Kisah Silicon Valley #144 – Mengambil Posisi di Samping Apple

Brian Wallace via Business Insider

Pada tahun 2011, Brian Wallace, Digital Marketer RIM (Produsen BlackBerry) memutuskan untuk menerima ajakan Samsung membangun merek mereka di Amerika. Pria Kanada ini sangat antusias dengan kesempatan untuk bekerja bersama Todd Pendleton, mantan Chief Marketing Officer Nike (yang juga direkrut Samsung), dalam mengangkat nama Samsung di Amerika. Namun rekan-rekannya di BlackBerry menertawakan Wallace habis-habisan. Pada saat itu BlackBerry adalah pemimpin pasar smartphone dunia, terutama dalam bidang bisnis. Pindahnya Wallace ke Samsung dianggap sebagai downgrade oleh teman-temannya. “Iya memang ini langkah turun,” ujarnya. “Tapi saya senang pada tantangan baru ini kok.” balasnya ketika rekan kerjanya mem-bully keputusan tersebut. Tidak ada satu pun dari mereka saat itu mengira bahwa BlackBerry setelah itu akan mengalami kejatuhan dahsyat.

Memperkenalkan Smartphone Samsung ke Amerika

Dale Sohn via Paulsohn.org

“Kita perlu lebih banyak kreativitas!” Seru Dale Sohn, CEO Samsung Telecommunications America. Sang CEO saat itu sedang memimpin rapat untuk merumuskan strategi menembus pasar paling tangguh yang mereka targetkan: Amerika. iPhone merupakan smartphone paling populer di sini dan ini sangat menyulitkan merek lain untuk dapat menjual perangkat dalam kategori yang serupa. “Saya perlu seseorang yang bertato di seluruh lengannya dan juga pakai anting!” ujar Sohn kembali untuk menekankan bahwa dia perlu seseorang yang kreatif dan berpikir beda. Penjualan ponsel Samsung di Amerika saat itu dilakukan dengan sangat tradisional. Samsung sudah melempar beberapa tipe produk, tapi tidak ada satu pun yang menempel di benak konsumen Amerika, bahkan banyak yang tidak mendengar tipe produk tersebut meskipun banyak juga yang mengenal Samsung sebagai perusahaan.

Pada saat itu Samsung sudah mulai melempar lini Galaxy ke pasar, namun tetap saja smartphone ini kesulitan untuk mendapatkan tempat di hati konsumen di sela dominasi iPhone di pasar AS. Sebagai strategi alternatif, Samsung mengandalkan penjualan melalui operator di AS. Sistem ini memungkinkan instansi bisnis tertentu memborong ponsel merek tertentu dengan harga diskon dengan syarat berlangganan operator yang bersangkutan. Cara ini biasanya lebih dipilih oleh perusahaan yang memerlukan ponsel untuk digunakan karyawan-karyawannya. Namun di kalangan konsumen biasa, jarang ada yang melirik merek Samsung.

Sebagai salah satu solusi, Dale Sohn menginginkan chief marketing officer baru yang diharapkan bisa membawa ide segar dalam upaya meningkatkan penjualan ponsel Samsung di Amerika. Headhunter (pemantau talent) Samsung menyarankan nama Todd Pendleton. Pria ini dikenal sebagai ahli marketing yang ‘tidak biasa’ di Nike. Keahliannya adalah meningkatkan impresi merek di pasar. Ketika Samsung menghubungi Pendleton, kepala divisi pemasaran Nike ini bahkan baru tahu kalau Samsung punya produk smartphone. Namun dia tertarik pada tantangan baru dan segera menemui Dale Sohn di acara Consumer Electronic Show 2011 di Las Vegas.

“Saya sangat terkesan,” ungkap Pendleton. “Menurut saya kualitas produk, layar besar dan banyak hal yang belum saya kenal dari smartphone ini sebenarnya sangat menarik.” Pendleton sudah berkarir selama lima belas tahun di Nike dan benar-benar ingin merasakan tantangan baru. Dia langsung menyetujui tawaran untuk menjadi Chief Marketing Officer di Samsung.

Apa idenya untuk Samsung yang meyakinkan Dale Sohn mempekerjakannya? Cultural Branding. Pendleton meyakini bahwa untuk menciptakan merek, perusahaan harus juga menciptakan sebuah budaya. Lebih dari sekedar menjual sebuah produk, perusahaan harus mencoba menjual ide – sebuah spirit! Dia mencontohkan salah satunya adalah keberhasilannya di Nike untuk mengontrak Michael Jordan sebagai brand ambassador dengan kontrak lima tahunan senilai USD 2,5 juta. Air Jordan, sepatu yang dirilis dengan memanfaatkan imej Michael Jordan, dirilis pada tahun 1984 dan langsung mendapatkan keuntungan sebesar USD 130 juta hanya di tahun pertama rilisnya! Ini merupakan contoh keberhasilan konsep cultural branding Pendleton.

Air Jordan via The Guardian

Dalam mengaplikasikan strateginya, Pendleton merasa perlu seorang rekan yang bisa mendukung dan mengimbangi ide-idenya. Dia menyampaikan hal itu pada Sohn dan CEO Samsung tersebut langsung menyetujui idenya. Pendleton pun menghubungi rekannya, Brian Wallace, digital marketer BlackBerry. Sohn mengundang Wallace ke kantornya untuk sebuah sesi konsultasi ringan. Ketika sampai di ruangan, Wallace sedikit kaget menyaksikan di ruangan itu ada sebuah meja dengan perangkat smartphone Samsung dan foto Steve Jobs berukuran besar di atas meja tersebut.

“Kau tahu ini siapa?” ujar Dale Sohn tanpa basa-basi sambil menunjuk foto tersebut.

“Tentu saja,” ujar Wallace sedikit bingung dengan sambutan tersebut.

“Apa menurutmu kau bisa mengalahkannya?” Sohn menatap tajam. Wallace mulai paham.

“Ya, saya bisa melakukannya,” ujar Wallace mantap.

“Apa yang kau perlukan? dan berapa lama?” Sohn tanpa sungkan bertanya. “Samsung memiliki target untuk mengalahkan kompetitornya mulai dari HTC kemudian Motorola disusul BlackBerry dan akhirnya Apple, satu demi satu selama lima tahun ke depan ini.”

“Tidak.. Tidak.. Bukan begitu cara mainnya,” ujar Wallace. Dia melangkah ke arah whiteboard yang berada di ujung ruangan. “Saya ini orang Kanada yang cinta damai. Paling takut masuk penjara. Kalau di sel saya ada empat orang dan yang paling besar dan menakutkan adalah orang keempat, cara bertahan hidup di situ bukannya memukul mereka satu per satu dari orang yang paling kecil.” Wallace membuat corat-coret yang mengungkapkan maksudnya. “.. Saya akan langsung meninju orang paling besar dan paling seram di sel itu, karena itu akan menunjukkan tekad dan kemampuan saya. Itulah yang akan kita lakukan dengan Apple!”

Dale Sohn memandang Wallace di dengan mata berbinar seakan menemukan pencerahan. “Oke. Jadi bagaimana pendapatmu? Mau bergabung dengan kita untuk mengalahkan Apple?”

Mengubah Strategi Pemasaran Samsung

Brian Wallace langsung menyadari bahwa bekerja sebagai marketer di Samsung ternyata jauh di bawah perusahaannya sebelumnya, RIM. Samsung tidak menggunakan orang dalam iklan-iklannya. Hanya produk dan voiceover serta membicarakan tentang manfaat produk tersebut. Kemudian nilai yang dihormati orang-orang Korea Selatan seperti derajat seseorang, prestise, dan kemewahan yang ditampilkan oleh produk Samsung, juga tidak akan mengena di pasar Amerika yang lebih menyukai gaya ‘pemberontakan’. Gaya Samsung yang kaku juga tentu saja tidak diterima dengan baik di pasar Amerika yang menyukai selera humor tinggi. Ini sedikit di antara pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Wallace dan Pendleton. Salah satu pekerjaan rumah terbesar untuk mereka berdua juga menyesuaikan diri satu sama lain.

“Todd adalah seorang marketer yang baik dalam hal penjualan kreatif,” ungkap Wallace. “Tapi dia kurang bagus dalam mengelola orang yang bekerja bersamanya dalam birokrasi perusahaan.” Wallace juga mengungkapkan bahwa bekerja bersama Todd Pendleton sangat sulit untuk seseorang dengan ego tinggi, karena Pendleton susah berkompromi jika sudah menetapkan satu hal.

“Di Samsung, selalu ada orang yang berteriak pada orang lain. Dia tidak begitu menyenangkan di tempat kerja, namun saya mengakui dia sangat cocok melakukan itu di sebuah perusahaan Korea dengan gaya manajemen yang kaku,” ungkap Pendleton. “Ini salah satu kekuatan Brian.”

