Kisah Silicon Valley #103 – Trip Hawkins, Pelopor Software Gaming

“Ada prinsip dasar mengenai konsumen peralatan elektronik: teknologi akan semakin hebat sepanjang waktu, dan harganya akan semakin murah. Inilah kebenaran untuk semua jenis konsumen peralatan elektronik.”

Demikian ungkap Trip Hawkins dalam sebuah wawancara. Ini memang sebuah kebenaran universal yang sulit dibantah. Jika produsen ingin ‘bermain’ di kancah elektronik, termasuk teknologi digital, maka mereka harus menghadapi partisipasi pada teknologi yang lebih canggih (yang seringkali biayanya besar) namun konsumen akan membayar semakin murah untuk teknologi ini. Itulah mengapa Trip Hawkins selalu menyebut bahwa perusahaan-perusahaan teknologi haruslah bermental baja dalam menghadapi fakta ini. Itu juga yang menjadikan pendiri Electronic Arts ini bangkit kembali dari berbagai kegagalan yang pernah dihadapinya saat mendirikan startup.

 

Rencana yang Diperam Bertahun-Tahun

via Forbes

Trip Hawkins tumbuh dewasa di era perkembangan televisi rumahan. Generasi 60-an adalah generasi yang mulai terpapar televisi dan tergila-gila oleh ‘kotak hiburan’ tersebut. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak menarik minat Hawkins kecil. Entah kenapa dia lebih suka memainkan permainan papan dengan saudara-saudaranya, atau jika tidak demikian mereka memainkan permainan imajinasi seperti bermain polisi vs penjahat, dan sebagainya. “Saat saya bermain game, saya berada dalam situasi yang dinamis, di mana saya harus mengambil pilihan dan hasil yang saya peroleh akan bergantung pada pilihan-pilihan ini, dan pilihan saya akan berinteraksi dengan strategi pemain lain,” ujar Hawkins mengenang masa kecilnya. “Semua itu terasa sangat menakjubkan bagi saya, dan saya lama kelamaan menyadari bahwa saya menjadi lebih memiliki kesadaran diri, pikiran saya terus bekerja aktif… Ini menjadikan saya berpikir lebih banyak, dan ini benar-benar sesuatu yang memacu hasrat bagi saya.”

Hawkins saat itu masih belum menyadari, kegemarannya pada permainan papan dan imajinasi yang dipupuk sejak masa kecil ini akan membentuk masa depannya kelak!

Hawkins sudah berpikir untuk mendirikan startup sendiri sejak remaja, tepatnya pada usia 17 tahun. Besar dari keluarga yang merupakan kelas pekerja, Hawkins justru ingin untuk punya perusahaan sendiri suatu hari kelak. Meskipun demikian, dia masih belum punya bayangan perusahaan apa yang akan didirikannya nanti. Sebuah inspirasi mampir ke benaknya ketika pada tahun 1971 dia bermain ke rumah temannya. Ayah temannya tersebut bekerja di Intel yang saat itu sedang getol-getolnya berinovasi. Saat itulah pertama kalinya Hawkins melihat prototype Mikro-komputer – Orang menyebutnya mikro-komputer, karena pada masa itu benda yang bernama ‘komputer’ itu adalah sebuah instalasi yang besar dan penempatannya menghabiskan satu kamar penuh. Ketika menyaksikan bahwa komputer bisa ‘dikecilkan’ seperti ini, Trip Hawkins sadar bahwa di masa depan, pastilah akan banyak komputer serupa dan adanya komputer di rumah tangga bakal menjadi sesuatu yang umum.

 

Bekerja di Apple

via Fun and Serious Game Festival

Hawkins lulus dari Harvard pada tahun 1976, Magna Cum Laude, dengan gelar di bidang strategi dan game theory terapan. Ini adalah jurusan studi matematika yang mempelajari konflik dan kerjasama antar pengambil keputusan, sangat umum diterapkan dalam hubungan internasional dan bidang politik. Selama kuliah, Hawkins seringkali mengerjakan sebuah program simulasi yang memprediksi hasil tertentu, misalnya skenario Perang Dunia III atau kontrol penggunaan senjata nuklir di seluruh dunia. “Saya memenangkan beberapa penghargaan dalam studi saya tersebut, antara lain dari Herb York di Stockholm International Peace Research Institute,” ceritanya dengan bangga.

Sebagai salah satu lulusan unggulan, Hawkins banyak diincar oleh perusahaan besar. Namun yang berhasil menarik perhatiannya adalah perusahaan yang akrab dengan citra inovator dan pemberontak: Apple! Hawkins bekerja di Cupertino pada saat perusahaan ini masih memiliki 50 orang karyawan saja. Dalam diri Steve Jobs, Hawkins menemukan sosok panutan yang diteladaninya, terutama bagaimana Jobs berjuang mewujudkan sebuah konsep dan ketelitiannya terhadap detail yang mendukung konsep tersebut.

Meskipun langsung mendapatkan kontrak empat tahun, namun Hawkins masih setia pada impiannya untuk mendirikan startup sendiri. Dari Apple dia belajar berbagai hal yang harus dimiliki seorang entrepreneur, seperti cara mencari investor, cara mewujudkan sebuah konsep menjadi produk, serta semangat pantang menyerah yang terus ditunjukkan Jobs saat ingin ‘menghadirkan’ sebuah produk ke tangan konsumen. Hawkins sendiri mematangkan visinya. Pada saat itu, dunia gaming dikuasai oleh konsol, terutama oleh Atari yang mendunia. Namun Hawkins punya pandangan yang berbeda. Menurut pendapatnya, seiring dengan komputer rumahan akan menjadi sesuatu yang mainstream, maka nantinya game akan berkembang juga di PC.

Hawkins juga mencermati fenomena pada saat itu, yang mana perusahaan penulis software biasanya memperlakukan programmer seperti seorang karyawan yang diberi target tertentu dan bekerja dengan rutinitas membosankan. Hawkins merasa programmer akan bisa lebih berkembang jika diberi kesempatan mengerjakan sesuatu yang mereka sukai, sesuatu yang sifatnya kreatif, dan diberikan jam kerja yang tidak terikat seperti halnya karyawan umum. “Pada saat itu, saya mendapatkan pengalaman bekerja dengan para jenius dalam hal pengembangan software. Mereka ini sebenarnya orang-orang yang kreatif,” ujarnya. “Saya mulai menyadari bahwa saya semestinya bekerja bersama mereka seperti saya bekerja dengan seniman, dan memperlakukan mereka sebagai seniman.”

 

Berhasil Menggandeng Investor 

via Filfre

Ketika konsepnya terasa semakin matang, Hawkins membaca sebuah majalah yang memuat profil Don Valentine, pemilik Capital Management (yang nantinya akan berganti nama menjadi Sequoia Capital, salah seorang Angel investor paling terkemuka di Silicon Valley). Hawkins berupaya menghubungi sang Don (julukan Don Valentine di Silicon Valley). Dia mengungkapkan terus terang keinginannya mendirikan sebuah perusahaan dan ingin meminta saran dari Don Valentine. Mengetahui track record Hawkins di Apple, Valentine menyetujui sebuah pertemuan di Sand Hill Road.

Saat datang, Hawkins masih belum memiliki konsep yang dicatat dengan rapi, namun dia nekad memaparkan rencananya pada Don Valentine. Pada saat itu, Apple sedang sibuk dengan peluncuran Lisa. Karena Don Valentine adalah salah seorang investor terbesar Apple, Hawkins sudah siap untuk dimarahi karena berfokus pada sesuatu di luar pekerjaannya di Apple. Tanggapan Don Valentine ternyata di luar dugaan. “Dia mengatakan kepada saya bahwa saya harus cepat-cepat keluar dari Apple,” ujar Hawkins sambil tertawa. “Dia menawarkan kepada saya ruang kantor gratis, yang mana kurang lebih dia mengisyaratkan ‘kalau saya serius dengan ini, maka saya akan mendanai saya’. Ini benar-benar dorongan yang saya butuhkan!”

Hawkins mengundurkan diri dari jabatannya di Apple pada April 1982. Dia menjual saham Apple yang menjadi haknya senilai USD 200.000, jumlah yang cukup besar pada saat itu. Hawkins serius dengan rencananya hingga meluangkan waktu ke Los Angeles untuk meminta pendapat pengacara industri musik mengenai struktur kontrak yang mereka berlakukan terhadap para musisi sebagai seniman. Dia ingin menyusun kontrak serupa dengan para programmer karena keinginannya untuk memperlakukan mereka sebagai seniman alih-alih karyawan.

Karyawan pertama Hawkins adalah Richard Melmon. Mereka saling mengenal saat Hawkins masih bekerja di Apple, sementara Melmon bekerja di VisiCorp. Mendengar rencana Hawkins, Melmon tertarik untuk ikut bergabung dalam proyek tersebut. Nantinya bahkan Melmon menjadi aktor utama dalam menggalang pendanaan untuk pendirian perusahaan tersebut, meskipun pada akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan. “Sejauh ini dia adalah orang yang paling penting dan istimewa yang pernah saya pekerjaan,” kenang Hawkins. “Saya mempekerjakannya karena saya merasa bahwa saya harus memiliki seseorang yang lebih tua dari saya di jajaran karyawan untuk ‘mengawasi’ diri saya sendiri saat menjalankan perusahaan tersebut.”

Perusahaan yang didirikan Hawkins ini berfokus pada pengembangan software untuk game. Hawkins menamakan perusahaannya: Electronic Arts.


Selanjutnya akan dikisahkan jatuh bangun Hawkins dalam membangun perusahaannya, serta bagaimana dia membawa Electronic Arts menjadi perusahaan software gaming yang disegani di Silicon Valley.

 

Referensi

Edwards, Benj. (2012). Trip Hawkins on 30 Years of Electronic Arts. Vintage Computing and Gaming.

Hester, Blake. (2017). Trip Hawkins has been playing the same strategy game for 50 years. Polygon.

Tice, Carol. (2012). What Trip Hawkins Learned from His First Startup Failure That Helped Him Create Electronic Arts. Forbes

 

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation