Tahukah kamu bahwa Microsoft Excel pertama kali dirilis di Mac pada 30 September 1985, dan baru hadir ke Windows 2 tahun kemudian pada November 1987?
Saya mengawali artikel ini dengan fakta diatas untuk menunjukkan bahwa sedari awal Microsoft sejatinya memang perusahaan software yang cukup terbuka dengan platform lainnya. Tentu seiring berjalannya waktu memang ada pergantian CEO, pergantian strategi, dan berbagai perubahan cara berbisnis — yang salah satunya sempat membuat Microsoft menjadi perusahaan teknologi yang platform eksklusif di era kepemimpinan Steve Ballmer.
Fast forward, dinasti Steve Ballmer pun runtuh dan digantikan oleh CEO baru yaitu Satya Nadella. Perubahan dalam cara berbisnis Microsoft pun seolah langsung berbelok tajam — dari yang sebelumnya mati-matian mempopulerkan Windows Phone, bahkan sampai membeli Nokia untuk menggempur market dengan ponsel ber-OS Windows, menjadi menghentikan produksi Lumia, mem-PHK karyawan ex-Nokia, dan mencabut Windows 10 Mobile dari fokus utama mereka.
Alih-alih memproduksi dan menjual Windows Phone, Microsoft akhir-akhir ini lebih memilih untuk jualan ponsel Android di Microsoft Store. Samsung Galaxy S8 dan s8+, Razer Phone, dan yang terbaru adalah Samsung Galaxy Note 8 sudah tersedia di lapak di Microsoft Store. Lalu kenapa Microsoft lebih memilih menjual ponsel Android daripada Windows Phone?
Tidak mudah untuk menyelami alasan Microsoft yang lebih memilih mempopulerkan platform mobile kompetitor daripada Windows Phone yang merupakan miliknya sendiri, tetapi setidaknya ada beberapa alasan yang saya temukan dari analisa pagi ini:
1. Cloud First, Mobile First
Saat pertama kali diangkat, visi Cloud First, Mobile First yang diusung Satya Nadella langsung menjadi headline. Kala itu banyak penggemar Microsoft, khususnya fans Windows Phone mengartikan bahwa inilah saatnya kebangkitan dari platfom Mobile besutan Microsoft, sebuah era baru dimana platform mobile ini bakal semakin di push dan dipopulerkan.
Tetapi seiring berjalannya waktu kini semua menjadi jelas, bahwa mobile yang dimaksud oleh Satya Nadella bukan sekedar Windows Phone atau Windows 10 Mobile, melainkan perangkat mobile secara keseluruhan. Dengan fokus utama Microsoft ke cloud dan mobile, maka tentu saja mereka akhirnya merilis berbagai aplikasi, software, dan layanan populer (yang bahkan sebelumnya hanya eksklusif di Windows) ke berbagai platform mobile populer yang digunakan mayoritas orang: Android dan iOS. (Baca juga: Perbedaan Ballmer dan Nadella serta Membaca Arah Microsoft Kedepan)
Kini hampir semua layanan dan aplikasi Microsoft sudah bisa dinikmati di semua perangkat mobile, apapun platformnya. Bagi Microsoft saat ini, tidak masalah apapun platformnya, asal ada layanan atau aplikasi Microsoft didalamnya, mereka tetap mendapatkan keuntungan.
Karena itulah menjual ponsel Android di Microsoft Store juga tidak masalah bagi Microsoft, terlebih di ponsel tersebut telah terinstall berbagai aplikasi dan layanan Microsoft seperti Microsoft Launcher, OneDrive, Microsoft Office, Skype, dsb.
Kesimpulannya, menjual ponsel Android di Microsoft Store dengan berbagai aplikasi dan layanan Microsoft terinstall didalamnya merupakan bagian dari penggenapan visi Cloud First, Mobile First.
2. Menguntungkan
Memang masih ada banyak penggemar Windows 10 Mobile yang tersisa, dan saya tidak bisa membenarkan perlakuan buruk Microsoft terhadap para penggemarnya. Tetapi memang harus diakui fokus pada Android / iOS lebih menguntungkan bagi Microsoft daripada menghabiskan dana besar untuk mati-matian mempopulerkan Windows 10 Mobile — at least dalam jangka pendek.
Hal ini tervalidasi dengan melonjaknya penghasilan Microsoft semenjak mereka menghadirkan seluruh layanan dan aplikasinya ke berbagai platform. Nilai saham pun melonjak drastis, membuat Satya Nadella menjadi pujaan para investor Microsoft.
Menjual ponsel Android di Microsoft Store pun menjadi salah satu langkah murah untuk memamerkan dan mempopulerkan layanan / aplikasi Microsoft yang terintegrasi manis di Android — yang pada akhirnya menjadi media bagi Microsoft untuk mengeruk keuntungan besar dari pengguna platform sejuta umat tersebut.
3. Lelah Merugi
Tahukah kamu bahwa Microsoft rugi 1600 rupiah untuk setiap satu Lumia yang laku? Padahal nilai kerugian itu hanya dari rugi produksi, belum termasuk kerugian dari biaya marketing, riset & pengembangan, serta biaya lain diluar proses produksi. Bisa dibayangkan besarnya kerugian yang didera Microsoft untuk setiap posel Lumia yang laku.
