Kisah Silicon Valley #85 – Sang Pemimpin dari Hyderabad

via Cnet

“Bill selalu mengajarkan kepada saya: Di setiap dolar yang kita peroleh, masih ada lima dolar, sepuluh dolar lain (yang tidak kita dapatkan) di luar,” demikian ungkap Nadella kepada Forbes. Ini menjelaskan betapa agresifnya Gates ‘mengejar’ keuntungan saat pendiri Microsoft ini masih memimpin.

Nadella juga mengungkapkan bahwa Bill masih sering mengingatkan misi utama Nadella: Membangun kembali Microsoft, bata demi bata hingga Microsoft kembali (seperti saat zaman Bill Gates dulu). Sebuah misi yang berat, namun diterima oleh CEO yang dulunya berasal dari Hyderabad – India ini.

 

Besar di Hyderabad

Prabhavati Yugandhar & Satya Nadella kecil via onMSFT

Hyderabad merupakan kota kelima terbesar di India. Salah satu ciri khasnya adalah: kota ini punya minat yang besar terhadap teknologi. Terdapat pusat teknologi bernama ITES dan Hyderabad juga populer sebagai pusat penelitian nanoteknologi. Bukkapuram Nadella, ayah Satya Nadella, hampir saja tinggal di Amerika karena mendapat beasiswa Fullbright untuk gelar Ph.D. Namun beliau memilih untuk bergabung dengan Indian Administrative Service yang menjanjikan masa depan lebih cerah. Saat itu, India baru saja merdeka dari Inggris di bawah kepemimpinan Jawaharlal Nehru, dan menjadi pegawai negeri merupakan kehormatan tersendiri. Karena pekerjaannya sebagai pegawai negeri (apalagi berprestasi), keluarga mereka sering berpindah-pindah dan tidak menetap dalam waktu lama.

Ibu Satya, Prabhavati Yugandhar, adalah sarjana bahasa Sansekerta. Beliau mengajar di sebuah sekolah di Hyderabad. Memiliki orang tua yang terdidik secara akademis, tentu saja Satya diharapkan untuk mengejar ambisi intelektualnya secara optimal. Meskipun demikian, sang ibu tidak pernah lelah mengingatkan Satya bahwa kebahagiaan hidupnya adalah hal yang utama. Dia selalu menekankan bahwa seorang ibu tidak pernah menginginkan apa pun selain kebahagiaan anaknya.

Suatu hari sang ayah menempelkan poster Karl Marx di kamar Satya. Dia berpesan pada Satya untuk mengejar keunggulan intelektualitas seperti para pemikir dan kaum intelektual yang telah mengubah zaman. Besoknya, sang Ibu memasang poster Lakhsmi, dewi kelimpahan dan kebahagiaan di India. Pesan yang ingin disampaikan sang Ibu jelas: Dia mendukung Satya untuk mengejar impian intelektualnya, tapi jelas jangan sampai untuk melupakan kebahagiaannya sendiri.

Saat Satya berusia 15 tahun, keluarga ini kembali ke Hyderabad. Satya masuk ke Hyderabad Public School (HPS) yang menyediakan asrama bagi murid-murid di seluruh India. Dari sini Satya mulai mengenal pergaulan multi-budaya. Hal yang membentuk cara pandang hidup dan kebijakan-kebijakannya saat bekerja di masa mendatang. Satya mengungkap bahwa HPS memiliki banyak siswa dari ragam budaya dan agama. Ada orang Islam, Hindu, Kristen, dan Sikh – yang kesemuanya belajar bersama. Meskipun tentu saja ada orang elit kaya dan miskin, namun dalam pergaulan hal itu tidak begitu terlihat karena mereka semua tinggal dalam asrama yang sama dan saling berbaur. Di antara siswa HPS, bahkan ada beberapa anak artis-artis Bollywood. Hal yang paling berkesan bagi Satya adalah, semua anak ini saling berbaur tanpa canggung. Kehidupan asrama mereka menyenangkan dan mereka tidak pernah memandang latar belakang masing-masing.

Namun ayah Satya yang cukup ambisius, tidak begitu suka dengan kehidupan Satya yang santai dan minim kompetisi. Sebagai pegawai negeri senior, dia mendapatkan kesempatan untuk bekerja bagi PBB di Bangkok. Bukkapuram, ayah Satya, memintanya untuk pindah sekolah ke sekolah internasional di Bangkok demi masa depan yang lebih cerah bagi anaknya. Namun Satya menolak mati-matian karena dia sudah menemukan ‘keselarasan’ dengan kehidupan sekolah di Hyderabad. Dia menikmati hari-harinya selama di Hyderabad, dan melihat Satya bahagia di kotanya, sang ibu berusaha membujuk suaminya agar tidak memaksakan kehendaknya pada Satya. Bukkapuram mengalah. Dia tidak lagi meminta Satya untuk mengikutinya ke Bangkok dan bersekolah di sana.

 

Perkenalan dengan komputer

via old-computer

Untuk menunjang minat Satya terhadap teknologi, sang ayah membelikan Satya seperangkat komputer Sinclair ZX Spectrum yang didayai oleh CPU Z80. Saat itu sekitar tahun 70-an, komputer merupakan barang yang langka, apalagi untuk India yang masih sedang dalam tahap berkembang. Karena kesukaannya pada komputer, Satya memutuskan untuk mendaftar ke Indian Institute of Technology, universitas teknik yang paling bergengsi di India saat itu. Saat itu dia gagal dalam tes masuk. Sang ayah yang di masa mudanya terkenal sebagai pemuda yang cerdas dan tak pernah gagal dalam tes masuk sekolah mana pun, tidak memarahi Satya, bahkan dia merasa hal itu lucu. “Bagaimana mungkin kau gagal tes sementara ayah tidak pernah gagal dalam satu tes pun?” (Di India terdapat kepercayaan kuat bahwa seorang anak selalu lebih hebat dari orangtuanya).

Untunglah Satya kemudian diterima di alternatif pilihan kedua dan ketiga, yaitu Teknik Mesin Birla Institute of Technology dan Teknik Elektro di Manipal Institute of Technology. Satya Nadella kemudian memilih Manipal karena menurutnya ini lebih sesuai dengan kesukaannya kepada komputer.

Pilihannya tepat! Satya menikmati pelajaran di Manipal institute of Technology. Dia belajar mikroelektronik – sirkuit terpadu dan prinsip-prinsip pembuatan komputer. Filosofi ibunya mengenai kebahagiaan sangat memengaruhi cara pandang Satya terhadap kehidupannya. Sang ibu terus menerus meyakinkan Satya untuk melakukan hal yang dia pilih dan dia sukai, dan jangan mempedulikan masalah ‘kecepatan’ atau ‘mengejar prestasi’. Dengan melakukan pekerjaan yang disukai sebaik-baiknya, maka kecepatan dan prestasi akan mengikuti. Satya memegang teguh nasehat ibunya ini.

Setelah diwisuda, Satya melamar ke beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat. Seakan berjodoh, seorang temannya dulu di HPS mengabari Satya bahwa dia sedang menempuh program ilmu komputer di Wisconsin. Komputer adalah bidang yang paling disukai Satya saat itu, dan dia memiliki kenangan menyenangkan dengan teman-temannya di HPS. Satya langsung mengiyakan ajakan temannya itu dan menempuh ujian untuk melanjutkan pendidikan ke Wisconsin. Satya lulus dan menempuh pendidikan di University of Wisconsin-Milwaukee!

Satya menempuh jurusan LISP, sebuah bahasa pemrograman komputer yang cukup populer saat itu. Pendidikan di sini memberikan Satya kesadaran bahwa mikrokomputer adalah hal yang membentuk dunia komputer. Ini sangat memengaruhi sikapnya terhadap teknologi saat bekerja nantinya. Dalam kuliahnya, Satya juga belajar quantum computing, hal yang kemudian menjadikannya tertarik pada AI dan machine learning.

Setelah menyelesaikan gelar masternya di Wisconsin, Satya bekerja di sebuah Independent Software Vendor (ISV). Di sini, pekerjaannya adalah membuat aplikasi untuk database Oracle dan melakukan pemrograman structured query language. Saat itu adalah awal tahun 1990, dan dunia komputer mengalami perubahan besar. Mode teks atau karakter di terminal UNIX sedang berangsur-angsur berganti ke antarmuka pengguna grafik dengan Windows sebagai lokomotif penariknya!


Prestasinya saat bekerja di ISV, menjadikan Satya diterima oleh salah satu perusahaan teknologi paling bergengsi di dunia saat itu: Microsoft! Ikuti ceritanya di Kisah Silicon Valley #86 – Hari-Hari sebagai Karyawan Microsoft.

 

 

Referensi

Konrad, Alex. (2018). Exclusive CEO Interview: Satya Nadella Reveals How Microsoft Got Its Groove Back. Forbes.

Nadella, Shaw, and Nichols. (2017). Hit Refresh: The Quest to Rediscover Microsoft’s Soul and Imagine a Better Future for Everyone. 

Kiki Sidharta

Penulis Winpoin yang paling sering minta dimaklumi kalau lagi lama nggak nulis | Dengan senang hati menjawab pertanyaan seputar Windows Phone lewat akun Twitter @kikisidharta

Post navigation