benda buatan manusia yang sesungguhnya mengungkapkan diri pada lapisan luar sebuah produk. Saya sepakat bahwa Apple akan selalu jujur pada jiwanya selama mereka memperjuangkan pandangannya bahwa kehebatan Apple, sebagian besar akan diungkapkan melalui desain produknya bagi konsumen. Microsoft berbeda. Microsoft harus menumbuhkan kembali jiwanya sebagai perusahaan yang menciptakan teknologi hebat yang bisa didapatkan oleh setiap orang dan setiap perusahaan.”

Nadella juga menyinggung bahwa pada dasarnya ini selaras dengan visi Bill Gates pada saat mendirikan Microsoft. ‘Satu komputer untuk setiap rumah tangga’ yang mana komputer tersebut didukung oleh software buatan Microsoft, apa pun hardware-nya. Jika diresapi, maka ini mirip dengan konsep yang diinginkan Nadella, yaitu apa pun tindakan yang dilakukan oleh orang-orang, apa pun perangkat yang digunakan, maka seharusnya ada aplikasi dan layanan Microsoft di dalamnya!

“Ini bukan karena kami kehilangan jiwa,” Nadella buru-buru menambahkan. “Namun kami memerlukan pembaruan atau renaisans.” Nadella kemudian mengungkapkan bahwa ‘cara pandang terhadap dunia’ ini merupakan hal penting yang berakar dari filsafat kognitif. Sederhananya, jika seseorang melihat dunia secara keseluruhan, melintasi batas-batas politik, sosial dan ekonomi. Akarnya adalah dari pertanyaan filosofis: “Mengapa kita ada?”

Dengan berakar dari konsep sederhana tersebut, Nadella berupaya merumuskan ulang apa yang harus dituju Microsoft. Tidak perlu dalam untaian kata-kata mutiara yang indah, namun yang praktis dan dapat diterapkan dengan mudah. Microsoft ada untuk memberdayakan orang lain. Empower people! Bagaimana caranya? Dalam dunia yang berputar di konsep mobile first, cloud first – Microsoft memiliki kesempatan untuk melibatkan semua software dan layanannya ke dalam semua perangkat keras yang ada di dunia saat ini. Orang-orang yang menggunakan perangkat itu harus akrab dan mudah menggunakan software dan layanan Microsoft, untuk kemudian mendukung mereka meraih prestasi setinggi-tingginya. Inilah konsep yang diinginkan Nadella.

Untuk mewujudkan hal tersebut, masih ada tantangan lain yang perlu dihadapi Nadella. Ketika Microsoft meraih predikat sebagai perusahaan paling berharga di dunia di awal tahun 2000, Microsoft banyak mengembangkan divisi baru, berupaya mencapai kesuksesan di banyak bidang. Ini menjadikan Microsoft banyak terpecah belah dan muncul banyak sekali divisi yang ‘saling tidak akrab’ satu sama lainnya. Ballmer pada tahun 2008 mulai merintis gagasan ‘One Microsoft’, yang mana semua divisi harus saling bekerja sama dengan satu visi. Nadella memiliki tanggung jawab untuk dapat mewujudkan hal ini. Bukan hal yang mudah, akan tetapi Nadella memiliki resep untuk mewujudkannya: Empati.

via Momspresso

Untuk empati ini, Nadella telah mendapatkan pelajaran tersendiri dalam hidupnya. Ketika dia berumur 29 tahun, anak pertamanya, Zain, lahir dalam kondisi komplikasi dan cerebral palsy. Nadella mengaku bahwa saat pertama kali diberi tahu dia bertanya-tanya dalam diri, mengapa ini terjadi pada saya. Namun seiring waktu berlalu, dia belajar menerima, mengatasi masalah yang terjadi pada putranya, serta dalam lingkup lebih besar, menumbuhkan empati yang lebih besar terhadap lingkungan. Microsoft saat itu memberikan dukungan besar dengan pengembangan teknologi-teknologi baru untuk membantu pengobatan dan kehidupan sehari-hari putra Nadella. Ini juga menginspirasi engineer Microsoft yang mengembangkan Windows 10 agar dapat dioperasikan oleh seseorang yang menderita ALS.

Dalam kepemimpinannya, Nadella juga mengembangkan gaya kepemimpinan yang lebih santai. Karyawan Microsoft bahkan didorong untuk mengutamakan keluarganya. Setelah lewat jam kerja, mereka secara halus ‘diusir’ agar bisa menghabiskan waktu makan malam dengan keluarga. Karyawan Microsoft juga boleh menggunakan perangkat apa saja saat bekerja di Microsoft. Ini kelihatan seperti hal yang sederhana, namun tidak akan terjadi di era Ballmer. Pemilik tim bola basket Los Angeles Clippers ini akan mengomel panjang lebar kalau dia menemukan ada karyawan yang membawa Macbook, iPhone, atau perangkat Android ke Microsoft.

Masih dalam kaitannya dengan empati, Nadella menekankan bahwa Microsoft harus terobsesi dengan konsumen. Microsoft harus selalu ingin tahu bagaimana caranya untuk bisa memenuhi kebutuhan konsumen dengan produk dan layanannya. Microsoft harus mau mendengarkan dan membangun produk-produknya berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Bukan hanya konsumen, dalam ruang rapat, semua orang harus bersedia untuk saling mendengarkan. Semua orang memiliki peluang yang sama untuk menyampaikan idenya dalam sebuah rapat, dan jika keputusan terbaik sudah dipilih, maka semua orang harus mendukung untuk mewujudkannya.


Semua perjuangan Nadella dalam melakukan transformasi Microsoft ini terwujud karena pada akhirnya Microsoft berhasil mencapai status yang lama diimpikannya: Perusahaan paling berharga di dunia. Baca ceritanya di Kisah Silicon Valley #91 – Memimpin Perusahaan Paling Berharga di Dunia.

 

 

 

Referensi

Bort, Julie. (2014). SOURCE: Here’s The ‘Dirty Little Secret’ Of Microsoft’s Cloud BusinessBusiness Insider.

Clarke, Gary. (2016). A Brief History of Microsoft AzureGaryclarke

Konrad, Alex. (2018). Exclusive CEO Interview: Satya Nadella Reveals How Microsoft Got Its Groove Back. Forbes.

Nadella, Shaw, and Nichols. (2017). Hit Refresh: The Quest to Rediscover Microsoft’s Soul and Imagine a Better Future for Everyone

Nusca, Andrew. (2016). The Man who is Transforming MicrosoftFortune.

Osovitny, Vadim. (2018). Azure fathers: Dave Cutler and Amitabh Srivastava. Azurecloud.

Soper, Taylor. (2017). Microsoft CEO Satya Nadella recounts his first time meeting Steve Ballmer in 1992. Geekwire.

Wharton. (2018). Microsoft CEO Satya Nadella: How Empathy Sparks InnovationKnowledge.Wharton

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation