Silicon Valley #30: Suka Duka Karyawan di Silicon Valley – Konflik dan Berbagai Sengketa

via CNN

Minggu lalu di Kisah Silicon Valley #29, saya membahas tentang berbagai keunikan yang terjadi seputar hubungan karyawan dan perusahaan di Silicon Valley. Kali ini saya akan membahas tentang beberapa konflik dan sengketa yang terjadi dalam lingkup karyawan di Silicon Valley.

 

Perbudakan Tim Macintosh 

Menjadi legenda? Sejahtera secara finansial? Sepertinya pengorbanan yang diperoleh untuk mendapatkan itu sangat besar. Paling tidak ini terjadi pada tim Macintosh yang berupaya ‘menciptakan legenda’. Saat itu Steve Jobs memang berupaya untuk ‘merasakan kembali’ hari-hari penuh kejayaan saat dia dan Woz sendirian, bermimpi besar, di garasi. “Garasi metafisik”, demikian Jobs menyebut proyek Mac. Saat itu dia bahkan memindahkan grup Mac ke dalam ‘garasi’ miliknya sendiri – sebuah gedung yang jauh dari gedung induk Apple. Steve Jobs bahkan menanamkan pikiran sehingga para karyawan tersebut meyakini bahwa mereka ‘bukan bagian dari karyawan induk’. Steve Jobs meyakinkan mereka bahwa mereka adalah ‘pemberontak’ yang bertujuan untuk ‘menggulingkan kemapanan’ tim Apple II yang sedang bersinar Kalau kamu sedikit awam, Apple II adalah komputer produk laris Apple. Saat itu memang Jobs merasa Apple II tidak sesuai visinya, sehingga dia membangun tim Macintosh yang berada langsung di bawah kewenangannya, bukan John Sculley yang saat itu merupakan CEO Apple.

“Sangat sedikit di antara kami yang berusia di atas 30 tahun,” kenang Mike Murray, director of marketing Macintosh saat itu. “Kami semua saat itu merasa bahwa kami telah melewatkan pergerakan hak-hak sipil. Kami telah melewatkan Vietnam. Satu-satunya yang kami miliki saat itu adalah Macintosh.”

Ratusan jam selama berminggu-minggu — Efektifnya karyawan bekerja mulai jam 8 pagi hingga 10 malam, Minggu hingga Sabtu. Ini hal yang sangat tidak umum bahkan dalam standar era kolonial pun sudah masuk perbudakan. Para karyawan bekerja sangat keras bahkan sering melupakan sarapan dan makan siang. Tapi apakah mereka mengeluh tentang semua pekerjaan ini? Tentu saja tidak! Mereka mencintainya. Mereka tengah berada dalam impiannya. Mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan saat datang ke Silicon Valley – Setidaknya itulah yang dipikirkan tim Macintosh saat itu. Seperti yang kita tahu, Jobs merupakan motivator ahli, hampir seperti ahli hipnotis dalam urusan menanamkan kepercayaan dan keyakinan!

Tentu saja dalam 14 jam kerja tersebut, kesalahan rentan terjadi. Begitu banyak kesalahan bahkan. Namun setiap ada kemunduran, maka tim akan berusaha sekuat tenaga memperbaikinya. Ini diperparah dengan perilaku Steve Jobs yang seringkali berubah-ubah. Jika tim datang di pagi hari, Jobs akan memberikan semacam ‘rencana A’ – Lalu tim akan bekerja keras seakan mematahkan tulang dan menyesap dagingnya sendiri hingga malam, kemudian pada pukul 7 malam, Jobs kembali muncul dan mengatakan bahwa rencana A telah dibatalkan, ini dia rencana B. Lalu para karyawan yang sudah mirip mayat hidup di jam tersebut, akan berusaha memotong waktu tidurnya untuk bisa menyelesaikan rencana B tersebut. Saat itu  sampai beredar jokes: “Apa bedanya Pramuka dan Apple? Pramuka memiliki pembina yang dewasa”.