Hasilnya, Microsoft lelah merugi dan lebih memilih untuk mendapatkan untung dari platform lain daripada merugi dari platform mobilenya sediri. Hingga sampailah kita pada masa dimana Microsoft memilih jualan ponsel Android daripada menjual Windows Phone.
4. Menyerah dengan Ikhlas
Microsoft bukannya belum berusaha, Joe Belfiore sendiri pernah menjelaskan bahwa Microsoft sudah berusaha dengan sangat keras untuk mengangkat Windows Phone, tetapi memang tidak memberikan hasil sesuai yang diinginkan. Hingga akhirnya Windows 10 Mobile dicabut dari fokus utama Microsoft.
We have tried VERY HARD to incent app devs. Paid money.. wrote apps 4 them.. but volume of users is too low for most companies to invest. ☹️ https://t.co/ePsySxR3LB
— Joe Belfiore (@joebelfiore) October 8, 2017
Di ranah platform mobile, untuk saat ini Microsoft memilih menyerah dengan ikhlas. Microsoft lebih memilih mempersiapkan era pasca-ponsel, dengan terus mengembangkan AI dan AR, sembari mengeruk banyak keuntungan dari bisnis cloud dan layanan.
Untuk ranah ponsel sendiri, mereka lebih memilih mengeruk keuntungan dari platform kompetitor yang memang sudah ramai pengguna. Satya Nadella sendiri tidak khawatir dengan kondisi ini, dan menyatakan Microsoft tetap kompetitif meskipun tanpa platform mobile sendiri.
Beberapa Catatan
Terlepas dari beberapa alasan yang menjadi dasar Microsoft lebih mendukung Android daripada Windows Phone, sebenarnya ada beberapa resiko atas keputusan ini.
Pertama, Microsoft jadi tergantung dengan platfrom lain milik kompetitornya. Apapun yang mereka kembangkan untuk perangkat mobile, harus memenuhi aturan dan batasan dari kompetitor. Berbagai inovasi Microsoft mungkin akan terbatasi. Sebagai contoh simple, integrasi Cortana di Android tentu tidak bisa sedalam integrasi Google Now di Android — atau integrasi Cortana di iOS tidak bisa sedalam integrasi Siri di iOS.
Belum lagi jika suatu saat Apple / Google mulai merasa gerah platformnya dikeruk Microsoft, bukan tidak mungkin akan ada pembatasan-pembatasan lain yang membuat aplikasi native miliki mereka tetap lebih unggul daripada milik Microsoft. Terlebih di platform mobile, Microsoft melakukan strategi ini secara searah, artinya Microsoft mendukung penuh platform kompetitor, sedangkan Apple / Google tidak melakukan hal yang sebaliknya.
Kedua, Microsoft tidak bisa memanfaatkan popularitas era ponsel untuk menyiapkan era pasca-ponsel. Lihat bagaimana Apple memanfaatkan iOS untuk mempersiapkan era Augmented Reality dengan ARKit. Baru dirilis saja aplikasi ARKit sudah bermunculan karena popularitas iPhone yang begitu tinggi. Hal yang sama dilakukan Google, dimana mereka mempersiapkan era AR dengan ARCore di Android.
Microsoft sendiri memilih untuk memanfaatkan Windows 10 PC dengan Mixed Reality nya, serta membuat perangkat AR dari awal, yaitu Hololens. Mereka tidak bisa memanfaatkan Windows 10 Mobile untuk transisi dari era ponsel ke era pasca-ponsel. (Baca juga: Windows Mixed Reality, Akankah Populer di Indonesia?)
Catatan terakhir sebelum menutup editorial ini, Microsoft merupakan perusahaan besar dengan pendanaan melimpah. Apapun masih bisa terjadi. Microsoft dirumorkan tengah mengembangkan Andromeda, semacam Windows 10 “reborn” (ya..entah kenapa kok kata reborn ini selalu terlintas setiap kali mendengar nama Microsoft) — yang bisa berjalan di semua jenis perangkat, seperti smartwatch, PC, tablet, dan ponsel juga seharusnya. (Baca: Microsoft Andromeda OS, Satu Windows untuk Semua Gadget)
Entah nantinya bakal jadi dirilis atau tidak, strategi perusahaan tentu terus fleksibel menyesuaikan dengan trend dan kondisi pasar. Microsoft yang dulu pernah terbuka dengan platform lainnya, lalu menjadi platform exclusive, dan kini kembali terbuka lagi — mungkin akan menjadi eksklusif lagi di kemudian hari. Who knows?
In the end, bisnis tetaplah bisnis, dan keuntunganlah yang menjadi target utama, bukan yang lainnya. Jika saat ini mereka mendukung penuh platform lain, bahkan sampai berjualan ponsel Android di Microsoft Store, pada dasarnya itu karena dari segi hitung-hitungan bisnis masih jauh lebih menguntungkan daripada memaksakan diri memproduksi dan menjual Windows Phone itu sendiri.