Belakangan ini mungkin kamu sering mendengar Cambridge Analytica disebut di berbagai pemberitaan mengikuti gerakan #deletefacebook yang merupakan ekspresi kemarahan netizen terhadap penyalahgunaan Facebook terhadap privasi. Apakah yang sebenarnya terjadi? Untuk kamu yang agak bingung tentang apa yang terjadi, saya berupaya menyusun kronologi peristiwa tersebut dari awal hingga munculnya gerakan #deletefacebook.
Pengumuman Facebook bahwa Cambridge Analytica di-banned dari platform
Pada hari Jumat, 16 Maret 2018, Facebook mengeluarkan press release bahwa mereka mem-banned Cambridge Analytica, Aleksandr Kogan, dan Christopher Wylie dari platform tersebut karena mereka telah membagikan dan gagal menghapus data banyak pengguna. Namun nampaknya Cambridge Analytica sudah melakukan persiapan matang atas tindakan Facebook tersebut, karena malamnya, The Guardian menerbitkan wawancara terperinci dengan whistleblower (istilah untuk seseorang yang mengungkap kejahatan yang biasanya berlangsung di lingkupnya sendiri) Christopher Wylie, mantan staf Cambridge Analytica, yang terlibat dalam pengoperasian data. Wylie adalah salah satu orang yang bertanggung jawab dalam scraping (mengambil data besar-besaran) dari Facebook. The Guardian juga mengklaim bahwa Facebook telah mengancam menuntut mereka jika cerita (wawancara) ini muncul ke permukaan.
Christopher Wylie menyatakan kepada CBS News bahwa dia ‘mengambil tanggung jawab’ dan ‘ikut bersalah’ tentang Cambridge Analytica.
Saya ikut serta bertanggung jawab dalam hal ini karena saya adalah direktur penelitian dan saya bekerja dalam program ini, sehingga saya akan memulai wawancara ini dengan menyatakan bahwa saya bertanggung jawab dan saya ikut bersalah. Dalam hal siapa lagi yang harus bertanggung jawab: Cambridge Analytica – ini adalah program yang dibiayai pendanaan, ini adalah program yang disetujui sebagai sebuah entitas.
Data Apa yang Diambil Cambridge Analytica dan Untuk Apa?
Tindakan mengambil data besar-besaran yang dimaksud adalah mengumpulkan data pengguna Facebook melalui metode tertentu, yang ternyata digunakan untuk manipulasi sosial media dan propaganda untuk ‘membiaskan kebenaran’ dengan tujuan akhir: memuluskan langkah Donald Trump ke kursi Presiden AS.
Namun yang meresahkan di sini, tidak ada ‘pencurian data’. Skema dan kerjasama Facebook dengan pihak ketiga memungkinkan pihak ketiga untuk melakukan data mining atau penambangan data dengan permintaan izin kepada pengguna yang ‘sedikit dibengkokkan’. Ini adalah sebuah permainan yang sama sekali tidak melanggar hukum, namun tentu saja dapat kita katakan bahwa orang-orang yang dimanfaatkan datanya tidak tahu bahwa data mereka disalahgunakan.
Detailnya, Cambridge Analytica mengumpulkan data dari 270.000 pengguna dengan memanfaatkan formulir permintaan kepada pengguna untuk menilai preferensi politik pengguna. Bagaimana ini terjadi? Pada tahun 2014, ada sebuah perusahaan bernama Global Science Research (GSR) yang menggunakan Facebook untuk mendistribusikan kuis kepribadian guna menganalisis apakah pengguna ekstrovert atau neurotik. Perusahaan ini mengatakan bahwa ini hanya untuk penelitian, namun sebenarnya merekia mengumpulkan data psikologis dari semua pengguna, dan dengan izin pengguna (yang tentu saja kurang disadari penggunaanya), mendapatkan akses terhadap teman-teman pengguna yang mengisi kuisioner tersebut. Ada 50 juta data pengguna yang ‘dipanen’ oleh lembaga penelitian tersebut sebelum akhirnya Facebook memperketat pengaturan privasi miliknya. Cambridge Analytica kemudian membeli data tersebut dengan membayar sejumlah uang kepada GSR. “Ini meningkat dengan sangat cepat. Kami membelanjakan lebih dari USD 1 juta untuk data tersebut. Ini tidak murah, tapi dalam hal jumlah data yang dikumpulkan, dan kualitas data tersebut, ini adalah contoh yang sangat langka. Pengumpulannya sangat cepat, relatif murah, namun berkualitas tinggi.” Ungkap Wylie dalam sebuah wawancara.
