Kisah Silicon Valley #17 – Perang Musik Digital: Fenomena iTunes dan iPod

via Engadget

Undangan yang dikirimkan oleh Steve Jobs untuk acara di Cupertino tersebut benar-benar mengundang rasa penasaran. Setelah bocor ke publik (tentu saja kemungkinan dibocorkan dengan sengaja untuk publisitas), banyak orang bertanya-tanya tentang ‘perangkat baru’ yang tengah disiapkan oleh Apple ini. Apa dong kalau bukan Mac? Tebakan-tebakan dari para penggemar ini pun mengarah ke berbagai imajinasi liar. Misalnya, kontroler game, perangkat nirkabel dengan dukungan WiFi, handwriting recognizer untuk bisnis, dan banyak lagi. Majalah Wired bahkan membahas prediksi-prediksi ini, lalu mengambil kesimpulan berdasarkan informasi yang mereka miliki… dan salah dengan sukses!

 

Di Belakang Panggung

via Cult of Mac

Steve Jobs menikmati semua kehebohan itu. Dia meyakini bahwa pengungkapan rahasia yang dimiliki oleh para pesulap akan berdampak lebih besar dibandingkan penjelasan yang datar-datar saja. Karena menyasar konsumen secara langsung, Apple bebas melakukan ini. Sementara Microsoft tidak dapat melakukan hal semacam itu seenaknya. Karena berurusan dengan korporat, mereka harus memberitahukan rencananya jauh-jauh hari kepada mitra OEM serta konsumen korporat, karena sebagian besar dari mereka harus membuat rencana untuk menyesuaikan dengan rencana Microsoft ke depannya.

Sebelum rilis iPod, Jobs terlibat secara penuh dalam proses pembuatannya dan bahkan sangat cerewet. Saat Mike Evangelist, teknisi perangkat lunak Apple, menyajikan prototype pada Jobs, CEO Apple ini mengeluhkan suara ‘krek’ yang terdengar saat headphone dipasangkan ke soket iPod. “Suara ini mengerikan,” kata Jobs. “Kalian harus mencari cara untuk menghilangkannya!” Setelah itu Jobs juga mendorong tim perangkat lunak agar iPod ini sudah dapat langsung memutar musik hanya dalam tiga klik, navigasinya juga harus mudah, tidak boleh ada kebingungan dalam pengoperasian perangkat baru ini.

Ketika mempersiapkan presentasi untuk event, paranoia Jobs semakin menjadi-jadi. Dia mengkhawatirkan eksposur kamera, tata cahaya lampu, dan beberapa hari sebelum acara, aktivitas Jobs hanyalah mengulang-ulang presentasinya di atas panggung seharian.

Namun semua itu terbayar. 23 Oktober 2000, hadirin (yang sebagian besar wartawan) terpana menyaksikan empat area konsep ‘hub digital’ (foto, film, DVD, dan musik) yang dipaparkan oleh Jobs. Dengan percaya diri, sang pendiri Apple tersebut memulai presentasinya, “Bidang yang kami putuskan… Pilihan kami.. adalah musik” Jobs memandang sekeliling, “Kenapa musik?” Dia mengambil jeda yang dramatis, “Karena kita semua menyukai musik. Melakukan sesuatu yang kita sukai itu sangat menyenangkan!”

Aplaus bergemuruh disertai pandangan mata takjub mengarah pada panggung temaram tersebut. Sedikit dari mereka yang menyadari bahwa ini adalah awal sebuah revolusi.

https://www.youtube.com/watch?v=SYMTy6fchiQ

 

Reaksi publik

via Cult of Mac

Saat Steve Jobs menjelaskan produk barunya tersebut, banyak orang yang merasa geli. iPod? Nama macam apa itu? Namun tentu saja berawal dari presentasi tersebut, banyak yang penasaran terhadap produk Apple yang satu ini.

Jelas ini bukan pemutar musik pertama yang pernah ada. Tapi desainnya yang misterius, serta skema yang ditawarkan oleh Jobs untuk menikmati musik (dengan membeli musik orisinal dari iTunes dan memutarnya di mana saja) merupakan solusi yang menarik. Dalam presentasinya, Jobs menyatakan bahwa pemutar musik ini menggunakan iTunes sebagai ‘Hub’, dalam artian pengguna yang sudah membeli musik di iTunes (yang terpasang di Mac) akan dapat mentransfer musiknya ke iPod dan menikmatinya di mana saja. Tak lupa Jobs menyebutkan teknologi FireWire yang dimiliki Apple memungkinkan pengguna untuk menyalin 10 lagu hanya dalam beberapa menit saja (dibandingkan dengan pemutar musik umum yang memerlukan waktu 30 menit untuk menyalin 10 lagu), dan ini akan ‘menghemat waktu’ konsumen guna melakukan hal yang lebih berharga. Earset bawaan iPod memiliki kualitas tinggi yang memungkinkan pengguna menikmati musik dalam performa terbaiknya, sehingga pengguna benar-benar membeli ‘kualitas’.