Lalu saat proyek Macintosh akhirnya selesai (Ini setelah tahun-tahun yang panjang dan tak terbayangkan) – Apa yang terjadi? Kebanyakan karyawan sudah ‘terhisap’ terlalu dalam oleh proyek Macintosh. Banyak di antara mereka yang bercerai, kehilangan sahabat dekat, mereka semua kehabisan energi emosional sehingga yang ada di kepala mereka hanyalah Macintosh – Harapan bahwa produk mereka akan mengubah dunia. Mereka lalu mulai bertanya-tanya saat proyek ini selesai, mengapa dulu mereka bekerja begitu keras. Penyesalan dan gangguan emosi ini begitu dalam sehingga nyaris semua anggota tim asli Macintosh pada masa itu mengundurkan diri dari Apple!

 

Memo Kritik Karyawan Google

Seorang karyawan Google, James Damore, menyebarkan memo yang mengkritik pandangan perusahaan untuk ‘mendukung keberagaman’. Ini berawal dari penyelidikan terhadap Google oleh Departemen Tenaga Kerja AS yang mendapati bahwa Google ternyata membayar karyawan wanita lebih rendah dari karyawan pria. Google membantah ini dan menyatakan bahwa mereka membayar pria dan wanita setara. Sang karyawan merilis memo tersebut dan menyebut bahwa Google tidak seharusnya melakukan hal tersebut. Menurut pendapatnya, wanita jarang berada di lingkup dunia teknologi bukan karena bias dan diskriminasi di tempat kerja, akan tetapi memang karena perbedaan psikologi antara pria dan wanita. “Kita harus menghentikan pandangan bahwa perbedaan superioritas gender adalah seksisme, karena memang ada perbedaan antara pria dan wanita”. Dalam salah satu argumennya (dari memo setebal 10 halaman tersebut), Damore juga menyebutkan memang ada perbedaan genetik yang menjadikan pria lebih unggul dan cocok untuk bekerja di lingkungan dunia teknologi. Bahkan ada penelitian yang mengungkap bahwa jika ada pria yang dikastrasi, lalu dibesarkan sebagai wanita, maka dia akan tetap memiliki perilaku pria.

Semua argumen yang disebutkan dalam memo itu berujung pada satu titik: Adalah benar jika pria dibayar lebih tinggi karena hasil yang ditunjukkannya, pekerjaan yang dilakukannya, dalam konteks dunia teknologi akan lebih baik dan juga terselip pesan agar Google berhenti mengasingkan kaum konservatif (Damore juga menyebutkan bahwa pandangan Google sudah terlalu ke kanan alias liberal dalam memonya).

Sundar Pichai mengambil keputusan tegas, James Damore dipecat dengan tidak hormat. Namun memo tersebut terlanjur menimbulkan badai internal di kalangan karyawan Google. Selain itu memo tersebut menimbulkan debat massal di dunia maya. Beberapa website baik serius maupun website hiburan ramai oleh komentar pro dan kontra terhadap pandangan Damore tersebut.

Danielle Brown, VP untuk divisi Diversity, Integrity, and governance, mengunci akun Twitternya setelah menerima banyak komentar rasis dan seksis. Di Facebook, penulis beraliran koservatif, Milo Yiannopoulos, mengirim biografi Twitter dari delapan karyawan Google yang mengkritik Damore, dan ini mengakibatkan mereka menjadi sasaran serangan para pendukung konservatif di AS.

 

Konflik Multidivisi Microsoft

Microsoft telah berkembang begitu pesat sejak perusahaan aslinya didirikan oleh Bill Gates ditemani oleh Paul Allen. Tak heran jika kemudian perusahaan ini memiliki begitu banyak divisi. Pada tahun 2009, Steve Ballmer yang saat itu menjabat CEO menyadari begitu parahnya keadaan Microsoft yang seakan tercerai berai, sehingga dia memulai kampanye One Microsoft. Namun sepertinya agak terlambat. Pengaruh begitu banyaknya divisi yang saling terpisah di Microsoft tersebut bahkan masih kita rasakan sampai sekarang, yaitu satu produk terkadang tidak mendukung produk yang lain dan saling terpisah. Mungkin pada saat Windows Phone jaya, kamu sering heran mengapa ada ‘Microsoft Garage’ yang sering merilis aplikasi untuk iOS dan Android, namun tidak pernah merilis produknya untuk Windows Phone? Ini adalah salah satu efek dari begitu banyaknya divisi Microsoft tersebut (penjelasan resmi Microsoft: Microsoft Garage adalah semacam ‘klub’ yang mana karyawan Microsoft menghabiskan waktu mengerjakan sesuatu di luar jam kerja – Hasilnya adalah banyak aplikasi untuk platform lain).

Baru-baru ini, Tim Snead, developer Microsoft veteran yang pernah menjabat sebagai Principal Program Manager, menulis sebuah artikel yang menceritakan pengalamannya sebagai developer dalam interaksinya dengan Microsoft.

Dalam artikel tersebut, Snead menceritakan bahwa ‘situasinya aneh sekali’ – Microsoft pada awalnya berambisi untuk menghadirkan ‘Longhorn’ (dasar pemrograman Vista) untuk menyesuaikan tantangan persaingan pemrograman modern. Di sini kemudian Silverlight hadir dengan tuntutan besar untuk memelihara franchise Windows. Dari sini lahir Internet Explorer dengan hardware-accelerated graphics dan mesin JavaScript baru. Namun integrasinya dengan Windows 7 menjadikan Silverlight menyulitkan saat diintegrasikan dengan Windows Phone. Dalam situasi developer berjuang untuk dapat memanfaatkan Silverlight sebagai ‘platform masa depan’, divisi lain sudah menciptakan platform lain, yaitu UWP – yang merupakan reset terhadap keseluruhan API (Application programming Interface) milik Windows. Tentu saja ini menjadikan developer kebingungan. Mereka wajib mempelajari lagi platform baru tersebut. Tentu saja ini kemudian menjadikan developer enggan menerapkan sistem baru tersebut. Alasannya sederhana: Ribet sekali harus berulangkali mempelajari platform pemrograman baru – yang bahkan begitu tidak kompatibelnya dengan platform lama.

Clash antar divisi ini juga terjadi saat pengembangan Windows 8. J. Allard saat itu memimpin pengembangan Windows 8 beserta tablet Courier yang rencananya akan ‘memamerkan’ kehebatan Windows 8. Namun Ballmer yang tidak yakin akan arah perkembangan Microsoft Courier, memanggil Steven Sinofsky yang sukses dengan Windows 7 untuk menggantikan Allard dalam pengembangan Windows 8.

Ini menjadikan Allard marah besar hingga dia mengundurkan diri dari Microsoft bersama istrinya. Sinofsky sukses mengantarkan Windows 8 hingga rilis. Namun nama besarnya tercoreng karena Windows 8 disebut flop oleh dunia teknologi. Semua orang enggan untuk update karena sistemnya yang benar-benar berbeda dan menyulitkan untuk digunakan. Tak lama berselang, Steven Sinofsky juga mengundurkan diri dari Microsoft!

Di era ‘One Microsoft’ yang tengah susah payah dijalankan oleh Nadella saat itu, clash antar divisi juga dapat kita lihat dengan beragamnya produk Microsoft yang seakan terpisah satu sama lain. Misalnya kamu membaca rumor tentang pengembangan Windows on ARM, Windows 10S, serta bagaimana Dona Sarkar masih ‘memelihara’ Windows 10 Mobile (masih banyak contoh versi Windows lain, termasuk aneka build yang mungkin kita pakai dengan masa ‘kedaluwarsa’ yang berbeda-beda) – Ini merupakan versi Windows yang tidak saling kompatibel satu sama lain dan merupakan akibat dari terlalu banyaknya divisi di Microsoft dan pada akhirnya menimbulkan kerumitan tersendiri di level konsumen.

 

 

Referensi

Conger, Kate. (2017). Exclusive: Here’s the Full 10-Page Anti-Diversty Screed Circulating Internally at Google. Gizmodo

Dwoskin, Elizabeth. (2017). Google employees face fear, uncertainty in aftermath of divisive memo. Washington Post.

Hertzfeld, Andy. (1985). The End of an Era. Folklore.

Nocera, Joseph. (2011). The second coming of Steven Jobs. Esquire.

O’Dell, J. (2012). The real reason Marissa Mayer left Google: She had to. Venturebeat.

Surur. (2017). Ex-Microsoft Product Manager reveals the unsurprising reason for the company’s decline. MSPoweruser.

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation