Ada satu cerita yang jarang diliput oleh media. Steve Jobs pernah ‘memantau’ seorang developer muda berbakat, Drew Houston. Jobs meminta Apple memastikan agar Houston masuk ke jajaran karyawan Apple. Apalagi pada saat itu Apple sedang sibuk-sibuknya karena baru saja merilis sebuah smartphone yang merevolusi dunia ponsel: iPhone. Apa yang menjadikan Houston istimewa? Developer muda ini merilis sebuah aplikasi, yang mana menjadi andalan startup yang baru didirikannya, dengan briliannya aplikasi ini melakukan reverse-engineer terhadap sistem file Apple sehingga ketika diinstal, aplikasi ini berperilaku selayaknya sebuah ‘file manager’ atau ‘explorer’ yang memungkinkan pengguna menyimpan dan mengakses file ke aplikasi tersebut dengan nyaman seperti layaknya aplikasi native Apple sendiri. Tidak ada satu pun orang di jajaran developer elit Apple yang mampu melakukan itu!
Pada tahun 2009, Steve Jobs mengundang Houston dan mitranya, Arash Ferdowsi untuk sebuah pertemuan di Cupertino. Karena tidak tahu menahu untuk apa undangan tersebut, Houston menyiapkan presentasi untuk memamerkan hasil karyanya pada CEO dan pendiri Apple tersebut. Namun saat dia menghadapkan laptop ke arah Jobs untuk melakukan demo, Jobs menggerakkan tangannya memberi isyarat untuk menyingkirkan laptop tersebut, “Tidak perlu.. Aku tahu pekerjaan yang kau lakukan,”
Masa kecil Houston
Drew Houston dilahirkan pada tahun 1983. Kecintaannya pada teknologi menurun dari ayahnya yang merupakan Sarjana Teknik Listrik dari Harvard. Sang ayah membelikan sebuah PC yang digunakan oleh Drew kecil untuk mengutak-atik program BASIC yang saat itu sedang tren (Trivia: orang yang menulis kode untuk program BASIC adalah pendiri Microsoft, Bill Gates). Ini menjadikan Drew keranjingan komputer, dan bahkan ketika bermain game, dia selalu mencari cara untuk bisa melihat ‘nalar’ di balik game tersebut, bahkan jika memungkinkan, memahami kode program yang ditulis.
Setelah lulus dari Acton Boxborough Regional High School, Drew Houston melanjutkan ke Massachussetts Institute of Technology, Universitas paling bergengsi di seluruh Amerika (bahkan mungkin dunia) untuk hal teknologi! Dia lulus dengan nilai tinggi di jurusan Computer Science. Di MIT, dia juga bertemu dengan Arash Ferdowsi. Mereka berdua menjadi sobat karib dan nantinya mendirikan sebuah startup bersama: Dropbox!
Masuk ke MIT jelas menjadikan Drew Houston idola di SMA-nya. Guru-gurunya sangat membanggakan Houston dan selalu mengundangnya jika ada kesempatan untuk memberikan tips dan motivasi kepada juniornya untuk mengikuti jejaknya masuk ke universitas teknik bergengsi tersebut. Namun Drew melakukan lebih dari itu! Dia menggagas sebuah program latihan untuk siswa-siswa SMA-nya yang berminat agar dapat belajar dan meraih nilai sempurna di tes masuk perguruan tinggi yang disebut SAT.
Ketika lulus dari MIT, Houston mengajukan permintaan kepada guru-gurunya untuk menjual program latihan SAT miliknya melalui perusahaan yang sedang dirintisnya. Sayangnya, permintaan ini ditolak oleh Acton Boxborough Regional High School. Dengan halus mereka memohon agar Houston merelakan program ini untuk SMA-nya, karena ini akan digunakan untuk membantu para pelajar yang ingin mencapai prestasi seperti Houston. Alasan ini bisa diterima, dan Drew Houston merelakan program yang dituliskan tersebut untuk Acton Boxborough Regional High School.
Mendirikan Dropbox Diilhami dari ‘Masalah’ Pribadi
Saat naik bis dari Boston ke New York, Houston baru saja menyadari bahwa flashdisk berisi file yang dibutuhkannya tertinggal di rumah. Ini bukan pertama kalinya, namun ini menjadikannya sangat stres karena akan menghadapi rapat yang penting di New York sementara flashdisk itu berisi data yang harus disiapkannya. “Saya sangat frustasi.. Karena ini terjadi berulangkali,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan Business Insider. “Dan Demi Tuhan… Saya tidak pernah ingin mengalami ini lagi. Akhirnya saya menulis sebuah kode yang memungkinkan saya untuk menyimpan file dan mengaksesnya dari mana saja. Waktu itu saya belum ada gambaran rinci akan jadi apa program ini.”
Pada tahun 2005, Houston mengajukan ide ini serta ingin menyertakan perusahaan rintisannya dalam kelompok perusahaan Y Combinator. Ini adalah semacam induk startup yang menaungi banyak startup dan membantu mempercepat pertumbuhan perusahaan-perusahaan lain di Amerika. Paul Graham, salah seorang pendiri Y Combinator, mengatakan kepada Houston bahwa ide tersebut brilian, tapi dia menyarankan Houston untuk mencari mitra pendiri.
“Paul mengatakan kepada saya bahwa saya memerlukan co-founder. Dia berpendapat bahwa saya adalah orang yang agak emosional dan memerlukan penyeimbang untuk dapat saling mendukung. Saya menerima masukan ini dan langsung melaksanakannya.” Ujar Houston dalam wawancaranya dengan Business Insider.
Tidak perlu menunggu lama, Aresh Ferdowsi, sobatnya di MIT langsung menyatakan ingin menjadi co-founder dari startup yang didirikan Houston. Ini bahkan sebelum Houston sempat memintanya langsung. Saat itu, Ferdowsi masih belajar di MIT, namun setelah bercakap-cakap dengan Houston beberapa jam dan membahas visi perusahaan rintisan mereka, Ferdowsi mengambil keputusan radikal: Dia dropout dari MIT!
“Ini seperti langsung menikah setelah kencan kedua,” ujar Houston dalam wawancaranya. “Ini terasa liar bagi kami karena kami berdua harus berbicara dengan orang tua Aresh, dan entah bagaimana caranya meyakinkan mereka bahwa ini adalah keputusan yang baik, dan kami akan benar-benar menghabiskan sebagian besar jam kerja kami untuk masa depan yang jelas terlihat dan kami rancang sendiri. Satu hal yang saya kagumi dari Aresh, dia tanpa ragu langsung ‘melompat’ masuk.” Houston tertawa mengenang masa-masa itu.
Keberuntungan seakan menaungi Houston dan Ferdowsi. Saat melakukan presentasi tentang idenya, salah satu orang yang tertarik adalah Michael Moritz, Chairman Sequoia Capital, perusahaan investor yang memiliki reputasi ‘dewa’ di kalangan perusahaan teknologi karena kejelian mereka melihat peluang. Steve Jobs dan Elon Musk adalah sedikit di antara orang yang selalu mendapatkan sokongan dana investasi dari Sequoia Capital. Moritz mengundang Houston untuk mampir ke apartemennya guna merundingkan skema investasi dari Sequoia Capital. Houston tentu saja menyambar kesempatan emas ini dan langsung menyetujui sebagian besar penawaran Moritz.
Ketika ditanya mengenai keberhasilannya menarik perhatian Michael Moritz, Houston menggambarkannya sebagai berikut, “Ini seperti menekan tombol refresh di komputer dan menyaksikan saldo saya berubah dari USD 60 tiba-tiba menjadi USD 1,2 juta!”
Menerima sokongan dana dari investor legendaris Silicon Valley tidak menjadikan Houston dan Ferdowsi jumawa. Mereka bahkan menangani produknya dengan sangat hati-hati. Dropbox justru baru merilis produk tahun 2008, setahun lebih lama dari jadwal sesungguhnya: 2007.
“Produk ini harus diarahkan dengan benar,” ujar Houston saat ditanya mengenai alasan kelambatan penerbitan produknya.
Buku yang populer pada tahun itu, “Guerilla Marketing“, sangat memengaruhi konsep pemasaran Dropbox. Houston menyebarkan sebuah video demo yang menarik kepada kalangan penggemar teknologi, serta mengajak mereka berpartisipasi sebagai beta-tester untuk produk ini. Selain itu, saat merilis produk, Houston juga menawarkan sebuah program referral, dalam artian pengguna Dropbox yang berhasil mengajak teman lainnya untuk ikut menggunakan Dropbox, akan mendapatkan jatah storage gratis tambahan. Kedua hal ini sangat berperan besar dalam ‘meledakkan’ jumlah pengguna Dropbox yang dalam beberapa bulan rilis awalnya saja langsung meraih beberapa ratus ribu pengguna!
Sambungan kisah pembuka di atas: Jobs selanjutnya meminta Houston untuk menjual produknya kepada Apple, kalau perlu beserta startupnya sekalian. “Steve benar-benar menakutkan waktu itu,” Houston tertawa. “Dia mengatakan bahwa kami adalah sebuah ‘fitur’, bukan ‘produk’, dan kami pasti akan merugi kalau mempertahankan konsep ini.”
Houston menghela napas, “Kami menolak tawaran itu…”
Ketika ditanya bagaimana reaksi Jobs terhadap penolakan tersebut, Houston terdiam agak lama sebelum bercerita, “Saat itu Steve seperti mengisyaratkan ‘tidak apa-apa kau menolak kami, tapi sepertinya kami harus membunuhmu karena itu’ – tidak persis seperti itu, tapi itu jelas sekali tersirat.”
Bagaimana kelanjutan perjuangan Dropbox yang kemudian menjadi salah satu layanan cloud storage terkemuka yang bahkan tidak goyah digempur para raksasa Silicon Valley? Baca kelanjutannya di Kisah Silicon Valley #84 – Dropbox: Yang Terbaik Terus Maju Tanpa Gentar.
Referensi
Barret, Victoria. (2011). Dropbox: The Inside Story of Tech’s Hottest Startup. Forbes.
Bernard, Zoe. (2018). The rise of Dropbox CEO Drew Houston, who just made the Forbes 400 after taking his company public. Business Insider.
Wohlsen, Marcus. (2013). Inside Dropbox Quest to Burry the Hard Drive. Wired.