Analis teknologi membandingkan produk ini dengan Walkman milik Sony yang sudah begitu matang. Mereka berpendapat bahwa memang perangkat ini memiliki prospek, namun saat ini benar-benar belum bisa menyaingi ketangguhan pemutar CD milik Sony tersebut. Sony Walkman bisa memutar CD musik secara langsung, dan tentu saja di tengah sangkaan buruk terhadap musik digital (akibat tindakan Napster yang membajak dan menyebarkan karya musik dalam bentuk MP3), Sony Walkman memiliki prospek yang lebih cerah. Perangkat ini akan direkomendasikan langsung oleh musisi karena akan mendongkrak penjualan CD mereka secara langsung.

iPod memang tidak langsung mendapatkan pasar yang signifikan. Laporan keuangan triwulan pada Januari 2002 bahkan belum menyertakan iPod sebagai item laporan tersendiri (akibat begitu kecilnya penjualan perangkat ini). Namun baik Apple maupun dunia teknologi sendiri sependapat: Perangkat ini memiliki prospek yang cerah.

 

Redmond Mengintai

via Polygon

Entah kebetulan atau memang Microsoft terilhami oleh langkah-langkah yang diambil Apple, Robbie Bach, pimpinan grup XBox (yang saat itu masih berupa proyek penelitian rintisan) mengungkapkan pada Bill Gates bahwa “Microsoft perlu mengubah citra korporatnya menjadi perusahaan yang lebih dekat dengan konsumen”. Saat itu tentu saja Bach bertujuan mendukung penelitian timnya untuk membuat sebuah konsol game. Acuan mereka sama dengan Apple: Sony. Saat itu perusahaan teknologi papan atas Jepang tersebut sedang naik daun karena Sony Playstation. Upaya Microsoft mengembangkan Xbox tentu saja untuk menyaingi konsol game tersebut secara langsung! Namun demikian, Bach juga menyebutkan keunggulan Sony dalam perangkat audio. “Penjualan CD setiap tahunnya menghasilkan USD 15 miliar.” Argumen Bach. “Kita bisa mendapatkan ‘sedikit kue’ dengan cara yang tepat.”

J. Allard, penasihat utama untuk proyek XBox mengirimkan memo kepada Bill Gates tentang gagasannya untuk menjadikan Microsoft sebagai ‘rumah digital’. Visinya adalah, Microsoft memiliki aneka produk, mencakup televisi, konsol game, pemutar audio, yang kesemuanya terintegrasi pada komputer yang berfungsi sebagai ‘hub utama’ untuk mengoperasikan semua peralatan elektronik ini. Konsep ini mirip seperti yang dikemukakan oleh Steve Jobs, hanya saja lebih besar dan lebih ambisius. Allard yakin bahwa XBox dapat menjadi bagian penting dari upaya mendekatkan Microsoft kepada konsumen mengingat bahwa bisnis game sedang hot dalam dekade tersebut.

Pada bulan Maret 1999, Bach, Allard, dan Gates mendiskusikan visi mereka tentang upaya Microsoft menyentuh konsumen ini. Logika keuntungan melaksanakan proyek ini cukup sederhana. Walaupun memaklumkan diri sebagai ‘perusahaan korporat’, namun Microsoft jelas memiliki banyak pelanggan di sektor konsumen langsung (mengingat Windows mencapai 90% pangsa pasar). Cukup beberapa persen dari pengguna tersebut membeli salah satu produk berorientasi konsumen dari Microsoft, maka mereka sudah balik modal untuk biaya produksinya. Tidak ada ruginya untuk dicoba!

Dalam perundingan ini, Allard berhasil membujuk Gates untuk ‘sedikit mengubah’ sistem horizontal yang digunakan Microsoft dalam ‘berjualan’. Sistem Horizontal yang dimaksud adalah: Microsoft membuat perangkat lunak, sementara mitra OEM membuat perangkat kerasnya. Allard meyakinkan Gates bahwa Microsoft harus mulai membuat perangkat keras sendiri, dan ini harus dimulai di sektor konsumen. Kenapa? Popularitas di sektor konsumen akan menjadikan Microsoft dipercaya guna meluncurkan produk selanjutnya di berbagai segmen. Nah, game yang sedang naik daun menjadi jawabannya! Gates setuju dan mengizinkan Allard dan Bach untuk memulai proyek penelitian konsol yang mereka beri kode nama: Xbox!

Dalam upayanya menggeser paradigma ke arah yang lebih ramah konsumen, Bach mencoba sebuah babak baru. Masalah musik digital yang tengah heboh akibat pertengkaran para musisi dengan Napster, jika berhasil dikelola Microsoft dengan benar tentu saja akan menjamin kesuksesan mereka. Bach berupaya meyakinkan Gates agar Microsoft ikut terjun ke kompetisi pemutar musik digital!

