That’s been one of my mantras – focus and simplicity. Simple can be harder than complex. You have to work hard to get your thinking clean to make it simple. But it’s worth it in the end because once you get there, you can move mountains
(Steve Jobs)
Sebagai penggemar teknologi, saya yakin banyak dari kamu yang begadang untuk menyaksikan siaran langsung Acara Microsoft, Imagine What You’ll Do dan sehari sesudahnya disusul Apple dengan Hello Again. Sudah banyak yang membahas tentang perbandingan inovasi terkini kedua raksasa teknologi tersebut dan saya yakin kamu punya pendapat serta kesan tersendiri terhadap kedua acara yang secara tidak langsung seperti ‘pertandingan’ untuk merebut minat dan perhatian penggemar teknologi di seluruh dunia. Namun saya di sini hanya ingin menyoroti perubahan satu filosofi kecil yang dapat saya saksikan dalam kedua event tersebut, yaitu kesederhanaan.
Kesederhanaan yang saya maksudkan di sini tentu saja dalam konteks teknologi. Hal yang paling saya kenang dari Apple adalah kesederhanaan. Mantan CEO Apple yang juga salah satu pendirinya, Steve Jobs, adalah orang yang tergila-gila akan filosofi kesederhanaan. Kamu bisa merasakan itu dalam setiap produk Apple yang dirilis pada eranya berkuasa. Contoh yang paling ikonik mungkin iPod.
Produk ini terlihat sangat simpel dengan opsi terbatas, tombol kontrol yang minim, tapi juga menimbulkan keingintahuan. Tampilan tersebut membalut sebuah teknologi yang canggih untuk audio serta kualitas produksi yang terjamin.
iPhone (yang sampai sekarang menjadi sumber utama pemasukan Apple – bahkan lebih dari 5 tahun setelah Steve Jobs tiada) adalah contoh ikonik lain dari kesederhanaan. Ponsel pintar ini hanya menggunakan satu tombol “Home” agar kamu bisa keluar dari aplikasi apa pun. Penataan UI iOS yang dirintis pada zaman Steve Jobs ini juga sangat memperhatikan kemudahan pengguna untuk menjangkau setiap titik di layar, bahkan hanya dengan satu tangan saja. Untuk kemudahan pengoperasian, saya berani bilang bahwa iPhone adalah smartphone yang paling mudah untuk dipelajari dan dioperasikan hingga sekarang!
Kalau begitu gampang dong! Kita hanya perlu menjadi sederhana untuk sukses! Jangan salah! Menyederhanakan sesuatu itu bukan hal yang sederhana!
Seperti yang dikatakan Steve Jobs sendiri dalam kalimat yang saya tulis sebagai paragraf pembuka, menjadikan segala sesuatu sederhana itu sulit! Namun sepadan dengan hasilnya, karena jika kamu berhasil, maka kamu bisa memindahkan gunung. Menyederhanakan produk bukan sekedar kita menjadikan sebuah produk itu semakin minimalis. Unsur tersebut memang ada, tapi ada banyak hal yang lebih penting dari sekedar menjadikan sebuah produk kelihatan ringkas!
Steve Jobs selalu peduli pada bagaimana seseorang menggunakan produknya. Salah satu kehebatan pendiri Pixar ini adalah, dia selalu menemukan cara bagi seseorang menggunakan dan menikmati produknya secara optimal, bahkan terkesan ‘mendiktekan’ cara tersebut. Luar biasanya: Semua penggunanya akhirnya menikmati hal tersebut dan merasa dimanjakan. Inilah yang saya lihat semakin hilang dari filosofi Apple kemarin.
Produk-produk Apple yang dirilis tahun ini seakan mengharuskan kita ‘belajar ulang’. Untuk iPhone, kita harus belajar untuk tidak menggunakan headphone jack yang sudah menjadi ‘standar’ audio di dunia saat ini. Sedang untuk Macbook, selain memangkas deretan tombol di bagian atas (yang bakal menjadikan kita perlu mempelajari ulang pengendalian fungsinya), Macbook tahun ini juga memperkenalkan Touch Bar. Saya tidak akan berdebat mengenai fungsionalitas tombol ini, namun saya punya keyakinan bahwa ini kemungkinan satu hal yang tidak akan disetujui di era Steve Jobs. Kenapa? Karena pengguna harus melihat ke bawah dan ke atas lagi untuk memanfaatkan touch bar! Kalau kamu saat ini menggunakan Macbook, kamu akan sependapat bahwa sekali kamu terbiasa dengan gesture di touchpad serta jarimu sudah hafal posisi tombol dan shortcut untuk Mac, maka kamu bisa terus bekerja sambil menatap layar tanpa mempedulikan banyak hal lain. Minimum distraction! Steve Jobs merancang Mac agar penggunanya dapat melakukan segala sesuatu dengan mudah dan sederhana.
Belum lagi potensi kekonyolan yang terjadi karena dongle atau hub yang diperlukan untuk menghubungkan Mac atau iPhone dengan periferal lainnya.
Banyak ahli teknologi yang bercanda bahwa produk Apple tahun ini menciptakan situasi dongle hell. Kita memerlukan banyak dongle jika ingin menambahkan periferal. Belum lagi fakta konyol bahwa ternyata kabel yang ada di iPhone tidak sesuai dengan yang ada di Mac, sehingga kita memerlukan dongle untuk menghubungkan iPhone 7 dengan Macbook Pro 2016! Saya tidak akan heran kalau Halloween kemarin Steve Jobs tiba-tiba bangkit dari kubur untuk mencekik Tim Cook.
Di sisi lain, Microsoft mungkin juga tidak akan membangun produk dengan pendekatan seperti Steve Jobs. Namun hal menarik yang saya lihat dari produk Microsoft akhir-akhir ini adalah: Mereka dapat menyederhanakan workflow!
Oke, sebenarnya ini istilah saya sendiri, jadi mungkin kamu akan kesulitan mencari referensi tepat untuk hal ini. Yang saya maksudkan adalah Microsoft menyediakan alat dengan resource melimpah yang bisa menjadikan kamu melakukan banyak hal dengan itu. Tatanan sumber daya yang ada dalam alat itu mungkin ehm.. Agak berantakan.. Tapi jika kamu ingin menyelesaikan sesuatu, kamu dapat melakukannya tanpa perlu susah payah beranjak. Untuk bisa membayangkan hal yang saya maksudkan, ini analoginya seperti meja cowok.
Oke, tidak semua cowok seperti ini. Tapi banyak teman yang saya kenal (termasuk saya sendiri), selalu punya meja yang berantakan, tapi fungsional. Saya selalu dapat menemukan apa saja yang saya inginkan dalam kondisi berantakan, dan justru kebingungan mencari sesuatu setelah saya merapikannya.
Microsoft akhir-akhir ini rajin mengumandangkan visi “Empower Every Person and Every Organization on The Planet to Achieve More” dan “Do Great Things”. Ini tercermin dalam produk OS dan perangkat dari Microsoft yang seakan bertujuan membantu orang-orang untuk melakukan segala sesuatu. Dalam software, kita mendapati Windows 10 yang menyatu dan saling terintegrasi dengan berbagai perangkat. Dalam hardware, kita mendapati inovasi hybrids – menyatukan tablet dengan laptop yang menjadikan kita dapat melakukan banyak pekerjaan dengan praktis. Ini adalah bentuk kesederhanaan juga. Entah disadari atau tidak, Microsoft menyederhanakan alur kerja kita!
Dengan konsep software dan hardware Microsoft tersebut, kita dapat duduk dengan tenang di satu tempat, terus mengerjakan apa yang menjadi fokus kita tanpa perlu ganti perangkat lain ataupun software lain, karena Office secara umum sudah memberikan solusi terhadap berbagai bidang terkait pekerjaan.
Saya juga melihat bahwa Surface Studio dibangun dengan semangat yang sama. Para pekerja kreatif sendiri melihatnya sebagai solusi lengkap untuk aktivitas yang mereka lakukan. Duduk di depan Studio, kita dapat fokus total melakukan pekerjaan sesuai dengan bidang kita, tanpa terputusnya alur kerja kita. Tentu saja ini akan membantu kita lebih cepat menyelesaikan pekerjaan tersebut!
Kesimpulan
Kedua raksasa teknologi ini memiliki imej yang berbeda tentang kesederhanaan. Kesederhanaan bagi Apple saat ini adalah bentuk dan tampilan produk yang ringkas, anggun, mempesona, tapi juga powerful! Sedangkan Microsoft berupaya menyederhanakan ‘pekerjaan’ seseorang. Produk Microsoft tahun ini seakan ingin melakukan banyak fungsi sekaligus (lini hybrids dan software Office 365 yang semakin bertambah) untuk menjadikan seseorang bisa melakukan banyak hal tanpa perlu berganti perangkat atau menggunakan software lain.
Saya tidak akan mengatakan pendekatan Apple salah, atau pendekatan Microsoft salah. Seperti yang saya katakan, saya hanya merasa bahwa arah ‘kesederhanaan’ Apple sekarang sangat berbeda dengan yang selalu ingin dicapai oleh Steve Jobs saat dia masih menahkodai perusahaan paling bernilai di dunia ini. Mana di antara keduanya yang akan lebih membantu, kamu sendirilah yang memutuskan, karena kamulah konsumennya!
Punya pendapat terkait filosofi kesederhanaan ala Apple dan Microsoft? Tuangkan pemikiranmu di kolom komentar!