Baru berkenalan, Yoga bertanya kepada Edo: “Do, pakai akun Sosmed?”
Edo tertawa, “Ya iyalah. Pengen add yang apa? Facebook, Twitter, LinkedIN, Path, YM, VKontakte, Line, WhatsApp, BBM, Skype, Beetalk, KakaoTalk, WeChat…”
“Astaga Doo…” Yoga memotong, “Kamu punya kehidupan nggak sih?”
Edo terkejut, “Wah, yang itu belum punya sih. Bisa download di mana ya?”
Terlalu banyak menggunakan produk teknologi terkadang menjadikan orang kurang memiliki penghargaan terhadap konsep teknologi tertentu yang susah payah dikembangkan oleh penciptanya. Continuum mungkin bakal dapat peringkat tinggi jika ada daftar untuk terobosan teknologi yang banyak dibully di media. Semua orang mengakui bahwa konsep tersebut cukup canggih, namun banyak yang memperdebatkan tentang manfaatnya. Mereka yang mengkritisi Continuum beralasan bahwa teknologi harus dikembangkan untuk memecahkan permasalahan tertentu. Namun Continuum justru terlihat tampil keren, namun sebenarnya tidak mengatasi permasalahan tertentu.
Sebenarnya apa sih yang dipikirkan oleh tim Microsoft ketika membuat fitur Continuum? Apa yang melatarbelakangi lahirnya fitur unik ini? Dalam penjelasannya di blog, Microsoft mengungkapkan hal yang ‘mengilhami’ mereka menghasilkan fitur Continuum tersebut.
Posting tersebut mengungkap bahwa Microsoft berupaya untuk menggali keinginan konsumen. Tim secara acak berbicara dengan orang-orang di seluruh dunia – mulai dari Chicago hingga Shanghai. Mereka mendapati bahwa orang-orang menginginkan hal yang sama, yaitu sebuah ponsel yang dapat melakukan hal yang lebih banyak dan besar. Inilah wawasan utama mereka dalam penelitian.
Kebanyakan orang memberikan tanggapan bahwa smartphone yang mereka pegang haruslah menjadi “perangkat yang paling penting” untuk mereka. Secara universal, orang-orang menggambarkan smartphone sebagai psuat kehidupan mereka yang saling terhubung.
Orang-orang ini memiliki profesi masing-masing. Sebagian besar terbantu oleh laptop dan desktop dengan satu alasan: laptop dan desktop memiliki layar yang besar, keyboard dan mouse. Orang ingin terhubung ke layar besar baik untuk pekerjaan dan hiburan. Namun tidak semua orang memiliki PC. Ini kemudian melahirkan ide, bagaimana jika pekerjaan komputasi diselesaikan melalui sebuah ponsel yang dapat meniru PC? Inilah cikal bakal fitur “smartphone yang dapat berfungsi sebagai PC”.
Tantangan yang paling besar dalam proses pengembangan Continuum saat itu adalah masalah OS. Microsoft perlu memastikan bahwa aplikasi yang ada di WM10 dapat ‘dicerminkan’ ke layar dengan gaya W10 untuk desktop secara sempurna. Microsoft juga berupaya memastikan bahwa semakin banyak aplikasi yang dapat dimanfaatkan dalam mode Continuum ini. Hal lain yang menyulitkan saat pengembangan adalah bagaimana cara menggabungkan smartphone dan tampilan layar di Continuum dapat bekerja tanpa menggunakan kabel. Ini untuk mengatisipasi pengguna yang menyukai kepraktisan dan tidak ingin menggunakan terlalu banyak perangkat dalam memanfaatkan fitur Continuum ini.
Pada akhirnya, setelah proses penelitian dan pengembangan yang melelahkan, Continuum hadir dengan kemampuan yang luar biasa dalam beradaptasi dan meniru Windows 10 PC ketika dihubungkan dengan sebuah layar, keyboard dan mouse. Continuum diharapkan menjadi solusi yang memudahkan pelaku bisnis untuk memberikan presentasi dengan kemampuan dukungan Office secara penuh, bekerja seakan di depan PC, serta juga digunakan untuk memutar video dan sarana multimedia lainnya secara memuaskan.
Sebenarnya keberadaan ponsel sekaligus PC ini semestinya tidak mengejutkan kita, karena sebelumnya Microsoft berupaya ‘menggabungkan’ PC dan Tablet melalui perangkat Microsoft Surface. Ini hanyalah salah satu ‘perpanjangan’ ide tersebut dengan cabang yang berbeda – yaitu mengawinkan secara sempurna ponsel dan PC. Ini adalah salah satu pengejawantahan visi Satya Nadella yang menginginkan Microsoft berfokus pada empowerment – meningkatkan produktivitas para penggunanya. Dengan adanya konsep ‘satu perangkat dengan dua fungsi’, diharapkan produktivitas pengguna akan meningkat tanpa perlu menggunakan terlalu banyak peralatan. Mungkin ini kurang relevan juga bagi Continuum, karena kita tetap memerlukan monitor, keyboard, dan mouse untuk mendukungnya – namun setidaknya konsep ini cukup menarik.
Nah, demikianlah sedikit cerita di balik kelahiran fitur Continuum yang diharapkan akan menjadi tren baru di dunia teknologi serta mengubah pengalaman seseorang dalam melakukan proses komputasi. Bagaimana pendapat kamu pribadi soal Continuum? Sumbangkan pendapat kamu di kolom komentar!
Sumber: Windows Blog