Awal peralihan nama RIM menjadi BlackBerry – yang menunjukkan semangat perusahaan ini untuk melakukan ‘balas dendam’ atas menurunnya pangsa pasar ponsel mereka secara drastis sejak diperkenalkannya iOS dan Android, seorang wartawan Time berhasil mewawancarai seorang eksekutif yang tidak mau disebut namanya. “Apakah benar kemunduran RIM adalah akibat RIM tidak mau mendengarkan suara konsumen?”
Sang eksekutif mengernyitkan dahi menatap wartawan itu, “Itu benar-benar omong kosong!”
“Tapi…”
“Biar kujelaskan padamu anak muda. Konsumen mengeluh bahwa ‘kami ingin browser yang lebih cepat’ – Tapi kami tahu, mereka tidak ingin membayar biaya data yang lebih mahal. Konsumen mengeluh ‘kami ingin layar 10 inci yang responsif’ – Tapi kami tahu, mereka tidak akan mau perangkatnya mati sebelum makan siang. Jelas bukan? Ini bukannya kami bukan tidak mendengarkan suara konsumen, tapi kami tahu yang lebih baik untuk mereka!”
Lima tahun setelah wawancara tersebut, OS BlackBerry dinyatakan dihentikan dukungannya, dan perusahaan yang sempat jaya di kalangan Enterprise ini tertatih-tatih ikut menggunakan Android agar tetap relevan di pasar.
2011: Sebuah Titik Balik
Pada tanggal 9 Agustus 2011, kapitalisasi pasar Apple melonjak hingga USD 341,5 miliar, sedikit melebihi Exxon, sehingga pagi itu Apple menjadi perusahaan dengan nilai tertinggi di dunia. Empat belas tahun sebelumnya menurut Michael Dell, perusahaan ini tidak memiliki harapan. Namun Apple telah membuktikannya. Steve Jobs yang saat itu berjuang menghadapi penyakitnya, tersenyum cerah menyaksikan ini. Sementara itu, nilai Microsoft menyusut sebesar 40 persen. Efek berantai setelah tertinggal di bidang pencarian, kemudian musik digital, dan juga smartphone. Apple dan Google benar-benar berkali-kali menghajar Microsoft.
September 2011, menanggapi hal ini, Microsoft mengadakan rapat besar. Steve Ballmer berbicara berapi-api di hadapan 20 ribu karyawan Microsoft. Namun wajah-wajah mereka nampak lelah, beberapa orang berdiri dari kursi dan meninggalkan ruangan. Mereka tidak puas dengan strategi cloud computing baru Microsoft, pergerakan saham yang lamban dan rendahnya semangat pimpinan mereka. Windows 8 yang saat itu baru diluncurkan juga mendapat tanggapan negatif publik. Untuk pertama kalinya Microsoft merasa dalam tekanan, bahkan di bidang yang mereka kuasai sendiri: Operating system.
Dalam perang smartphone, tahun ini benar-benar menunjukkan apa yang akan terjadi beberapa tahun setelahnya. Google memenangkan dominasi dengan Android menguasai lebih dari separuh pangsa pasar smartphone, tapi Apple memenangkan profit. Tidak ada yang mampu mengumpulkan uang sebanyak Apple berkat margin penjualan iPhone yang dahsyat. Sementara itu Microsoft meskipun menaruh harapan besar pada sistem mobile miliknya: Windows Phone, namun jelas developer susah diajak bekerja sama dengan ekosistem ini. Microsoft masih kaku akibat kejayaan masa lalunya. Mereka mengenakan biaya tinggi pada developer untuk bisa menjadi ‘bagian developer Windows Phone’, yang mana untuk Android, hal itu hampir gratis, sementara di iPhone – tawaran Apple dengan subsidi dan peluang keuntungan dari keuntungan terjualnya aplikasi sangat menggiurkan.
Manufaktur Bergerak ke Timur
Jika dunia barat membangun OS, maka dunia timur adalah yang membangun hardware-nya. Sejak awal nama-nama perusahaan yang mendapatkan cipratan keuntungan dari booming-nya Smartphone berasal dari ‘Timur’. Di angkatan awal ada HTC (Taiwan), Samsung (Korea Selatan), dan LG (Korea Selatan). Samsung dan LG menjadi perusahaan yang meraih keuntungan finansial paling tinggi dari manufaktur smartphone. Bukan saja dari perangkat yang diproduksinya untuk konsumen, akan tetapi karena kedua perusahaan ini mampu menjadi penyuplai komponen untuk manufaktur smartphone lainnya. Namun seiring 2011 menjadi titik balik bagi pangsa pasar OS, yang mengarah ke makin dominannya Android dan iOS, tahun ini juga menjadi titik balik bagi manufaktur smartphone.
Agustus 2011, sebuah perusahaan antah berantah, Xiaomi yang secara harfiah berarti ‘beras kecil’, merilis produk smartphone pertamanya. Tahun setelahnya, Xiaomi adalah badai yang memporakporandakan industri smartphone. Perusahaan ini memproduksi smartphone berkualitas unggul dan meyakinkan, dengan harga yang luar biasa murah. Margin keuntungan yang begitu mepet, jelas Xiaomi mengincar penjualan massal untuk mendapatkan profit.
Formula ‘murah tapi bagus’ ini seolah menarik manufaktur Tiongkok lainnya. Apalagi mereka bermain di segmen Android yang terkenal dengan citranya: ‘Makin tinggi spek, makin bagus’. Tentu saja mendapatkan perangkat berspek tinggi dengan harga murah menjamin kelancaran experience Android. Efeknya, pasar dibanjiri produk dari manufaktur asal Tiongkok yang mampu menyediakan hal tersebut. Samsung dan LG, dua raksasa Korea yang disebut-sebut sebagai ‘yang terkemuka’ dari manufaktur smartphone (dan komponennya) bahkan menghadapi tekanan dahsyat dari para produsen asal Tiongkok ini.
Bagan akhir tahun 2016 bahkan menunjukkan daftar sepuluh besar produsen smartphone dunia didominasi oleh produsen asal Tiongkok. Samsung memang masih mendominasi pasar Android, namun pergeseran pangsa pasar produk ke Tiongkok ini terlihat jelas dan tidak dapat diabaikan.
Kejayaan manufaktur Tiongkok ini mungkin banyak dicibir oleh para pengamat teknologi. Banyak yang menyebut bahwa mereka ‘mengutamakan pemasaran dibandingkan Research & Development‘. Namun fakta sebenarnya tidak hitam putih seperti itu. Huawei, vendor terbesar nomor tiga dalam hal penjualan perangkat smartphone, memiliki banyak inovasi untuk seri perangkatnya. Mereka meneruskan tren dual camera yang dipelopori HTC, didukung oleh sertifikasi Leica. Xiaomi, sang badai ‘smartphone murah’ menciptakan tren ‘layar penuh’ pada smartphone yang sebelumnya diawali oleh Sharp!
Fakta ‘manufaktur bergerak ke Timur’ ini makin tampak karena Apple sendiri, produsen smartphone terbesar nomor dua di dunia, menggantungkan sepenuhnya produksi iPhone dan iPad miliknya ke sebuah manufaktur di Tiongkok: Foxconn.
Windows Mobile Melempar Handuk
Satya Nadella sempat menunjukkan secercah harapan dengan sebuah ide yang brilian. Pada tanggal 12 Februari 2015, Microsoft mengumumkan versi beta Windows 10 Mobile dan Universal Windows Platform (UWP). Idenya sederhana tapi efektif: Dengan mengubah platform aplikasi ke UWP, developer akan dapat dengan mudah mengonversi aplikasi untuk dijalankan di Windows 10, sekaligus ke Windows 10 Mobile. Target Microsoft jelas, mereka menginginkan dominasi di pasar PC ‘ditularkan’ ke mobile. Setelah pengumuman itu, Microsoft jor-joran mendukung dan mempromosikan ide ini. Setahun setelahnya, Microsoft mengakuisisi Xamarin dan menghadirkan bash Linux ke Windows – Sebuah ide yang menarik bagi developer. Tidak dapat dipungkiri bahwa Microsoft berupaya optimal untuk meningkatkan minat developer mengembangkan aplikasi bagi platform mobile.
Sayangnya, ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Developer tetap kurang menunjukkan minat untuk mengembangkan aplikasi bagi platform yang memiliki banyak penggemar fanatik tersebut. Tidak adil memang jika menyatakan Microsoft ‘tidak total’ dalam mendukung platform mobile-nya. Sebagai perbandingan: platform mobile Apple (iPhone dan iPad) adalah pendapatan utama mereka, platform mobile Google (Android) mendukung dominasi mereka di search engine, sementara itu Windows Mobile bahkan hampir tidak mendatangkan pemasukan bagi Microsoft. Divisi keuangan bahkan harus susah payah memutar otak mengakali perputaran uang ini sebelum akhirnya Satya Nadella merelakan akuisisi Nokia sebesar USD 8 miliar dihapus dari pembukuan. Jelas Microsoft tidak ingin bertaruh terlalu besar untuk platform yang bukan aliran uang utama mereka. Satya sebelumnya adalah pemimpin divisi Cloud, dan Cloud menunjukkan keuntungan yang signifikan tahun demi tahun. Hal paling positif sejak diangkatnya Satya Nadella sebagai CEO Microsoft adalah: Microsoft kini bersama Amazon adalah perusahaan dengan produk Cloud yang paling banyak digunakan di dunia (tentu saja juga paling banyak mendatangkan keuntungan). Jika ada ‘Perang Suci’ ala Microsoft, itu bukanlah di lahan mobile, melainkan di Cloud dengan Amazon.
8 Oktober 2017, setelah fans lama lelah menuntut kejelasan Microsoft akan keseriusan mereka di platform mobile, Joe Belfiore, Corporate Vice President in the Operating Systems Group, memberikan sebuah jawaban yang gamblang mengenai Windows Mobile melalui akun Twitternya.
(1/2) Depends who you are. Many companies still deploy to their employees and we will support them! … https://t.co/LKQBL3w7gA
Joe Belfiore (@joebelfiore) October 8, 2017
(2/2) As an individual end-user, I switched platforms for the app/hw diversity. We will support those users too! Choose what’s best 4 u. https://t.co/LKQBL3w7gA
Joe Belfiore (@joebelfiore) October 8, 2017
We have tried VERY HARD to incent app devs. Paid money.. wrote apps 4 them.. but volume of users is too low for most companies to invest. ?? https://t.co/ePsySxR3LB
Joe Belfiore (@joebelfiore) October 8, 2017
Semenjak penjelasan Belfiore tersebut, petinggi Microsoft yang lain perlahan mulai bersedia menyatakan dengan lebih jelas bahwa ‘Windows 10 Mobile bukanlah fokus utama mereka’. Ini hal yang sangat wajar mengingat pangsa pasar mobile mereka yang sudah hampir nol. Microsoft telah melempar handuk dan beralih fokus ke lahan teknologi lain yang diharapkan akan menjadi landasan pembangun masa depan.
Referensi
Arthur, Charles. (2013). Digital Wars Apple, Google, Microsoft, dan Pertempuran Meraih Kekuasaan atas Internet. PT. Elex Media Komputindo
Gibbs, Samuel. (2016). The secret smartphone war over the struggle for control of the user. The Guardian.
Gilbert, David. (2015). How China Became A Smartphone Powerhouse: Huawei, Xiaomi, ZTE set to Challenge Apple Inc, Samsung. IbTimes.
McCracken, Harry. (2013). The Inside Story of The Collapse of BlackBerry. Time.