John Sculley, mantan CEO Apple pernah bercerita kepada para wartawan sebagai berikut:
Saya ingat Akio Morita pernah memberi Steve Jobs Sony Walkman generasi pertama. Pada saat itu, kami belum pernah melihat benda seperti itu karena memang belum pernah ada produk seperti ini sebelumnya. Ini terjadi 25 tahun lalu dan Steve terpesona olehnya. Hal pertama yang dilakukannya adalah mempretelinya dan meneliti setiap bagian komponennya. Steve mempelajari bagaimana produk ini dibentuk dan diolah.
Steve sangat kagum oleh pabrik Sony. Kami kemudian mengunjunginya. Di sana ada beberapa orang dengan seragam yang berbeda. Beberapa orang mengenakan seragam warna merah, lainnya mengenakan seragam warna hijau, ada juga yang biru, bergantung pada fungsi karyawan tersebut. Semua hal di sana dipikirkan dengan cermat dan pabrik tersebut bersih tanpa noda. Hal ini benar-benar memberikan kesan yang dalam bagi Steve.
Setelah itu Steve mulai menginginkan agar pabrik Mac seperti itu. Memang karyawan tidak memiliki seragam warna-warni seperti di Sony, tapi semua bagian pabrik dibuat agar sama elegannya dengan Sony. Steve benar-benar menjadikan Sony sebagai referensi pada saat itu. Dia tidak ingin menjadi IBM, dia tidak ingin menjadi Microsoft. Dia ingin menjadi Sony!
Membangun Puing-Puing
Pada September 1945, Masaru Ibuka kembali ke Tokyo untuk mulai bekerja di kota yang hancur oleh perang tersebut. Sebuah kamar sempit dengan papan sirkuit telepon terletak di lantai ketiga Shirokiya Department Store di Nihombashi menjadi tempat bekerja baru bagi Ibuka dan kelompoknya. Pada bulan Oktober, Ibuka dan kelompoknya mendirikan fasilitas baru yang disebut Tokyo Tsushin Kenkyujo (Totsuken) atau dapat diterjemahkan sebagai Institut Penelitian Telekomunikasi Tokyo. Seberapa berat mendirikan perusahaan teknologi di masa pasca-perang seperti ini? Ibuka harus merogoh kocek sendiri untuk membayar gaji karyawannya, dan jumlah gaji yang diberikan juga tidak seberapa.
Apa yang bisa dilakukan agar mereka tetap bertahan di dunia bisnis (yang juga hancur karena perang)? Ibuka mendapatkan ide. Setelah perang, Jepang sangat lapar akan berita di seluruh dunia. Banyak orang memiliki radio yang rusak akibat perang, atau jika tidak, hanya unit radio sederhana yang salurannya selalu diganggu oleh polisi militer yang berupaya mencegah agar Jepang tidak termakan propaganda dunia Barat. Pabrik milik Ibuka kemudian memperbaiki radio tersebut dan menciptakan converter gelombang pendek yang kemudian dapat dengan mudah mengubahnya menjadi penerima gelombang sedang atau bahkan segala jenis gelombang.
Adaptor gelombang pendek milik Ibuka ini menarik perhatian banyak orang. Koran terkemuka di Jepang, Asahi Shimbun, mengulasnya dalam kolom populer miliknya. Sebagai akibatnya, permintaan akan adaptor gelombang pendek tersebut melejit dan ini menjadikan pabrik Ibuka kebanjiran permintaan. Bukan hanya permintaan yang datang, popularitas Ibuka dan adaptor gelombang pendek miliknya menjadikan Ibuka berjumpa kembali dengan sobatnya semasa kecil, Akio Morita. Catatan: Meskipun disebut ‘teman semasa kecil’, Ibuka lebih tua beberapa belas tahun dari Morita. Mereka berdua menjalankan bisnis radio ini bersama-sama.
Selain informasi, hal lain yang meresahkan Jepang pada masa itu adalah masalah pangan. Pabrik Ibuka kemudian secara kreatif berupaya memecahkan masalah ini dengan sebuah pemasak nasi listrik. Ide ini diperoleh karena tutupnya berbagai pabrik penghasil peralatan perang, sehingga saat itu Tokyo memiliki cadangan daya listrik yang besar. Ibuka berpendapat bahwa berbagai peralatan dengan dukungan sumber daya listrik akan dapat memajukan masyarakat. Meskipun demikian, proyek penanak nasi listrik ini menjadi kegagalan besar pertama Ibuka dan Morita. Nasi yang dihasilkan selalu kurang matang atau gosong, sehingga produk ini akhirnya tidak jadi dijual.
Meskipun demikian, perusahaan milik Ibuka dan Morita berada di jalur yang tepat. Visi mengenai listrik yang berlimpah sehingga memungkinkan peralatan teknologi listrik menjadikan perusahaan tersebut berupaya ‘menemukan’ alat-alat penunjang kebutuhan sehari-hari yang membutuhkan tenaga listrik. Melihat fenomena musim dingin di Jepang, yang menjadikan banyak orang kesusahan dan kedinginan, Ibuka dan Morita beserta timnya berupaya mengeksekusi ide baru, yaitu sebuah bantalan penghangat untuk musim dingin. Produk sederhana ini laris luar biasa. Nyaris seluruh keluarga di Jepang membeli produk ini untuk persiapan musim dingin.
Sayangnya, keberhasilan ini tidak bertahan lama. Jepang memutuskan untuk lebih mementingkan pembangunan militer. Pabrik yang didirikan oleh Ibuka dan Morita diakuisisi untuk kepentingan militer. Kedua sahabat ini pun pindah ke Shinagawa. Berbekal penjualan truk milik Ibuka, mereka mendirikan kembali Totsuko, perusahaan mereka. Uniknya, pabrik yang terletak di Shinagawa ini nantinya merupakan lokasi yang sama dengan pabrik milik Sony Corp bertahun-tahun ke depan!
Produk yang Wajib Diproduksi
Iklim di Shinagawa tentu saja berbeda dengan Tokyo. Di Shinagawa, Totsuko tidak menemukan listrik yang melimpah seperti di Tokyo. Mereka kemudian beralih ke produksi perekam suara magnetik. Radio saat itu sudah banyak diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar. Akio Morita dengan cerdik berfokus pada peralatan penunjang industri radio. Perekam berkabel merupakan salah satu fokus mereka. Ini akan menjadi perangkat penunjang yang bagus untuk aktivitas mencari berita.
Dalam pencariannya untuk menciptakan alat perekam berkabel yang baik, insinyur di Totsuko secara ‘tidak sengaja’ menemukan mekanisme menarik untuk memutar pita kaset, termasuk prosedur menggulung untuk mempercepat dan mengurangi track yang diputar pada pita kaset. Ini menciptakan perangkat yang memiliki mekanisme putar sederhana dalam merekam suara kemudian memutarnya kembali. Setelah terciptanya produk baru tersebut, hal pertama yang direkam oleh Ibuka dan Morita adalah siaran perenang Jepang, Hironoshin Furuhunashi yang mencatatkan rekor dunia dalam kejuaraan yang berlangsung di Los Angeles. Ini bukan hanya alat perekam, melainkan cikal bakal cassette recorder!
Meskipun sudah berada di jalur yang tepat, Totsuko masih harus menunggu lama. Pada tahun 1951, barulah mereka mampu memproduksi tape recorder yang disebutnya G-Type yang selain fungsional juga memiliki bentuk yang menarik bagi konsumen!
Tape recorder ini segera menjadi produk favorit di Jepang. Orang Jepang memanfaatkan teknologi ini untuk merekam sekaligus juga untuk mendengarkan lagu dan siaran berita. Meskipun Totsuko tidak dapat menjual produk ini dengan harga yang mahal mengingat kemampuan ekonomi jepang pada saat itu, tetap saja mereka sukses luar biasa karena setelah mendapatkan paten untuk perangkatnya, maka paten yang mereka miliki kemudian menjadi landasan monopoli bagi perangkat dengan tipe serupa. Artinya, kalau ada perusahaan lain yang memproduksi tape recorder dengan bentuk dan fungsi yang kurang lebih serupa, maka mereka harus membayar royalti kepada Totsuko. Ini merupakan hal yang tidak disangka-sangka bagi Ibuka dan Morita yang pada saat itu masih awam dalam hal penjualan. Seakan uang datang dengan sangat gampang berkat paten yang mereka miliki dari produk ini.
Pada tahun 1952, berkat kesuksesan inovasinya, Ibuka mendapatkan undangan untuk mengunjungi Amerika Serikat. Seiring dengan suksesnya tape recorder di Jepang, negara-negara barat mulai merasa penasaran akan produk ini dan secara langsung meminta pendapat orang yang terlibat dalam invensi perangkat ini mengenai masa depan teknologi di Amerika Serikat!
Seperti halnya sebuah perusahaan pada umumnya, Ibuka dan Morita dengan Totsuko miliknya menghadapi banyak tantangan. Minggu depan akan dibahas bagaimana Totsuko menjadi Sony dan mulai menghadapi berbagai tantangan di tingkat dunia. Baca di Kisah Silicon Valley #70 – Perusahaan Kecil yang Menggapai Dunia minggu depan.
Referensi
Hayashi, Nobuyuki. 2014. The tales of Steve Jobs & Japan: Casual friendship with Sony. Nobi.
Kahney, Leander. 2010. Steve Jobs’ Sony Envy [Sculley Interview]. CultofMac.
Sony Corporate Info. Sony.