Untuk apa data ini? Dari data tersebut Cambridge Analytica menilai secara kuantitatif kecondongan pengguna dalam pemilu, kemudian mengumpulkan profil orang-orang dan secara psikologis mengirimkan bahan kampanye pro-Trump kepada mereka. Sebuah taktik yang sangat halus dan memerangkap.
CEO Cambridge Analytica, Alexander Nix, diberhentikan dari lembaga tersebut pada hari Selasa, 20 Maret 2018. Dalam sebuah wawancara dengan Channel 4, Nix mengakui bahwa perusahaan yang berlokasi di London ini memang menjalankan kampanye digital untuk pemenangan Trump selama Pemilu 2016. “Kami melakukan semua penelitian, mengumpulkan semua data, semua analitik, semua penargetan, kami menjalankan semua kampanye digital, kampanye televisi, dan data kami memberikan informasi tentang semua strategi,” demikian aku Alexander Nix.
Dalam hal ini, Facebook menyangkal semua tanggung jawab atas ‘kecolongan’ data tersebut. Facebook menyatakan bahwa data tersebut dikumpulkan secara tidak sah, dan sejak 2015, Facebook sudah mem-banned developer pihak ketiga yang mengumpulkan data tentang teman-teman pengguna. Namun banyak orang menilai bahwa Facebook seharusnya bertanggung jawab atas kebocoran data tersebut. Salah satunya adalah David Carroll yang mengajukan tuntutan kepada Facebook untuk transparan dalam penggunaan data pengguna.
Jika mereka membiarkan data dikumpulkan dengan terang-terangan dan tidak membnerikan perlindungan secara memadai saat mereka mempelajari bagaimana data itu digunakan, maka ya, seharusnya Facebook bertanggung jawab. Perjanjian yang mereka buat dengan kita adalah bahwa mereka melindungi data kita selama menggunakan layanan.
Timbul Kekhawatiran akan Penanganan Data Facebook
Information Commissioner Inggris, Elizabeth Denham, menyoroti kasus Cambridge Analytica ini (karena perusahaan tersebut berbasis di Inggris), dan memanggil Mark Zuckerberg untuk memberikan penjelasan tentang penggunaan data pribadi di Facebook.
Damian Collins, chairman the Commons, lembaga yang meneliti tentang berita palsu, menuduh Facebook telah ‘menyesatkan’ komite dan mengatakan bahwa, “Sekarang adalah saatnya bagi eksekutif senior Facebook untuk memberikan tanggapan akurat tentang kegagalan proses yang menimbulkan kekacauan ini.”
Beberapa senator AS juga meminta Zuckerberg untuk bersaksi di hadapan Kongres tentang bagaimana perusahaannya melindungi pengguna. Sementara itu, US Federal Trade Commission juga dikabarkan mulai melakukan penyelidikan terbuka terhadap Facebook.
Kisruh ini ikut serta menjatuhkan nilai saham Facebook. CNBC melaporkan bahwa nilai saham Facebook jatuh hingga 8 persen pada hari Senin, 19 Maret 2018, setelah kasus Cambridge Analytica ini mengemuka.
Gerakan #DeleteFacebook
Pengguna yang marah di media sosial menyuarakan kegeramannya melalui hashtag #DeleteFacebook. Tagar ini tren di Twitter dan didukung oleh banyak tokoh besar. Komedian Jim Carrey, tentu saja memilih humor untuk menyuarakan protes kepada Facebook.
Who are you sharing your life with? #regulatefacebook pic.twitter.com/r7B7Ajkt0V
Jim Carrey (@JimCarrey) March 20, 2018
Elon Musk, meskipun tidak menyadari bahwa perusahaannya juga memiliki akun Facebook, langsung ikut serta menghapus akun perusahaannya: Space X dan Tesla di Facebook.
I didnt realize there was one. Will do.
Elon Musk (@elonmusk) March 23, 2018
Pengguna di Indonesia juga bisa didapati ikut berpartisipasi dalam gerakan ini. Belum ada laporan statistik resmi hingga sekarang, berapa besar berkurangnya jumlah pengguna Facebook akibat gerakan yang digagas online ini.
Hingga kini, perseteruan Facebook dan Cambridge Analytica yang dihiasi juga dengan caci maki pengguna Facebook masih berlangsung. Saya akan melaporkan perkembangan yang signifikan dari kasus ini selanjutnya.
Referensi
Lewis and Hilder. (2013). Leaked: Cambridge Analytica’s blueprint for Trump victory. The Guardian.
Thompson, Nick. (2013). Christopher Wylie, Cambridge Analytica whistleblower, speaks out on Facebook controversy. CBS News.
Watkins and Jordan. (2013). Cambridge Analytica suspends CEO Alexander Nix after undercover recordings air. CNN Politics.