We needed to build deeper empathy for our customers and their unarticulated and unmet needs. It was time to hit refresh.
Saat Satya Nadella menyatakan bahwa Microsoft perlu mengembangkan ’empati yang lebih dalam’ terhadap pelanggan, saya baru menyadari bahwa yang dia maksudkan ternyata adalah ‘pelanggan’ Enterprise, bukan sebagian besar konsumen akhir seperti kita semua – Setelah Joe Belfiore memperjelas nasib perangkat Windows Mobile. Ya, Microsoft memutuskan untuk tidak lagi mengembangkan OS ini, dalam artian tidak akan ada penambahan fitur dan perangkat Windows Mobile lagi – Meskipun masih ‘melaksanakan kewajiban’-nya dengan memberi support perangkat Windows Mobile hingga tahun 2020 mendatang.
Kenapa saya mengaitkannya dengan konsumen akhir vs Enterprise? Ini karena fakta sederhana bahwa produk ponsel sebagian besar diperuntukkan bagi pengguna akhir sedangkan ‘mainan’ Microsoft yang lebih mendapat perhatian sepertinya adalah Cloud (lewat Azure utamanya) dan infrastruktur untuk Enterprise berupa perangkat server beserta support OS-nya. Saya bisa memaklumi bahwa Microsoft jelas berusaha ‘memotong’ unit bisnis yang merugi dengan meningkatkan fokus pada ‘jualan’-nya yang lebih menguntungkan. Namun saya khawatir ini akan memberikan pesan yang ‘salah’ kepada konsumen akhir secara luas, bahwa Microsoft tidak mempedulikan userbase-nya yang terikat dengan Microsoft bukan karena hubungan bisnis semata (Enterprise). Apalagi produk seperti Xbox, Windows Mobile, Surface, dan Zune – Sebenarnya merupakan ‘kampanye’ Microsoft untuk menunjukkan bahwa mereka juga memperhatikan konsumen. Hilangnya minat Microsoft terhadap Windows Mobile seakan mengonfirmasi sikap mereka yang lebih mengutamakan Enterprise ketimbang konsumen. Lalu saya tergoda untuk menelaah: Mungkinkah sebuah perusahaan mengabaikan End user dan hanya berfokus pada kalangan Enterprise?
Hitung-Hitungan Bisnis Dibalik Keputusan ‘Tidak Meneruskan’ Windows Mobile
Konon menurut laporan keuntungan terakhir Microsoft, 20% keuntungan Microsoft berasal dari bisnis cloud sedangkan 60% seperti biasa dari software-nya, mencakup Windows dan Office. Cloud semakin menjadi anak emas setelah per 1 Juni 2017, bisnis Cloud Microsoft mendatangkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan AWS (Amazon) yang sudah lama bertahta di puncak bisnis Cloud. Ini menjadi justifikasi bagi Microsoft untuk lebih mencurahkan resource mereka ke Cloud dan Software.
Apakah keputusan ini salah? Sepertinya tidak. Apple sendiri terlihat lebih fokus pada iPhone-nya yang jelas-jelas mendatangkan keuntungan luar biasa dibandingkan dengan bisnis ‘asli’ Apple – Mac Computer.
Lalu kenapa Microsoft berada dalam ancaman imej yang lebih buruk dibandingkan Apple? Seperti judul bukunya, Nadella kelihatannya terlalu sering menekan tombol Refresh. Pengguna perangkat Microsoft sering merasakan siklus penggunaan perangkat yang seperti ‘restart’ – Memulai dari awal lagi. Dalam lingkup raksasa teknologi, Microsoft mungkin bukan satu-satunya yang melakukan itu. Google juga sering melakukan hal yang sama, namun mengapa reaksi terhadap Google tidak seheboh saat Microsoft melakukannya (menghentikan layanan tertentu dan berganti platform)? Jawabannya klise: Banyak yang mengharapkan Microsoft mampu melakukan lebih baik dari itu.
Enterprise vs End User
Kedua tipe konsumen ini memiliki karakter yang sangat berbeda. Pengguna Enterprise cenderung enggan berubah, menghargai stabilitas, reliabel, dan mereka bersedia membayar untuk mendapatkan semua kebutuhannya. Pengguna Enterprise kebanyakan lebih menyukai hubungan jangka panjang yang stabil.
Konsumen end user atau pengguna umum jauh lebih dinamis. Mereka bergerak sesuai tren, dan ini cepat sekali berubah. Mengikuti konsumen end user memang seperti roller coaster tanpa akhir. Tapi jumlah mereka sangat besar. End user adalah pasar sangat cocok untuk menjual sesuatu yang umurnya singkat dan dalam jumlah massal.
Kebanyakan perusahaan berupaya ‘memenangkan hati’ kalangan end user terlebih dahulu sebelum ‘bermain’ di kalangan enterprise. Microsoft mungkin sudah melakukannya dulu saat Bill Gates masih menjabat sebagai CEO. Mereka mampu menghadirkan solusi terjangkau untuk kebutuhan komputer masyarakat, hingga Bill Gates hampir mampu mewujudkan mimpinya untuk meletakkan satu unit Personal Computer di setiap rumah tangga. Kalau kini Microsoft terlihat ‘lebih memprioritaskan’ kalangan korporat, tentu saja ini merupakan sebuah keputusan bisnis yang matang dan buah dari perjuangan mereka dulu.
Seperti yang saya sebut sebelumnya, konsumen korporat lebih menyukai kerjasama jangka panjang, stabil, dan lamban berubah. Tentu saja ini menjamin stabilitas keuangan Microsoft dalam jangka panjang. Berbeda dengan ‘bermain’ di tingkat end user yang kemungkinan setelah perubahan tren bisa saja meninggalkan produk yang digunakan hari ini. Sebagai perbandingan, baik Apple, Google, maupun Facebook juga tengah berusaha mendapatkan pangsa pasar dari pelanggan korporat ini. Hanya saja solusi yang mereka hadirkan pengaruhnya masih belum sebesar Microsoft.
Apalagi jika menilik pendapatan, konsumen korporat jelas ‘lebih bersedia membayar’ untuk mendapatkan layanan sesuai dengan solusi yang mereka butuhkan. Di tingkat end user peredaran produk Microsoft tidak mendatangkan keuntungan optimal karena banyaknya pembajakan di tingkat pengguna akhir. Tentu saja ini juga menjadi pertimbangan bagi Microsoft untuk lebih menyukai klien korporat.
Mungkinkah Mengandalkan Hanya Klien Korporat?
Kita bisa berkaca pada IBM dalam hal ini. Perusahaan ini adalah raksasa hardware pada tahun 1980-an. Steve Jobs gemas pada mereka dan menjulukinya “Big Blue“, bahkan iklan Apple yang fenomenal di tahun 1984 adalah tentang perlawanan terhadap IBM.
Fast forward tahun 2017, di mana IBM? Mungkin bahkan kamu yang lahir di era milenium jarang sekali mendengar nama tersebut disebut. Padahal di kalangan korporat, nama mereka adalah yang pertama terlintas jika menginginkan solusi terkait perusahaan. IBM tetap ada, dan mereka berfokus pada cloud computing, AI, infrastructure hardware, dan solution consultation terkait perusahaan. Klien mereka hampir seluruhnya adalah korporat, dan neraca keuangan mereka tetap positif. Pada tahun 2006 orang mengira IBM bangkrut saat menjual divisi PC dan laptop mereka kepada Lenovo, padahal itu merupakan dinamika bisnis biasa. IBM tetap sebuah perusahaan besar dengan kuku yang kuat mencengkeram korporat. Namun di mata konsumen akhir, nama perusahaan ini tidak relevan dan jarang terdengar.
Apakah Microsoft sedang menuju ke sana? Saya tidak menyatakan demikian. Microsoft masih memiliki banyak bisnis yang akrab dengan pengguna akhir seperti Xbox dan lini Surface. Saya hanya ingin membuktikan premis bahwa sebuah perusahaan ternyata dapat bertahan – bahkan tetap besar – meskipun hanya mengandalkan klien korporat.
Mungkin sebagai gantinya, perusahaan tersebut harus rela popularitas mereka turun di kalangan pengguna akhir. Harus rela nama mereka jarang disebut di seluruh dunia, padahal mereka tetap berada di sana.
Kesimpulan yang ingin saya tarik dari fakta-fakta tersebut adalah: Microsoft tidak akan semudah itu hancur hanya dengan mengabaikan pengguna akhir. Mereka masih bisa tetap eksis sampai kapan pun, cukup dengan mendapatkan aliran pendapatan yang tepat.
Akankah Sikap Microsoft terhadap Konsumen Akhir Terkait Windows Mobile Memengaruhi Kepercayaan Publik secara Keseluruhan?
Meskipun ‘sudah terjamin’ bahwa Microsoft dalam jangka panjang akan tetap mampu ‘bermain’ dengan mengandalkan pendapatan dari kalangan korporat, tentu saja kebijakan Hit Refresh yang dilakukan berulang kali ini dapat memengaruhi kepercayaan publik. Dengan berulangkali menghentikan suatu produk dan memulai ulang sebuah produk baru, tentu saja ini akan menimbulkan kekhawatiran konsumen korporat juga. Karena seperti yang kita ketahui bersama, konsumen korporat secara perseorangan juga merupakan individu pengguna akhir. Kebijakan Microsoft dapat memengaruhi penilaian terhadap kemampuan Microsoft menjaga stabilitas secara keseluruhan. Perusahaan baru yang belum pernah menjalin kerjasama dengan Microsoft sebelumnya bisa jadi akan melihat track record Microsoft secara umum terhadap konsumen pengguna akhir ini sebelum mengambil keputusan melakukan kerjasama, dan sikap Microsoft tersebut tidak dapat dipungkiri merupakan ‘kampanye negatif’ yang mereka lakukan sendiri.
KESIMPULAN
Lalu apa yang dapat kita simpulkan dari uraian panjang lebar yang saya sampaikan di atas?
Pertama, untuk teman-teman yang mengkhawatirkan kelangsungan bisnis Microsoft secara keseluruhan beserta ekosistemnya, percayalah bahwa mereka masih akan tetap survive, bahkan masih akan tetap besar karena penguasaan mereka terhadap pangsa pasar korporat yang luar biasa dominan.
Kedua, saya tidak memungkiri fakta bahwa keputusan-keputusan Microsoft ini memengaruhi konsumen pengguna akhir secara negatif. Microsoft mengirim ‘pesan’ yang keliru kepada penggemarnya – terutama penggemar platform mobile – bahwa Microsoft tidak serius di platform mobile. Apalagi Nadella juga mengakui bahwa Microsoft akan tetap kompetitif meskipun tanpa platform mobile. Untuk ke depannya, penggemar MS pasti akan lebih banyak pertimbangan jika harus terjun kembali ke platform mobile yang ditawarkan Microsoft di masa mendatang – Jika ada.
Bagaimana pendapat kamu tentang situasi Windows Mobile? Sumbangkan pendapat kamu di kolom komentar.