Dale Sohn juga tidak mengendurkan tekanan pada dua rekrutan barunya ini. Jika sebelumnya dia mengungkapkan bahwa target Samsung adalah lima tahun, dia mempersemptinya menjadi dua tahun saja. Namun di luar ekspektasi, Pendleton dan Wallace merampungkan strategi besar mereka hanya dalam delapan bulan!

Dalam rapat pertamanya dengan tim marketing, Pendleton menulis besar-besar di whiteboard: SAMSUNG=?

“Siapa kita?” ujarnya kepada tim. “Seperti apa kita ingin diingat?” Dia kemudian berkeliling ruangan dan meminta semua orang untuk mengungkapkan pendapat. Setelah percakapan panjang untuk brainstorming mereka menyimpulkan kekuatan utama Samsung. “Kita akan selalu memiliki hardware paling baik dan paling dulu,” ujar Pendleton. Dia kemudian menulis di whiteboard: SAMSUNG = INOVASI

Tim marketing pun kemudian mengejar fokus menampilkan ‘inovasi’ ini untuk menjadikan mereknya menonjol. “Orang-orang Android selalu merasa dirinya lebih pintar dibandingkan pengguna produk Apple,” ungkap seorang marketer menyimpulkan survei yang mereka lempar ke pasar Amerika. “Mereka menganggap pengguna Android mengambil keputusan lebih baik dengan rasionalitas terbaik, berbeda dengan pengguna Apple yang seperti domba – yang cuma mengikuti apa kata Apple.” Faktanya, OS Android memang lebih fleksibel dan mudah dikustomisasi, ini menjadikan seseorang memerlukan pengetahuan lebih untuk bisa mengoptimalkan OS ini.

“Para pengguna Android memiliki ‘klub’ tersendiri,” ujar Brian Wallace, “Mereka memerlukan seorang pimpinan.” Wallace kemudian menjabarkan bahwa yang dimaksud pimpinan di sini adalah produsen smartphone Android yang akan head to head dengan Apple dalam menghadirkan hardware terbaik untuk bersaing dengan iPhone. Peluang terbaik Samsung adalah menanamkan citra bahwa mereka adalah perusahaan yang memimpin para produsen Android lainnya dalam ‘berperang’ melawan iOS dan iPhonenya yang super populer!

Namun ini memang tidak mudah karena Steve Jobs sudah berhasil menciptakan ‘pengikut’ yang secara religius dan tanpa ragu mengikuti Apple ke mana pun arah mereka. Belum lagi media lebih memfavoritkan perusahaan Silicon Valley ini yang berhasil mencitrakan diri sebagai ‘pemberontak’ dan ‘pendobrak kemapanan’ di Silicon Valley.

Pada tanggal 6 Oktober 2011, The New York Times menjadikan halaman depannya khusus untuk artikel yang sekaligus ungkapan duka cita: Steven P. Jobs, 1955-2011: Redefined the Digital Age as the Visionary of Apple.

Ketika semua perusahaan di Silicon Valley menahan diri untuk tidak ‘menyenggol’ Apple di suasana dukacita tersebut, Pendleton menelepon Michael Pnnington, Vice President bidang penjualan Samsung, “Hai Michael, kita akan melaksanakan kampanye yang kau sarankan dan melawan iPhone 4S head-to-head,” Pendleton melanjutkan. “Kita akan melakukan ‘demistifikasi’ ekosistem dan layanan Apple dengan menunjukkan kepada pelanggan mengenai betapa mudahnya beralih ke Android dan apa saja keuntungan dan pilihan yang bisa mereka dapatkan dari itu. Kita juga mengungkapkan kelebihan untuk bergabung dengan ekosistem Samsung.”

Brian Wallace juga menyiagakan seluruh tim marketing Samsung, “Kita punya satu tujuan: Mengalahkan Apple. Saya tidak bercanda. Memang kita akan melakukannya,”


Selanjutnya Samsung dalam berbagai upaya pemasarannya yang berkelanjutan akan terus menempatkan diri sebagai lawan sejati Apple dengan bumbu berbagai intrik seputar saling tuntut terhadap paten yang dimiliki masing-masing perusahaan.

Referensi

Cain, Geofrey. (2020). Samsung Rising. The Inside Story of the South Korean Giant That Set Out to Beat Apple and Conquer Tech. Currency, New York.

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation