Saat Steve Jobs memutuskan ‘mengundurkan diri’ dari Apple pada September 1985, terjadi fenomena yang unik: Saham Apple melonjak hingga 7%. Ini menunjukkan bahwa para pemegang saham yakin bahwa Apple bakal lebih baik setelah Steve Jobs ‘dipecat’. Pada saat itu Jobs memiliki 6,5 juta saham Apple, 11% dari perusahaan yang bernilai lebih dari USD 100 juta. Fakta ini menjadikan Jobs semakin geregetan dan menjual seluruh sahamnya, menyisakan satu saham saja sehingga dia dapat tetap hadir di Rapat Umum Pemegang Saham jika dia mau. Namun uang melimpah memang bukan hasrat utama Steve.
Sebuah Identitas Tingkat Dunia
Beberapa minggu setelah ‘kembali ke rumah’, Jobs menghabiskan banyak waktunya untuk berpikir. Perenungan itu membawanya pada kesimpulan bahwa dia tidak mungkin menyerah untuk mengikuti visinya. Jobs masih ‘haus’ mengejar impiannya membuat komputer. Secara diam-diam, dia menginginkan bahwa perusahaan ini (tentu saja) harus dapat bersaing dengan Apple. Jobs memutuskan bahwa nama perusahaannya yang selanjutnya adalah Next – Menunjukkan bahwa dia sudah move on dari Apple dan siap untuk menggebrak dunia kembali. Langkah pertama Jobs agak unik. Dia menemui Paul Rand, seorang desainer logo kenamaan yang merancang logo bagi Esquire, IBM, Westinghouse, ABC, dan UPS. Jobs menginginkan Rand untuk mendesain logo bagi perusahaan barunya (yang belum ada). Sayangnya, saat itu Rand masih terikat kontrak dengan IBM. Namun seperti biasa, Jobs langsung menelepon CEO IBM, John Akers untuk meminta izin agar Rand diperbolehkan merancang logo untuknya. Akers saat itu sedang berlibur panjang, namun Jobs berhasil menghubungi Paul Rizzo, Vice Chairman IBM. Dengan keahliannya bernegosiasi dan merayu, Jobs akhirnya menjadikan Rizzo menyerah dan mengizinkan Rand ‘bekerja satu kali’ saja untuk Steve Jobs. Ironis sebenarnya karena setahun lalu, iklan untuk Macintosh, ‘1984’, yang fenomenal itu adalah iklan yang dibuat Jobs untuk mengolok-olok IBM yang disebutnya ‘The Big Blue’.
Paul Rand terbang menemui Steve Jobs di Palo Alto. Jobs lalu mempresentasikan idenya yang detail tentang komputer yang akan diproduksinya (sekali lagi, perusahaannya belum berdiri sama sekali). Komputer tersebut akan berbentuk kubus sempurna. Rand langsung mendapat ide bahwa logo tersebut harus mirip dengan produk Jobs, dengan salah satu sisi miring 28°. Jobs setuju dengan ide Rand, lalu meminta Rand memberikan beberapa opsi desain. Jawaban Rand: “Aku tidak akan memberikan opsi pada klienku. Aku hanya membuat satu logo terbaik. Ini akan memecahkan masalahmu, dan kau akan membayarku. Itu saja.”
Jobs terkesan oleh ketegasan Rand dan keyakinan yang terlihat di mata seniman itu. Dia setuju membayar Rand USD 100.000 untuk SATU logo yang belum dia lihat. Cuma butuh waktu dua minggu bagi Rand untuk menyelesaikan logonya. Dalam sebuah makan malam di Palo Alto, dia mempresentasikan karyanya di hadapan Jobs. Selain mockup logo, dia juga sudah menyajikan sebuah proposal detail tentang makna logo tersebut. Dalam proposal tertulis: “Ujung teks ini sedikit berjingkrak untuk merepresentasikan informalitas, keramahan, dan spontanitas.” “Huruf e dituliskan dengan huruf kecil sebagai konotasi education (pendidikan), excellence (kesempurnaan), … e = mc².
Kita sudah sering mendengar Jobs memaki-maki dan membanting sebuah desain yang dipresentasikan padanya. Namun menghadapi desainer legendaris seperti Rand, Jobs tidak dapat berkata apa-apa. Dia bangkit berdiri dan memeluk Rand dengan haru. Dia menyampaikan kepada Rand, hanya satu hal yang ingin dia ubah dari desain itu. Dia ingin agar warna kuning gelap pada logo tersebut diubah ke warna kuning yang lebih tradisional. Jawaban Rand: “Aku sudah mengerjakan hal seperti ini lebih dari lima puluh tahun dan aku tahu yang kulakukan!” Jobs angkat tangan.
Orang-orang mungkin merasa Jobs melakukan hal yang konyol: Membayar USD 100.000 hanya untuk sebuah logo. Tapi bagi Jobs, sangat penting baginya ‘memulai hidup baru’ dengan sebuah logo dan identitas yang sudah berkelas dunia – Menunjukkan kelasnya sendiri. Seperti yang diajarkan Mark Markkula, pendana awal Apple, perusahaan besar harus dapat menunjukkan nilainya dari kesan pertama yang diciptakannya.
Perjuangan untuk Memproduksi NeXT Computer
Untuk mewujudkan komputer bentuk kubus bayangannya, Jobs menghubungi Hartmut Esslinger – Desainer komputer Apple. Sekali lagi Jobs harus berhadapan dengan pasal yang dibuatnya sendiri, bahwa karyawan atau agensi yang dikontrak Apple tidak boleh terlibat dengan pekerjaan dari pihak luar. Kali ini Jobs merendah. Dia menghubungi Paul Sculley dan memohon agar Esslinger diizinkan membantu pembuatan komputernya. Untungnya, Sculley mengizinkannya, tentu saja dengan sejumlah persyaratan, seperti komputer buatan NeXT tidak boleh kompatibel dengan OS milik Macintosh, dan beberapa poin lain. Perjanjian ini diresmikan oleh pengadilan setempat.
Desain berhasil, namun masalah belum selesai. Manufaktur mana pun kesulitan menciptakan produk berbentuk kubus sempurna sesuai yang diinginkan Jobs. Padahal Jobs menginginkan bahwa produknya ini harus sangat estetik, indah, menarik perhatian dan mewakili citarasa seni. Tak heran bahwa selama pembuatan Jobs benar-benar memaksakan agar produk ini sesuai dengan keinginannya. Puluhan kali dia merevisi warna komputer tersebut, lalu bersikeras agar komponen terpasang dalam urutan yang dinamis dari kanan ke kiri – Ini mengikuti prinsip Jepang, Kanban, yang berarti bahwa komponen hanya bekerja jika komponen selanjutnya siap untuk menerima tugas.
Ini menimbulkan kesulitan finansial yang sangat parah. Dalam produksi saja, Steve Jobs sudah ‘membakar’ USD 7 juta tanpa hasil. Saat inilah hadir Ross Perot, pendiri Electronic Data System yang kemudian menjadi investor utama NeXT. Saat Perot masuk sebagai investor, Microsoft baru saja Go Public dengan nilai sebesar USD 1 miliar – Nilai yang fantastis di masa itu. Jobs pun menelepon Bill Gates, sahabat sekaligus rivalnya, untuk meminta Gates ikut menjadi investor. Gates menjawab dingin: “Hubungi aku kalau kau sudah punya pasar untuk itu.”
Menepis Keraguan
Perlu waktu tiga tahun sebelum akhirnya, pada 12 Oktober 1988, Jobs meluncurkan produknya di Symphony Hall San Francisco. Jobs bahkan menyewa George Coates, seorang produser teater untuk menyutradarai ‘pertunjukan panggung’ untuk NeXT. Lebih dari 3000 orang hadir saat itu untuk menyaksikan karya baru Steve Jobs ini. Panggung ditata minimalis serba hitam, dengan komputer NeXT tertutup selubung hitam juga.
Seperti biasa Jobs tampil dan mengungkapkan bahwa NeXT merupakan ‘produk yang tidak terbandingkan’ serta ‘inovasi yang jauh melebihi zamannya’. Dia juga mengungkapkan bahwa NeXT ‘mampu melakukan banyak hal yang tidak mungkin dilakukan komputer lain’. Jobs menutup presentasi dengan penampilan ‘duet’ antara NeXT dengan Violis dari San Francisco Symphony yang memainkan A Minor Violin Concerto dari Bach – Massa gegap gempita bersorak untuk pertunjukan ini (sampai lupa menanyakan detail lain seperti harga dan sebagainya).
Ketika hype seputar NeXT agak turun, Wall Street Journal meminta komentar Bill Gates tentang NeXT. Boss Microsoft tersebut menukas: “Sebenarnya saya kecewa. Tahun 1981, kita semua menyambut Macintosh dengan penuh semangat karena memang itu tidak seperti komputer lain yang terlihat sebelumnya. NeXT tidak seperti itu, dan fitur yang ditunjukkan Steve, semuanya remeh temeh belaka.”
Namun setidaknya, Jobs mampu menunjukkan bahwa dia memang mampu ‘kembali’ ke pertarungan level atas. Kali ini bekal Jobs bukan itu saja. Selama perjuangan keras produksi NeXT, Jobs juga telah mengulurkan tangan untuk membeli sebuah perusahaan kecil milik George Lucas, sutradara dan produser Star Wars. Divisi komputer milik George Lucas ini berfokus pada grafik komputer, dan nantinya kita lebih mengenalnya dengan nama: PIXAR.
Nantikan episode berikut Balas Dendam Paling Manis di Silicon Valley PIXAR.
Referensi:
Arthur, Charles. (2013). Digital Wars – Apple, Google, Microsoft, dan Pertempuran Meraih Kekuasaan atas Internet. PT. Elex Media Komputindo
Isaacson, Walter. (2011). Steve Jobs. Simon & Schuster.