 

iPod Menuju Babak Sukses

Meskipun sempat tertatih pada awalnya, Jobs dan Griffin Technology yang bekerja sama mendukung iPod sangat antusias pada produk ini. Griffin Tech mulai menambahkan beberapa add on yang sifatnya eksperimental pada perangkat pemutar musik ini. Di antaranya adalah transmitter radio FM yang berfungsi dengan bantuan headset. “Saya tumbuh di era radio sebagai media konsumen. Semua orang cinta radio FM, dan keren sekali jika kita bisa memutarnya secara pribadi di iPod.” ujar Steve Jobs.

Seretnya penjualan iPod ini pada dasarnya berbanding lurus dengan penjualan Mac yang tidak menggembirakan. Karena Mac berfungsi sebagai ‘hub’ yang menghubungkan antara iTunes dengan iPod, maka tentu saja hanya pengguna yang memiliki Mac saja yang memutuskan untuk membeli iPod.

Salah seorang eksekutif Apple, Tony Fadell, menawarkan solusi yang brilian, namun kontroversial, “Kalian ingin penjualan iPod meningkat? Biarkan pengguna Windows menginstal iTunes!”

Perang langsung pecah di kubu internal Apple. Sebagian besar eksekutif Apple dikenal sangat antipati terhadap Microsoft, sementara Fadell memiliki argumen yang kuat untuk usulannya ini. Dengan memungkinkan pengguna Windows menginstal iTunes, tentu saja ini meningkatkan peluang pengguna membeli iPod dan menyinkronkannya dengan iTunes di PC miliknya.

Juli 2002, Apple meluncurkan iPod generasi kedua dengan ruang penyimpanan 20GB dan juga iPod for Windows yang memungkinkan pengguna Windows menggunakan MusicMatch di PC berbasis Windows untuk menyinkronkan perpustakaan lagunya ke iPod tersebut! Microsoft sendiri tentu saja antusias dengan proyek ini. Dengan dijadikannya PC Windows sebagai hub, tentu saja ini akan mempertahankan dominasi mereka di bidang software PC. Menindaklanjuti visi Bach dan Allard, Microsoft juga menyiapkan toko musik mereka sendiri. Microsoft mengawali dengan menciptakan format audio .wma (Windows Media Audio) yang konon lebih baik dari MP3. Format ini akan ditransfer dengan Digital Rights Management (DRM) sehingga memungkinkan perusahaan rekaman menjual karyanya langsung dalam format .wma melalui toko musik milik Microsoft (berupa software), dan file audio tersebut tidak akan dapat disalin ke penyimpanan lain, kecuali ke perangkat yang sudah diotorisasi. Dengan demikian, Microsoft berupaya agar perusahaan rekaman menjadikan Microsoft sebagai alternatif dalam upaya berjualan musik digital.

Saat itu, iTunes memang sedang naik daun sebagai toko musik digital. Musisi mulai melihat bahwa sia-sia mereka menghambat perkembangan musik digital dengan ngotot mempertahankan CD dan kaset. Mau tak mau mereka harus memeluk platform musik digital, dan berupaya mendapatkan keuntungan darinya. iTunes adalah solusi yang reliabel! Steve Jobs sendiri dikenal sebagai pecinta musik. Gairahnya terhadap musik tidak dibuat-buat. Bob Dylan adalah pahlawannya (Jobs pernah melakukan presentasi dengan menyitir bait lagu dari Dylan pada tahun 1984), Joan Baez pernah menjadi ‘teman dekat’ Steve Jobs, The Beatles dan Johnny Cash selalu ada dalam playlist wajibnya. Jobs tentu saja tidak ingin bisnis musik pudar. Dia menawarkan sistem yang menguntungkan bagi musisi dan perusahaan rekaman melalui iTunes dan produk iPod miliknya. Akhir tahun 2002, meskipun penjualan Mac semakin turun, Jobs melihat secercah cahaya: penjualan iPod menunjukkan peningkatan 37 persen!

Mei 2003 merupakan bulan yang tak terlupakan bagi Apple. Talk Show Oprah Winfrey yang luar biasa populer di AS, pada sesi Favorite Things (ini adalah segmen acara di mana Oprah membahas barang-barang favoritnya minggu itu), iPod 15 GB terselip di sana bersama printer dock dari HP dan mesin vakum dari Roomba. Sekedar info: Apa pun yang disukai Oprah, maka masyarakat Amerika akan mencintainya! Pada kuartal itu, Apple berhasil menjual 304.000 unit iPod!


via Lexicon

Microsoft jelas tidak membiarkan rivalnya tersebut sukses. Bagaimana Redmont berupaya menjegal Cupertino? Ikuti kelanjutannya dalam Kisah Silicon Valley #18 – Perang Musik Digital: Zune

 

 

Referensi

Arthur, Charles. (2013). Digital Wars – Apple, Google, Microsoft, dan Pertempuran Meraih Kekuasaan atas Internet. PT. Elex Media Komputindo

Isaacson, Walter. (2011). Steve Jobs. Simon & Schuster.

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation