Kisah Silicon Valley #126 – Desainer Paling Tepat untuk Apple

via Financial Times

“Masalah dengan Newton MessagePad adalah: Produk ini tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari seseorang. Saya tidak dapat menawarkan sebuah ‘pemecahan masalah’ dengan produk ini,” kisah Jony tentang produk pertamanya untuk Apple. “Produk ini sama sekali tidak memberikan sesuatu yang dapat dipahami oleh pengguna. Kehadiran saya di Apple adalah untuk memperbaiki hal itu.” Nyatanya kemudian Jony bukan hanya ‘memperbaiki’ produk yang dianggap hadir dalam waktu tidak tepat tersebut. Jony menetapkan banyak landasan bagi Apple dalam merancang produk tersebut, bukan saja menjadikan produk ini sebagai landasan masa depan yang masih sangat jauh: iPad, tapi juga mengubah pola pikir Apple dalam hal manufaktur!

Pekerjaan Penuh Waktu di Apple

Jony Ive via Dave Bennet (Daily Mail)

Pada September 1992, pada usia dua puluh tujuh tahun, Jony Ive menerima tawaran untuk bekerja secara penuh waktu di Apple. Dia terbang ke California bersama istrinya, Heather. Pasangan ini tinggal di sebuah rumah keren di Twin Peaks, San Francisco, bukit paling tinggi yang ada di kota itu. Dari sana mereka dapat menikmati pemandangan kota yang indah layaknya dari sebuah gedung pencakar langit.

Bagian dalam rumah ini juga sangat menggambarkan selera Jony. Ada sebuah perapian yang seakan menyatu dengan interior ruangan dan sebuah televisi di atas stereo kelas atas. Uniknya, hampir semua perabotan di rumah ini memiliki roda, jadi bisa digeser-geser sesuai selera. Ruangan ini diterangi dengan lampu yang futuristik, yang kelihatan seperti sebuah bola sihir berwarna merah. Dari rumah ini, perjalanan menuju Cupertino berjarak tiga puluh lima mil. Jony menggunakan sebuah Saab Convertible berwarna oranye menyolok yang agak tidak sesuai sebenarnya dengan gaya Jony jika melihat kegemarannya terhadap mobil tua elegan. Studio tempat Jony bekerja bernama IDg. Meskipun secara resmi merupakan studio Apple, namun Robert Brunner bertanggung jawab penuh atas tempat ini, nyaris tanpa intervensi dari Apple.

Sebelumnya, Apple menjalin kontrak sebagian besar pekerjaan desainnya dengan Frog Design, sebuah konsultan desain yang memberikan pelayanan penuh, dijalankan oleh Hartmut Esslinger, seorang desainer Jerman. Esslinger bertanggung jawab atas kesatuan bahasa desain yang disebut Apple sebagai “Snow White” alias “Si Putih Salju” yang mana mudah dikenali dari produk-produk Apple pada era tersebut. Namun masuk deade 80-an, layanan Frog Design semakin mahal. Tagihan Apple melonjak hingga USD 2 miliar setahun, lebih dari dua kali lipat harga layanan agensi desain lain. Inilah sebabnya setelah Steve Jobs ‘diberhentikan’ dari posisinya sebagai CEO di Apple, direksi Apple memanfaatkan peluang ini untuk memotong biaya dan mempekerjakan desainer lain. Robert Brunner-lah orang beruntung yang kemudian menjalin kerjasama dengan produsen komputer paling inovatif dalam dekade akhir 70-an ini.

Brunner sendiri memiliki usulan yang menarik minat Apple. Dia ingin agar studionya menjadi bagian dari Apple secara penuh. Tujuannya adalah untuk ‘menciptakan produk-produk hebat secara lebih dekat dengan Apple’. Tentu saja hal ini menarik bagi Apple. Apalagi anggaran yang diajukan Brunner cukup rendah jika dibandingkan biaya konsultasi eksternal. Dalam perjalanannya, Brunner sendiri terbukti tidak ‘merepotkan’ Apple. Dia hanya meminta ruangan studio tersendiri yang tidak begitu besar. Brunner sendiri menyebut studionya sebagai sebuah studio yang “efektif, sederhana, bertalenta tinggi, dan memiliki budaya yang hebat.”

Namun situasi awal masuknya Brunner ke Apple agak unik. Dia diminta bekerja bersama para engineer Apple dan merupakan satu-satunya desainer di situ. Brunner waktu itu geleng-geleng kepala, “Apa yang sudah aku lakukan?” pikirnya. Inilah yang kemudian melandasi keinginannya untuk membentuk sebuah Dream Team. Sebuah tim desain yang bisa mendukungnya untuk menciptakan produk-produk legendaris untuk Apple. Inilah yang kemudian mendorongnya untuk melakukan ‘petualangan’ di kota-kota Eropa dan berujung merekrut Tangerine (secara spesifik: Jony Ive). Bukan hanya Ive, Brunner mendapatkan tenaga desain bertalenta seperti Tim Parsey, Daniele De Iuliis, Lawrence Lam, Jay Meschter, Larry Barbera, Calvin Seid, dan Bart Andre. Ketika Jony bergabung dengan tim, banyak yang menantikan kehadirannya. “Bob tahu bahwa akan ada seorang desainer yang kuat masuk ke dalam tim,” ujar Meschter. “Saat Daniele De Iuliis dan Tim Parsey pertama kali masuk tim, pendekatan desain tim memang berubah. Tapi ketika Jonathan hadir dalam kelompok ini, kami benar-benar lepas landas!”

Untuk menjalankan grup ini seperti halnya agensi bebas, namun merupakan bagian dari Apple, Brunner menerapkan sebuah struktur manajemen yang longgar. Para desainer selalu bekerja bersama, apa pun proyek yang sedang dikerjakan oleh grup ini. Jadi istilahnya, proyek selalu ‘dikeroyok’ oleh seluruh desainer untuk mendapatkan hasil yang optimal dan selalu sejalan dengan ‘bahasa desain universal Apple’. Brunner juga telah membuat semacam ‘garis besar’ untuk produk-produk yang mereka tangani. Ini disebut sebagai product line leaders (PLL), yang diperuntukkan untuk sebagian besar lini utama produk Apple seperti CPU, printer, monitor, dan sebagainya. “Tim ini luar biasa,” kenang Brunner. “Mereka semua selalu saling berbicara satu sama lain. Komunikasi berjalan lancar meskipun ada kebutuhan yang berbeda-beda dalam grup. Saya sampai merasa bahwa saya tidak tahu ada kelompok desainer yang berjalan sebagus ini di tempat lain. Selalu ada diskusi proyek. Kami merancang, menciptakan, dan mengirimkannya.”

Karena Apple saat itu adalah pemimpin pasar PC, apalagi tenar dengan inovasinya, maka beban pekerjaan kelompok desainer ini sangat masif. Mereka harus terus-menerus mengerjakan desain produk yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Jadwal produksi juga terasa semakin pendek dan singkat. “Saya merasa kami luar biasa baik hati,” ungkap Brunner. “Anda menghabiskan begitu banyak waktu untuk menjadikan sesuatu bekerja selama bertahun-tahun. Mengingat siklus produk ini semakin sempit, dari dua belas bulan menjadi enam bulan, menjadikan kami betul-betul kesulitan. Kami mulai merasa dikejar-kejar untuk menyelesaikan sebuah produk.”

Tantangan lain yang dihadapi Brunner dan krunya adalah budaya internal Apple yang ‘mendewa-dewakan’ engineer. Proses desain seakan dipandang sebelah mata dan tidak mendapatkan banyak pengakuan. Brunner ingin mengalihkan ‘kekuasaan’ dari engineering ke desain. Dia mulai berpikir secara strategis. “Kami mulai melakukan lebih banyak pemikiran untuk jangka panjang. Studi jangka panjang yang saya maksudkan mencakup bahasa desain, bagaimana teknologi masa depan diimplementasikan, dan banyak lagi. Kami ingin berada di depan para engineer untuk menjadikan para desainer mendapatkan penghargaan lebih baik.”

Juggernaut project yang dikerjakan oleh Brunner (bersama Tangerine sebagaimana dibahas di episode sebelumnya) merupakan salah satu bagian dari konsep ini. Brunner mulai mendapat perhatian dari Apple, khususnya setelah produk-produk ini memenangkan beberapa penghargaan desain. Setiap bulan Brunner juga mengiklankan desain mereka di majalah I.D. Dia menyampaikan konsep yang masih mentah, namun dapat diimplementasikan dan terlihat futuristik. Apple mulai lebih banyak menerima perhatian dari desainnya yang khas.

Tugas pertama Jony di Apple

via Business Insider

Tugas besar pertama Jony di Apple adalah merancang Newton MessagePad generasi kedua Apple. Sebenarnya, Newton pertama masih belum dirilis, tapi tim desain sudah membencinya. Karena jadwal produksi yang sangat terburu-buru, terdapat cacat serius pada versi pertama ini, yang sulit untuk dibenahi. Tepat sebelum Newton dipasarkan, Apple mendapati bahwa layar kaca yang melindungi Newton menghalangi expansion card yang seharusnya dimasukkan ke dalam perangkat ini. Solusi terbaik adalah menciptakan yang baru. Kelompok desainer mengerjakan perangkat versi baru Newton MessagePad ini dengan kode Lindy.

Jony mengerjakan proyek Lindy antara November 1992 hingga Januari 1993. Untuk memahami produk ini, Jony memulai dengan menanyakan pada dirinya sendiri “Apa kisah yang ingin disampaikan produk ini?” – Newton memang sangat baru dan luwes untuk digunakan, tidak seperti produk-produk lain. “Produk ini bisa dilipat seperti buku, namun ini menimbulkan masalah karena orang-orang di Eropa dan AS akan ingin membukanya dari kiri, sementara orang di Jepang lebih suka membukanya dari kanan. Untuk mengakomodasi keinginan setiap orang, maka kami memutuskan untuk membukanya ke atas.”

Berikutnya Jony mengalihkan perhatian pada nuansa khusus yang akan menjadikan produk ini terasa personal dan spesial. Newton merupakan produk berbasis pen alias stylus. Jony kemudian berfokus pada pen ini, dengan niat ingin menjadikan semua orang senang bermain dengan pen tersebut. “Saya memaksa agar penutupnya terbuka ke atas, seperti notepad milik stenographer yang mana mudah dipahami semua orang, yang kemudian menggunakan Lindy ini sebagai notepad spesial.” Inilah yang kemudian menjadi elemen kunci untuk kisah produk ini.

Jony memang didesak oleh jadwal yang super padat. Namun teman-teman desainernya sangat terkesan karena dia terlihat santai oleh tekanan tersebut, dan bahkan kemudian menciptakan sebuah produk yang ‘menyeluruh’. Segala elemen dari desain yang digagas Jony untuk Lindy dapat dijelaskan sedetail mungkin, disertai pembahasan mengenai kekuatan produk ini, dan tentu saja seperti biasa, Jony sudah mengonsep bagaimana untuk memproduksi Lindy dengan memanfaatkan komponen-komponen yang sudah dimiliki oleh Apple!

Phil Gray, boss lama Jony di RWG yang menghadiri rilis Newton MessagePad mengungkapkan, “Newton ini memang pada akhirnya tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, tapi ini adalah perangkat yang belum pernah ada sebelumnya. Saya paham Jony pasti frustasi karena saya bisa melihat bahwa dia telah bekerja keras untuk perangkat ini dan melakukan banyak kompromi karena elemen engineering.”

Kabar gembiranya, MessagePad ini menandai transasi penting dalam strategi manufaktur Apple. Produk ini adalah produk pertama yang di-outsourcing Apple ke Taiwan. Sebelumnya Apple bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan Jepang untuk manufaktur produk-produknya. Ini merupakan produk perintis yang ke depannya mempererat kerjasama Apple dengan Tiongkok.


Serial Silicon Valley selanjutnya akan membahas pertemuan Jony Ive dengan Steve Jobs yang saat itu kembali ke Apple. Kombinasi mereka berdua adalah legenda yang masih dituturkan hingga sekarang.

Referensi:

Kahney, Leander. (2013). Jony Ive: The Genius Behind Apple’s Greatest Products. Amazon.

Arlidge, John. (2014). Jonathan Ive, Designs Tomorrow. Time

Phelan, David. (2018). Jony Ive Interview: Apple Design Guru on How He Created the New iPad and The Philosophy Behind ItIndependent.

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation