“Saya tahu bahwa ada banyak emosi seputar keputusan berat yang harus saya buat,” ujar Stephen Elop yang saat pernyataan tersebut ditulis sudah berstatus ‘mantan’ CEO Nokia. ‘Wawancara’ ini dimuat di sesi “Ask Me Anything” di website Nokia. “Pada akhir 2010 dan 2011 yang lalu, kami dengan cermat menilai keadaan operating system Nokia. Sayangnya, kami tidak dapat melihat apakah Symbian bisa lebih kompetitif untuk bersaing dengan iPhone yang sudah diluncurkan TIGA tahun lebih awal! Dan upaya MeeGo jelas akan terlambat secara signifikan, lagipula kita tidak bisa menjanjikan bahwa ekosistem ini akan memberikan Nokia kesempatan guna bersaing kembali.”
Keputusan Elop untuk meninggalkan Symbian dan MeeGo memang kontroversial. Namun mungkin kita dapat memakluminya dengan melihat situasi di hari-hari pertama Elop bekerja.
Warisan Kallasvuo
Olli-Pekka Kallasvuo meninggalkan sebuah organisasi dengan tiga divisi korporat: smartphone, feature phone, dan layanan, bersaing untuk mendapatkan sumber daya, kekuasaan, dan perhatian. Unit smartphone mungkin memerlukan dukungan dari unit layanan, tapi tidak banyak, apalagi mereka adalah pembayar terbesar (divisi layanan) setelah pelanggan eksternal.
Portofolio produk perusahaan ini juga luar biasa luas. Strategi tersebut berjalan dengan lancar saat bisnis masih berkembang, bahkan meskipun hanya sebagian kecil perusahaan yang berhasil, produk-produk yang terjual dengan baik tersebut sudah cukup untuk memberikan keuntungan yang sangat besar bagi Nokia. Namun pada tahun 2010, rentang produk yang luas itu justru menjadi beban! Perusahaan memiliki sejumlah besar produk yang tidak terjual dengan baik. Volume penjualan yang tinggi selama ini benar-benar membutakan. Perhatian berfokus pada fakta positif bahwa perusahaan berhasil menjual 400 juta ponsel setiap tahunnya, bahkan meskipun mayoritas penjualan tersebut hadir dari ponsel ‘dasar’ seharga hanya 30 Euro yang tidak memiliki dampak besar terhadap keuntungan perusahaan. Penundaan rilis ponsel yang terjadi secara konstan ikut meningkatkan beban. Purwarupa ponsel tersebut sebenarnya berhasil diselesaikan cepat oleh R&D Nokia, sayangnya penyelesaian dan pengujian makan waktu sangat panjang. Mungkin ini keunikan kultur Eropa, khususnya Nokia. Mereka sangat jarang bersedia merilis ponsel yang masih dirasa kurang sempurna. Waktu manajemen habis hanya untuk memenuhi detail-detail minor seperti penyesuaian perangkat lunak dan hal remeh temeh lainnya. Sementara itu mereka tidak sadar bahwa teknologi ponsel mengalami revolusi dengan sangat cepat dan dahsyat.
Ini merupakan situasi paling buruk bagi pencetak uang terbesar perusahaan: smartphone ber-OS Symbian. Dengan 6 juta baris kode, platform software ini menjadi tidak tertangani. Divisi hardware seolah ‘berperang’ dengan divisi software (Symbian). Waktu, uang, dan sumber daya mental seolah habis untuk mengolah Symbian yang sudah dianggap ketinggalan zaman tersebut untuk setiap produk. Ada banyak produk dengan OS ini yang kesusahan untuk diperbarui. Perusahaan ini juga kesulitan untuk menyesuaikan biaya perawatan software yang mahal ini dengan harga ponsel. Inilah yang menjadikan Nokia semakin lama semakin kesulitan. Analis menyebut bahwa di luar citranya sebagai pembuat ponsel yang sukses, Nokia merupakan perusahaan yang rapuh dibandingkan kompetitornya dari Korea: Samsung, yang mana merupakan konglomerat teknologi dengan berbagai macam tipe perangkat elektronik selain ponsel. Mereka tidak terdampak oleh perlambatan penjualan ponsel (jika misalnya terjadi).
Sebagai perusahaan besar, Nokia juga terlalu meremehkan perkembangan perusahaan lain. Saat Apple merilis iPhone generasi pertama, Nokia memang memandang produk ini sebagai saingan ponsel high end miliknya. Tapi mereka memiliki percaya diri yang besar bahwa iPhone tidak akan mengganggu pasarnya. Sementara itu, pengembangan Android malah dipandang sebelah mata oleh Nokia. Jyri Engestrom, pemilik layanan jejaring sosial dan microblogging, Jaiku, mengisahkan bahwa saat Google mengembangkan Android, Nokia sama sekali tidak peduli. Mereka beranggapan bahwa tidaklah mungkin satu tim Google bisa mengalahkan ratusan Engineer milik Nokia yang menangani Symbian.
Stephen Elop mewarisi sebuah organisasi raksasa yang rumit dan sedang menukik ke bawah.
Platform dan Ekosistem
Elop memandang bahwa pilihan platform dan ekosistem Nokia merupakan hal yang perlu diperbaiki terlebih dahulu. Orang Finlandia sudah ‘kenyang’ dijejali fakta bahwa Symbian adalah OS yang medioker. Sementara itu, sebenarnya sudah ada upaya untuk memperbaiki ini dengan merilis MeeGo.
Sebenarnya jika menengok kembali pada sejarah, penting bagi sebuah perusahaan untuk mengembangkan OS-nya sendiri. Apple mengembangkan iOS, dan memperoleh profit darinya. Google – meskipun dengan cara yang berbeda – mendapatkan profit dari Android. Symbian sendiri, dalam sejarahnya adalah hasil pengembangan dari Ericsson, Panasonic, Motorola, Nokia, dan Psion pada tahun 1998. Pada saat itu, Windows memiliki dominasi yang hampir berupa monopoli. Pemain industri PC seperti Dell, Compaq, dan lainnya merasa bahwa keuntungan mereka susut akibat harus membayar lisensi. Ini menimbulkan ide untuk mengembangkan OS sendiri bagi ponsel, dan ternyata mereka sukses besar.
Masalah mulai timbul karena Symbian membedakan antara UI dan inti OS. Karena banyak perusahaan yang menggunakan Symbian, Ericsson harus membuat UI yang berbeda dengan Nokia, dan demikian juga perusahaan lainnya. Ini juga berpengaruh pada pengembangan aplikasi karena pengembang harus membuat versi UI yang berbeda antara aplikasi yang diberikan kepada Nokia dan perusahaan lainnya. Ini menjadikan prosedur pengembangan sangat lambat. Masalah tersebut tidak dialami oleh Apple yang UI dan OS-nya menjadi satu sehingga tidak menyusahkan bagi developer untuk mengembangkan aplikasi di ekosistem iOS.
Pemikirannya berbeda di markas besar Keilaniemi milik Nokia. Raksasa Finlandia ini masih mempercayai kuda perang tuanya dengan pengembangan touch screen yang berbeda, struktur menu yang kompleks dan berbeda, sehingga semakin lama lapisan demi lapisan pengembangan ini menimbulkan beban besar bagi Nokia.
Alternatif Symbian ini hadir dalam jalur yang mirip dengan Android. Sekelompok Engineer Nokia mendapati bahwa Linux besutan Linus Torvald ternyata bisa dipasangkan di smartphone! Meskipun menemui banyak hambatan, proyek ini berhasil diselesaikan dan akhirnya diberi nama Maemo. Nokia kemudian melakukan langkah yang monumental. Mereka bermitra dengan Intel untuk kemudian mengganti nama Maemo menjadi Meego!
Sebenarnya ini merupakan tim impian. Intel membuatkan chip, sementara Nokia menciptakan hardware dan mendukung pengembangan OS. Namun pada praktiknya, ternyata kerjasama mereka makan biaya besar. Intel kesulitan untuk membuat chip yang mampu menangani pemrosesan berdaya besar dengan konsumsi daya rendah. Sementara itu sudah ada Qualcomm yang memproduksi chip dengan daya rendah. Ini menjadikan Nokia seolah didesak oleh deadline, sementara Intel tidak menyukai hal tersebut. Apalagi smartphone memang bukan keahlian mereka.
Ini diperparah dengan situasi pengembangan OS yang tidak sesuai harapan. Pada saat Nokia merilis layanan OVI Store yang susah payah mereka kembangkan dengan dukungan developer yang kuat, terjadi masalah di mana para pengguna kesulitan mengakses OVI Store, meskipun sudah memasukkan ID dan password yang benar. Pengguna pun pelan-pelan menjadi hilang minat terhadap aplikasi di OVI Store, dan developer juga semakin malas mengembangkan aplikasi yang minim minat penggunaannya.
Euforia awal kepemimpinan Elop
Stephen Elop pertama kali masuk kerja secara resmi di Nokia pada tanggal 21 September 2010. Dia ikut serta dalam rapat yang sudah dipesan oleh Kallasvuo. Setelah datang ke Finlandia, Elop mulai berkenalan dengan para personel Nokia. Semua orang larut dalam pesonanya. Elop menunjukkan penghormatan dan minat yang besar terhadap para karyawan Nokia. Dia hafal nama orang-orang penting dan wajah-wajah mereka, serta menunjukkan respek yang tinggi. Sejak awal kedatangannya, Elop seakan memancarkan energi positif yang menakjubkan. Semua orang spontan mendukung keputusan dan membenarkan apa yang dikatakannya. Jorma Ollila, Ketua Dewan Direksi Nokia, mengatakan bahwa “seorang Kanada sepertinya lebih cocok dengan Nokia daripada orang Amerika”. Semua orang di Nokia mengamini pernyataan itu. Orang-orang Finlandia dengan segera memanggil Elop dengan nama yang lebih ‘bercitarasa Finlandia’: Seppo Elo.
Kabar baik ini menyebar hingga ke luar Nokia. Untuk pertama kalinya seseorang dengan level CEO bersedia berbicara dengan karyawan kelas rendahan Nokia di pabrik-pabrik. Elop tidak menutupi hal-hal buruk di Nokia. Dia menyampaikan kondisi Nokia saat ini kepada para karyawan. “Ini saatnya untuk lebih transparan kepada para pekerja. Mereka juga merupakan ‘pemilik’ Nokia.” Demikian ujar Elop.
Pada hari pertamanya bekerja, Elop mengirimkan email kepada setiap karyawan Nokia. Dalam email tersebut, dia meminta kepada orang-orang untuk memberikan jawaban atas tiga pertanyaan:
Apa yang kalian inginkan untuk saya ubah?
Apa yang kalian inginkan untuk tidak saya ubah?
Apa yang menurut kalian saya lewatkan?
Elop berjanji untuk menindaklanjuti komentar-komentar dari karyawan tersebut tanpa memandang jabatan mereka. Ini ditanggapi positif oleh para eksekutif lainnya. “Untuk pertama kalinya, saya merasa bahwa kita bisa bersama-sama menyingsingkan lengan baju dan menang besar!”
Tidak berapa lama menjabat, mulai terlihat kecondongan Elop terhadap Microsoft. Ikuti di serial Silicon Valley selanjutnya Kisah Silicon Valley #46 Microsoft Mengetuk Pintu.
Referensi:
Nykanen, Pekka & Salminen, Merina. (2015). Operatioo Elop. Nokian matkapuhelinten viimeiset vuodet.